Kamis, 12 Januari 2017

SUNDA WIWITAN

SUNDA WIWITAN
Masyarakat Baduy atau Kanekes memiliki agama kepercayaan yaitu Sunda Wiwitan, meski ada beberapa masyarakat Baduy yang sudah memeluk agama Islam atau Buddha. Keberagaman dalam memeluk agama pada masyarakat Baduy merupakan bentuk ketaatan terhadap nilai-nilai dan pandangan hidup yang diturunkan nenek moyang. Agama apapun yang menjadi ajaran dalam masyarakat Baduy mengajarkan bahwa semua hal yang berkaitan dengan pola kehidupan mereka tidak boleh atau pantang untuk diubah.
Sunda Wiwitan sebagai ajaran masyarakat Baduy adalah bentuk penghormatan dan kepercayaan kepada satu kuasa yaitu Batara Tunggal. Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh. Hal itu dilakukan agar manusia hidup menurut alur (filosofi di atas) dalam menyejahterakan kehidupan masyarakat Baduy. Gangguan terhadap inti bumi akan berakibat fatal bagi seluruh kehidupan manusia di dunia.
Konsep keagamaan dan adat yang penting menjadi inti pandangan hidup masyarakat Baduy yaitu lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung” (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung). Pandangan hidup tersebut merupakan pengejawantahan dari adat dan keagamaan yang ditentukan oleh intensitas pandangan hidup mengenai karya dan keagamaan. Dengan melaksanakan semua itu manusia akan dilindungi oleh kuasa tertinggi yaitu Batara Tunggal.
Kewajiban masyarakat Baduy untuk menjalankan ajaran kepercayaan Sunda Wiwitan diajarkan melalui puun sebagai pemimpin tertinggi masyarakat Baduy yang merupakan keturunan Karuhun. Kewajiban itu adalah memelihara Sasaka Pusaka Buana, memelihara Sasakan Domas atau parahyang, mengasuh dan memelihara para bangsawan/pejabat, bertapa bagi kesejahteraan dunia, berbakti kepada dewi padi dengan cara berpuasa pada upacara, memuja nenek moyan dan membuat laksa untuk bahan pokok seba.
Adapun nenek moyang orang Baduy terbagi pada dua kelompok yaitu nenek moyang yang berasal dari masa para batara dan masa puun. Gambaran Batara Tunggal terdapat dalam dua dimensi yaitu sebagai suatu kuasa yang kekuatannya yang tidak tampak tetapi berada di mana-mana, dan sebagai manusia biasa yang sakti. Dalam dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal mempunyai keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia di kabuyutan (tempat nenek-moyang), yaitu titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana.
Mereka itu ialah Batara Cikal, yang diberitakan tidak ada keturunannya, Batara Patanjala yang menurunkan tujuh tingkat batara ketiga, yaitu (dari yang paling senior) Daleum Janggala, Daleum Lagondi, Daleum Putih Seda Hurip, Dalam Cinangka, Daleum Sorana, Nini Hujung Galuh, dan Batara Bungsu. Mereka itu yang menurunkan Bangsawan Sawidak Lima atau tujuh batara asal, nenek moyang orang Baduy. Daleum Janggala adalah batara yang tertua, dan yang menurunkan kerabat tangtu Cikeusing; Daleum Putih Seda Hurip menurunkan kerabat kampung Cibeo.
Para batara tingkat ketiga lain masing-masing menurunkan jenis kerabat pemimpin lainnya. Lima batara tingkat kedua, saudara-saudara muda Batara Pantajala, yaitu Batara Wisawara, Batara Wishnu, Batara Brahmana, Batara Hyang Niskala, dan Batara Mahadewa, menurunkan kelompok kerabat besar di luar Baduy yang disebut salawe nagara (dua puluh lima negara), yang menunjukkan jumlah kerabat yang besar, dan menurut pengetahuan orang Baduy adalah wilayah yang sangat luas di sebelah Sungai Cihaliwung (Garna 1988). Kelompok kerabat itulah yang dianggap orang Baduy keturunan yang lebih muda.
Dari ketujuh orang batara tingkat ketiga nenek-moyang orang Baduy itu tampak bahwa hanya kerabat jaro dangka yang berasal dari garis keturunan perempuan. Lainnya diturunkan melalui garis keturunan patrilineal. Para puun adalah keturunan Batara Patanjala, dan sampai masa akhir abad ke-19 oleh Jacobs dan maijer dicatat sudah terjadi 13 kali pergantian puun Sikeusik (1891: hlm. 13). Menurut catatan tahun 1988, jumlah puun Cikeusik adalah 24 orang, dan yang terakhir adalah Puun Sadi (Garna 1988).
  • Karuhun
Dalam Masyarakat Baduy, salah satu konsep penting dalam religi mereka yaitu karuhun, generasi-generasi pendahulu yang sudah meninggal. Mereka berkumpul di Sasaka Domas, yaitu tempat di hutan tua di hulu Sungai Ciujung. Karuhun dapat menjelma atau datang dalam bentuk asalnya menengok para keturunannya hutan kampung.
Dalam kaitan dengan konsep karuhun itu ada konsep lain, yaitu guriang, sanghyang, dan wangatua. Guriang dan sanghyang dianggap penjelmaan para karuhun untuk melindungi para keturunannya dari segala marabahaya, baik gangguan orang lain maupun mahluk-mahluk halus yang jahat (seperti dedemit, jurig, setan) wangatua ialah ruh atau penjelmaan ruh ibu bapak yang sudah meninggal dunia.
Kosmologi masyarakat Baduy yang menghubungkan asal mula dunia, karuhun dan posisi tangtu, merupakan konsep penting pula dalam religi mereka. Karena itu wilayah yang paling sakral ada di Kanekes, terutama wilayah taneuh larangan (tanah suci, tanah terlarang) tempat kampung tangtu dan kabuyutan. Bumi dianggap bermula dari masa yang kental dan bening, yang lama-kelamaan mengeras dan melebar. Titik awal terletak di pusat bumi, yaitu Sasaka Pusaka Buana tempat tujuh batara diturunkan untuk menyebarkan manusia.
Tempat itu juga merupakan tempat nenek moyang. Kampung tangtu kemudian dianggap sebagai inti kehidupan manusia, yang diungkapkan dengan sebutan Cikeusik, Pada Ageung Cikartawana disebut Kadukujang, dan Cikeusik disebut Parahyang, semua itu disebut Sanghyang Daleum. Secara khusus posisi tempat nenek moyang (kabuyutan) dan alur tangut dalam memperlihatkan kaitan karuhun, yaitu Pada Agueng ---- Sasaka Pusaka Buana ---- dangkanya disebut Padawaras; Kadukujang ---- Kabuyutan ikut pada Cibeo dan Cikeusik ---- dengan dangka-dangkanya yang disebut Sirah Dayeuh. Konsep buana (buana, dunia) bagi orang Baduy berkaitan dengan titik mula, perjalanan, dan tempat akhir kehidupan. Ada tiga buana, yaitu Buan Luhur atau Buana Nyungcung (angkasa, buana atas) yang luas tak terbatas, Buana Tengah atau Buana Panca Tengah, tempat manusia melakukan sebagian besar pengembaraannya dan tempat ia akan memperoleh segala suka-dukanya. Buana Handap (buana bawah) ialah bagian dalam tanah yang tak terbatas pada luasnya. Keadaan di tiga benua itu adalah seperti halnya dunia ini, ada siang dan ada malam, dan keadaannya sebaliknya dengan di dunia.
  • Batara Tunggal
Tuhan yang diimani oleh umat Sunda Wiwitan adalah Allah, sebagaimana terucapkan di dalam kalimat syahadat Baduy (Sam dkk., 1986: 62). Meskipun, mereka menyebut-Nya Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam) dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Mereka mempercayai Sang Hiyang Keresa (Yang Maha Kuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki) sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Tuhan Sunda Wiwitan bersemayam di Buana Nyungcung (Dunia Atas). Bahkan, diyakini bahwa semua dewa agama Hindu tunduk terhadap Batara Seda Niskala (Ekadjati, 1995:73). Mereka beriman kepada yang gaib, yang tidak bisa dilihat dengan mata, tetapi dapat diraba dengan hati. Nabi-nabi yang diimani secara eksplisit adalah Nabi Adam dan Nabi Muhammad. Mereka beriman kepada hidup, sakit, mati dan nasib adalah titipan. Umat Sunda Wiwitan menjalankan juga ritual ibadah sunah Rasul, yakni sunat atau khitan (Djoewisno, 1987: 28). Ritus sunat diyakini sebagai nyelamkeun, mengislamkan, bagi laki-laki pada umur 4-7 tahun dan perempuan. Dan, mereka tak lupa melaksanakan ritual ibadah puasa kawalu, lebaran. Puasa ini dilakukan hanya sehari pada bulan pertama, kedua dan ketiga dalam setahun sekali (Sam dkk., 1986:64).
Pengucapan nama Allah termaktub di dalam dua macam kalimat syahadat Baduy: Syahadat Baduy Dalam dan syahadat Baduy Luar. Pertama, kalimat syahadat Baduy Dalam, sebagai berikut:
Asyhadu syahadat Sunda (asyhadu syahadat Sunda jaman Allah ngan sorangan Allah hanya satu kaduanana Gusti Rosul kedua para Rasul ka tilu Nabi Muhammad ketiga Nabi Muhammad ka opat umat Muhammad keempat umat Muhammad nu cicing di bumi angaricing yang tinggal di dunia ramai nu calik di alam keueung”. yang duduk di alam takut ngacacang di alam mokaha menjelajah di alam nafsu salamet umat Muhammad” selamat umat Muhammad.

Wa asyhadu anna Muhammad da Rasulullah isun netepkeun ku ati yen taya deui Allah di dunya ieu iwal ti Pangeran Gusti Allah jeung taya deui iwal ti Nabi Muhammad utusan Allah”. Wa asyhadu anna Muhammad da Rasulullah aku menetapkan dalam hati bahwa tiada lagi Tuhan di dunia ini selain Pangeran Gusti Allah dan tiada lagi selain Nabi Muhammad utusan Allah).

Syahadat Baduy Dalam adalah syahadat Sunda Wiwitan yang disampaikan kepada puun, sebagaimana masa Islam awal syahadat Islam disampaikan kepada Nabi Muhammad. Sedangkan, syahadat Baduy Luar adalah syahadat Islam yang diucapkan ketika melangsungkan pernikahan secara Islami. Dikatakan oleh umat Sunda Wiwitan bahwa “kami mah ngan kabagean syahadatna wungkul, hente kabagean sholat”. Bahwa mereka hanya memperoleh syahadatnya saja, sedangkan rukun-rukun Islam lainnya tidak pernah diperoleh (Sam et al, 1986:62-63).
Kekuasaan Tuhan dipahami oleh umat Sunda Wiwitan sebagai pencipta alam semesta. Dalam mitos penciptaan Baduy dijelaskan bahwa “dunia pada waktu diciptakan masih kosong, kemudian Tuhan mengambil segenggam tanah dari bumi dan diciptakanlah Adam. Dari tulang rusuk Adam terciptalah Hawa. Tuhan juga menciptakan Batara Tujuh, yaitu: (1) Batara Tunggal, (2) Batara Ratu, (3) puun yang dititipkan di Kanekes (Cikeusik, Cikertawana, Cibeo), (4) Dalem, (5) Menak, (6) Putri Galuh dan (7) Nabi Muhammad yang diturunkan di Mekah. Batara Tujuh merupakan Sanghyang Tujuh yang bersemayam di Sasaka Domasi” (1986: 64). Dari mitos penciptaan ini, masyarakat Baduy menyakini bahwa manusia yang pertama kali diciptakan di bumi ini berada di Kanekes sebagai inti jagat, pancer bumi. Karena itu, mereka melaksanakan ritual ibadah pe-muja-an di Sasaka Domas sebagai penghormatan kepada roh karuhun, nenek moyang. Mereka menyakini juga agamanya adalah Sunda Wiwitan, bukan Hindu ataupun Islam.
Nabi Adam diyakini oleh umat Sunda Wiwitan sebagai simbol penciptaan manusia pertama yang berada di Sasaka Domas. Keyakinan seperti ini terdapat juga di dalam agama masyarakat Jawa yang masih menghormati raja-raja, nenek moyang, mereka. Ahimsa-Putra
(2006:345) menjelaskan bahwa antara Nabi Islam, Batara Hindu dan raja Jawa terdapat relasi genealogis.
Dapat dipahami bahwa Batara Tunggal yang dipercayai oleh umat Sunda Wiwitan adalah manusia biasa yang tidak pernah mati, akan tetapi jasad dan rohnya ngahiyang, sirna, dari dunia ini. Mereka menyakini juga bahwa Batara Tunggal-lah yang mengatur nasib dan kehidupan manusia di muka bumi ini. Begitu pun, Dalem dan Menak adalah karuhun, nenek moyang yang jasad dan rohnya ngahiyang, sirna. Sebab itu, diyakini bahwa Kanekes tidak akan hilang hingga saat ini, seiring terpeliharanya keturunan puun (Sam et al, 1986:62-63).
Secara formal-normatif, puun adalah pimpinan adat istiadat masyarakat Baduy. Untuk memimpin adat istiadat aspek spiritual puun dibantu oleh perangkat puun. Yaitu, baresan (dewan penasehat), tangkesan (peramal) dan girang seurat (pembantu pelaksana ritual). Selain puun diyakini sebagai pemimpin tertinggi adat, juga merupakan keturunan karuhun, nenek moyang, yang langsung mempresentasikannya di dunia. Para puun adalah orang-orang yang bertanggung jawab dan bertugas melestarikan kepercayaan warisan nenek moyang, pikukuh, supaya tidak terkena pengaruh proses perubahan sosial budaya dari luar (Permana, 2006:40).

1 komentar: