Kamis, 12 Januari 2017

Filsafat Hukum Islam



Filsafat Hukum Islam

Filsafat hukum Islam ialah filsafat yang diterapkan pada hukum Islam, ia merupakan filsafat khusus dan obyeknnya tertentu, yaitu hukum Islam, maka, filsafat hukumIslam adalah filsafat yang meng analisis hukumIslam secara metodis dan sistematis sehinnga mendapat keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya. Menurut Azhar ba’asyir, filsafat hukum Islam adalah pemikiran secara ilmiah, sistematis, dapat dipertanggung jawabkan dan radikal tentang hukum Islam, filsafat hukum Islam merupakan anak sulung dari filsafat Islam
Dengan rumusan lain Filsafat hukum Islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujuan Islam baik yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya, atau filsafat yang digunakan untuk memancarkan, meguatkan, dan memelihara hukum Islam, sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah SWT menetapkannya di muka bumi yaitu untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Dengan filsafat ini hukum Islam akan benar-benar “cocok sepanjang masa di semesta alam”
A.       Obyek kajian dan kajian Filsafat Hukum Islam
Hukum Islam Mengacu pada pandangan hukum yang berifat teleologis. Artinya hukum Islam itu diciptakan karena iia mempunyai maksud dan tujuan. Tujuan dari adanya hukum Islam adalah terciptanya kedamaian di dunia dan kebahagian di akhirat. Jadi hukum Islam Bukan bertujuan meraih kebahagaiaan yang fana’ dan pendek di dunia semata, tetapi juga mengarahkan kepada kebahagiaan yang kekal di akhirat kelak. Inilah yang membedakannya dengan hukum manusia yang menghendaki   kedamaian di dunnia saja.
Dengan tegak dan berhasilnya Filsafat hukum Islam, dapat dibuktikan bahwa hukum Islam mampu memberikan jawaban terhadap tantangan zaman dan merupakan hukum terbaik sepanjang zaman bagi semesta alam. Para ahli ushul fiqih, sebagaimana ahli filsafat hukum Islam, membagi filsafat hukum Islam kepada dua rumusan, yaitu falsafat tasyri’ dan falsafah syariah.
1.      Falsafat tasyri’: filsafat yang memancarkan hukum Islam atau menguatkannya dan memeliharanya. Filsafat ini bertugas membicarakan hakikat dan tujuan penetapan hukumIslam. Filsafat tasyri terbagi kepada:
o    Da’aim al-hakim (dasar-dasar hukum Islam)
o    Mabadi al-ahkam (prinsip-prinsip hukum Islam)
o    Ushul al-ahkam (pokok-pokok hukum Islam) atau mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum Islam)
o    Maqashid al-ahkam (tujuan-tujuan hukum Islam)
o    Qawaid al-ahkam (kaidah-kaidah Hukum Islam)
2.      Falsafat syariah: filsafat yang diungkapkan dari materi-materi hukum Islam seperti Ibadah, mu’amalah, jinayah, ‘uqubah, dan sebagainyafilsafat ini membicarakan hakikat dan rahasia hukum Islam. Termasuk ke dalam pembagian falsafat syariah adalah:
o    Asrar al-ahkam (rahasia-rahasia hukum Islam)
o    Khasa is al-ahkam (cirri-ciri khas hukum islam)
o    Mahasin al-ahkam atau mazaya al-ahkam (keutamaan-keutamaan hukum islam)
·         Thawabi al-ahkam (karateristik hukum islam)

B.       Pertumbuhan dan Perkembangan Filsafat Hukum Islam
1.      Pertumbuhan Filsafat Hukum Islam
Sumber utama hukum Islam adalah Al-Quran dan As-Sunnah terhadap segala masalah yang tidak diterangkan dalam kedua sumber tersebut, kaum muslimin diperbolehkan berijtihad dengan mempergunakan akalnya guna menentukan ketentuan hukum. Berijtihad dengan mempergunakan akal dalam permasalahan hukum islam, yang pada hakikatnya merupakan pemikiran falsafi itu, direstui oleh Rasulullah SAW, bahkan Allah menyebutkan bahwa mempergunakan akal dan pikiran falsafi itu sangat perlu dalam memahami berbagai persoalan.
Izin Rasulullah kepada Mu’adz untuk berijtihad merupakan awal dari lahirnya filsafat hukum Islam pada masa Rasulullah segala persoalan diselesaikan dengan wahyu, pemikiran falsafi yang salah dibenarkan oleh wahyu, ketika Rasulullah telah wafat dan wahyupun telah usai maka akal dengan pemikiran falsafinya berperan baik dalam perkara yang ada Nashnya maupun yang tidak ada. Pemikiran falsafi terhadap hukum islam yang ada nashnya bermula pada masa khulafaurasyidin terutama umar bin khattab. Penghapusan hukum potong tangan bagi pencuri, zakat bagi muallaf, dll. Yang dilakukan oleh umar bedasarkan kesesuaian zaman untukk menjamin menegakkan keadilan yang menjadi asas hukum islam, merupakan contoh penerapan hukum berdasarkan hukum manusia. Jadi penerapan hukum harus dapat meneggakkan kemaslahatan dan keadilan yang menjadi tujuan dari hukum islam
2.      Perkembangan Filsafat Hukum Islam
Kegiatan penelitian terhadap tujuan hukum (Maqasid Al-Syariah) telah dilakukan oleh para ahli ushul fiqih terdahulu, Al-Juwaini dapat diakatakan sebagai ahli Ushul fiqih pertama yang menekankan pentingnya memahami Maqashid Syariah dalam penetapan Hukum ia menyatakan bahwa seseoarang tidak dikatakan mampu menetapakan hukum dalam Islam sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah Menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya
Al-juawaini mengelaborasi lebih lanjut Maqashid Al-Syariah dalam kaitannya dalam pembahasan illat pada masalah Qiyas. menurut Pendapatnya, dalam kaitannya dengan Illat, ashldapat dijadikan 5 kelompok, yaitu kelompok darruriyat, al-hajjiyyat al-ammat, makramat, sesuatu yang tidak termasuk kelompok Darruiyat dan Hajjiyat dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya. Pada dasarnya Al-Juwaini mengelompok ashl atau tujuan hukum menjadi 3 kelompok yaitu Darruriyat, Hajjiyat, Makramat yang terakhir dalam istilah lain disebut Tahsiniyyat. Pemikiran Al-juwaini dikembangkan oleh muridnya yaitu al-Ghazali, beliau menjelaskan maksud syariat dalam kaitannya dalam pembahasan al-Mnasabat al-maslahiyyat dalam Qiyas. Sementara dalam kitab yang lain ia membicarakannya dalam pembahasan Istishlah. Ia menrincikan maslahat itu menjadi lima, memlihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Ahli ushul fiqih yang membahas secara khusus aspek utama Maqashid al-syariah adalah Izz al-Din Ibn Abdal-Salam dari kalangan mazhab Syafii. Dalam kitabnya Qawaid al-ahkam fi mashalih al-anam, ia lebih banyak mengelaborasi hakikat maslahat yang dijawantahkan dalam bentuk Dar’u al-mafasid wa Jalbu al-manafi (menghindari mafsadat dan menarik manfaat). Lebih lanjut ia menyatakan bahwa taklif bermuara pada kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ibn Abd al-Salam telah mencoba mengembangkan prinsip mashlahat yang merupakan inti pembahasan dalam Maqashid al-syariah.
     Ahli Ushul fiqih yang membahas teori Maqashid Al-Syariah secara khusus, sistematis dan jelas adalah, al-Syahtibi dari kalangan madzhab Maliki, dalam kitabnya Al-Muwafaqad ia menghabiskan kurang lebih sepertiga pembahasannya dalam masalah ini, ia secara tegas bahwa tujuan Allah SWT. Mensyariatkan hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.  Karena itu taklik dalam bidang hukum harus bermuara pada tujuan hukum tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya para penulis Filsafat Hukum Islam mencoba menonjolkan istilah filsafat hukum Islam ketimbang menggunakan Istilah Hikmah atau tujuan disyariatkan hukum Islam.
C.       Dalil Aqli dan Naqli
Dalil aqli adalah dalil yang bersumber dari akal (aqli dalam bahasa Arab = akal). Allah S.W.T hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal, kerana hanya mereka yang dapat memahami agama dan syariat-Nya. Allah S.W.T berfirman:

"Dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal." [Surah Shaad:43]
Taklif/Beban Hukum
Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif (beban kewajiban) dari Allah SWT Hukum-hukum syari’at tidak berlaku bagi mereka yang tidak menerima taklif. Dan di antara yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila kerana kehilangan akalnya.
Rasulullah S.A.W bersabda, artinya:
 "Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan ; orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai bermimpi, orang gila sampai ia kembali sadar (berakal)."

Pembatasan wilayah kerja akal
Pembatasan wilayah kerja akal dan pikiran manusia sebagaimana firman Allah SWT. Artinya :"Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu adalah urusan Rabb-
ku. Dan tiadalah kalian diberi ilmu melainkan sedikit." [Surah Al-Israa’: 85]

Firman Allah SWT yang artinya:
"Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya." [Surah Thaahaa: 110]

Pandangan Ahlus Sunnah
Ulama Salaf (Ahlus Sunnah) senntiasa mendahulukan naql (wahyu) atas ‘aql (akal). Naql adalah dalil-dalil syar’i yang tertuang dalam Al-Quran dan as-Sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan akal ialah, dalil-dalil ‘aqli yang dibuat oleh para ulama ilmu kalam dan mereka jadikan sebagai agama yang menundukkan/mengalahkan dalil-dalil syar’i.
Mendahulukan dalil naqli atas dalil akal bukan berarti Ahlus Sunnah tidak menggunakan akal. Tetapi maksudnya adalah dalam menetapkan aqidah mereka tidak menempuh cara seperti yang ditempuh para ahli kalam yang menggunakan rasio semata untuk memahami masalah-masalah yang sebenarnya tidak dapat dijangkau oleh akal dan menolak dalil naqli (dalil syar’i) yang bertentangan dengan akal mereka atau rasional mereka.
Secara ringkas pandangan Ahlus Sunnah tentang penggunaan akal, di antaranya sebagai berikut:
  1. Syari’at didahulukan atas akal, kerana syari’at itu ma’shum sedang akal tidak ma’shum.
  2. Akal mempunyai kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global, tidak bersifat terperinci.
  3. Apa yang benar dari hukum-hukum akal pasti tidak bertentangan dengan syari’at.
  4. Apa yang salah dari pemikiran akal adalah apa yang berten-tangan dengan syari’at.
  5. Penentuan hukum-hukum tafshiliyah (terinci seperti wajib, haram dan seterusnya) adalah hak syariat.
  6. Akal tidak dapat menentukan hukum tertentu atas sesuatu sebelum datangnya wahyu, walaupun secara umum ia dapat mengenal dan memahami yang baik dan buruk.
  7. Balasan atas pahala dan dosa ditentukan oleh syari’at.
Dari sini dapat dikatakan bahawa keyakinan Ahlus Sunnah adalah yang benar dalam masalah penggunaan akal sebagai dalil. Jadi, akal dapat dijadikan dalil jika sesuai dengan Al-Quran dan as-Sunnah atau tidak bertentangan dengan keduanya. Dan jika ia bertentangan dengan keduanya, maka ia dianggap bertentangan dengan sumber dan dasarnya. Dan keruntuhan dasar bererti juga keruntuhan bangunan yang ada di atasnya. Sehingga akal tidak lagi menjadi hujah (bukti, alasan) namun berubah menjadi dalil yang bathil.
D.       Azas-azas Hukum Islam
Azas secara etimologi memiliki makna dalah dasar, alas, pondamen (Muhammad Ali, TT: 18). Adapun secara terminologinya Hasbi Ash-Shiddiqie mengungkapkan bahwa hukum Islam sebagai hukum yang lain mempunyai azas dan tiang pokok sebagai berikut:
  1. Azas Nafyul Haraji (meniadakan kepicikan), artinya hukum Islam dibuat dan diciptakan itu berada dalam batas-batas kemampuan para mukallaf. Namun bukan berarti tidak ada kesukaran sedikitpun sehingga tidak ada tantangan, sehingga tatkala ada kesukaran yang muncul bukan hukum Islam itu digugurkan melainkan melahirkan hukum Rukhsah.
  2. Azas Qillatu Taklif (tidak membahayakan taklifi), artinya hukum Islam itu tidak memberatkan pundak mukallaf dan tidak menyukarkan.
  3. Azas Tadarruj, (bertahap/ gradual), artinya pembinaan hukum Islam berjalan setahap demi setahap disesuaikan dengan tahapan perkembangan manusia.
  4. Azas Kemuslihatan Manusia, artinya hukum Islam seiring dengan dan mereduksi sesuatu yang ada  di lingkungannya.
  5. Azas Keadilan Merata, artinya hukum Islam sama keadaannya tidak lebih melebihi bagi yang satu terhadap yang lainnya.
  6. Azas Estetika, artinya hukum Islam memperbolehkan bagi kita untuk mempergunakan/memperhatiakn segala sesuatu yang indah.
  7. Azas Menetapkan Hukum Berdasar Urf yang Berkembang Dalam Masyarakat, artinya hukum Islam dalam penerapannya senantiasa memperhatikan adat/kebiasaan suatu masyarakat.
8.      Azas Syara Menjadi Dzatiyah Islam, artinya Hukum yang diturunkan secara mujmal memberikan lapangan yang luas kepada para filusuf untuk berijtihad dan guna memberikan bahan penyelidikan dan pemikiran dengan bebas dan supaya hukum Islam menjadi elastis sesuai dengan perkembangan peradaban manusia.
E.       Prinsip-prinsip Hukum Islam
Abu Zahrah mengemukakan pandangannya, bahwa hukum adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtida (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan) maupun berupa wadh’i (sebab akibat). Ketetapan Allah dimaksudkan pada sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf.
Sebagaimana hukum-hukum yang lain, hukum Islam memiliki prinsip-prinsip dan asas-asas sebagai tiang pokok, kuat atau lemahnya sebuah undang-undang, mudah atau sukarnya, ditolak atau diterimanya oleh masyarakat, tergantung kepada asas dan tiang pokonya
Secara etimologi (tata bahasa) prinsip adalah dasar, permulaan, aturan pokok. Juhaya S. Praja memberikan pengertian prinsip sebagai berikut: permulaan; tempat pemberangkatan; itik tolak; atau al-mabda.
Adapun secara terminologi Prinsip adalah kebeneran universal yang inheren didalam hukum Islam dan menjadi titik tolak pembinaannya; prinsip yang membentuk hukum dan setiap cabang-cabangnya. Prinsip hukum Islam meliputi prinsip umum dan prinsip umum. Prinsip umum ialah prinsip keseluruhan hukum Islam yang bersifat unuversal. Adapun prinsip-prinsip khusus ialah prinsip-prinsip setiap cabang hukum Islam.
Prinsip-prinsip hukum Islam menurut Juhaya S. Praja sebagai berikut :
a.         Prinsip Tauhid
Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah QS. Ali Imran Ayat 64.
Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manipestasikesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian tidak boleh terjadi setiap mentuhankan sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia kepada keseluruhan kehendak-Nya.
Prinsip tauhid inipun menghendaki dan memposisikan untuk menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Qur’an dan As-Sunah). Barang siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah, maka orang tersebut dapat dikateegorikan kedalam kelompok orang-orang yang kafir, dzalim dan fasiq (Q.S. ke 5 Al-Maidah : 44, 45 dan 47).
b.         Prinsip Keadilan
Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mi’za’n (keseimbangan/ moderasi). Kata keadilan dalam al-Qur’an kadang diekuifalensikan dengan al-qist. Al-mizan yang berarti keadilan di dalam        Al-Qur’an terdapat dalam QS. Al-Syura: 17 dan Al-Hadid: 25.
Term keadilan pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena esensinya, seba Allah tidak mendapat keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat
c.         Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar
Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridloi Allah dalam filsafat hukum Barat diartikan sebagai fungsi social engineering hukum. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar didasarkan pada QS. Al-Imran : 110, pengkategorian Amar Makruf Nahi Mungkar dinyatakan berdasarkan wahyu dan akal.
d.          Prinsip Kebebasan/ Kemerdekaan
Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/hukum Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dl arti luasyg mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah : 256 dan Al-Kafirun: 5)
e.         Prinsip Persamaan/Egalite
Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial seperti komunis.
f.          Prinsip At-Ta’awun
Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.
g.         Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan ummatnya tegasnya toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam.
Wahbah Az-Zuhaili, memaknai prinsip toleransi tersebut pada tataran penerapan ketentuan Al-Qur’an dan Hadits yang menghindari kesempitan dan kesulitan, sehingga seseorang tidak mempunyai alasan dan jalan untuk meninggalkan syari‟at ketentuan hukum Islam. Dan lingkup toleransi tersebut tidak hanya pada persoalan ibadah saja
F.        Penerapan Hukum Islam
Ada tiga pilar yang menjadi landasan : Pertama, ketakwaan yang tertanam dan terbina pada setiap individu di tengah-tengah masyarakat. Seorang Muslim memiliki pandangan mendalam dan jernih yang mencakup pemikiran terhadap alam, manusia, dan kehidupan, serta apa yang ada pada sebelum dan sesudah kehidupan dunia ini. Pandangan ini akan menumbuhkan perasaan dan indera seorang Mukmin terhadap takwa, dan menjadikan akidahnya sebagai pengontrol perilakunya sehingga senantiasa terikat dengan hukum Islam. Peristiwa Maiz dan Ghamidiyah yang datang meminta dihukum oleh Rasulullah saw.
Kedua, sikap masyarakat untuk saling mengontrol pelaksanaan hukum Islam dan mengawasi serta mengoreksi perilaku penguasa. Dalam naungan masyarakat inilah individu tidak akan berani berbuat maksiat secara terang-terangan atau bahkan tidak akan bermaksiat. Bahkan kalaupun ia tergoda juga untuk bermaksiat, ia akan berusaha menyembunyikannya. Namun begitu, dengar sadar ia akan kembali pada kebenaran dan bertobat atas kekhilafannya.
Bahkan orang-orang munafik sekalipun, pada masa Nabi saw., tidak berani menampakkan apa yang mereka sembunyikan dan menampakkan rencana-rencananya. Pada zaman Kekhilafahan Abbasiyah juga didapati orang-orang fasik, tetapi jumlahnya sedikit; mereka dengan cara sembunyi-sembunyi mendatangi rumah-rumah orang-orang Nasrani (kafir dzimmi) hanya untuk meminum seteguk khamr. Mereka melakukan hal ini bukan karena takut terhadap penguasa saja ataupun sanksi yang akan diterimanya, tetapi mereka takut menghadapi pengawasan masyarakat. Tekanan keras dari masyarakat inilah yang menjadi faktor kuat untuk mendorong sekelompok kecil penyeleweng tersebut bersembunyi.
Ketiga, negara/pemerintahan sebagai pelaksana hukum syariat. Sekalipun terdapat ketakwaan individu dan kontrol sosial, pelaksana tathbîq al-ahkâm adalah negara. Kedudukan negara dalam Islam, yakni Khilafah Islamiyah, tidak lain sebagai pemelihara masyarakat dan anggota-anggotanya serta bertindak selaku pemimpin yang mengatur dan mementingkan urusan rakyatnya. Khilafah merupakan asas bagi tegak dan kokohnya masyarakat Islam; ia mengawasi dan mengontrol masyarakat serta pelaksanaan seluruh hukum Islam. Negara juga merupakan pemimpin bagi umat dalam mengatur perekonomian, kesehatan, keamanan, hubungan dalam dan luar negeri serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di tengah-tengah masyarakat. Negara mengawasi dan mengontrol masyarakat seraya meminta pertanggungjawaban mereka tanpa pandang bulu. Dalam sistem Islam, Negara bersikap keras (tegas) dalam melaksanakan syariat Islam, tetapi lunak terhadap umat dan individu yang ikut serta bersama masyarakat dalam mengoreksi perilaku para penguasa. 
Realitas menunjukkan bahwa individu dan masyarakat melaksanakan Islam. Adapun negara adalah pihak yang menegakkan dan bertanggung jawab atas tegaknya syariat Islam di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, negara Khilafah merupakan metode tathbîq al-ahkâm. Padanyalah Allah memberikan amanah untuk menerapkan syariat Islam. Kepala negara (Khalifah) beserta aparatnya adalah yang menjalankan amanah itu. Bahkan sesungguhnya merekalah yang bertanggung jawab mulai dari hal yang sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya. Rasulullah saw. Bersabda:“Imam/Khalifah adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad dari Ibnu Umar. Lihat: Yusuf an-Nabhani, Al-Fath al-Kabîr, II/330-331).
Tathbîq al-ahkâm haruslah berlangsung kontinu. Boleh jadi negara sudah menerapkan syariat Islam, tetapi tetap ada masyarakat yang menyimpang darinya. Karenanya, mutlak diperlukan adanya penjagaan terhadap keberlangsungan tathbîq al-ahkâm. Metode penjagaan itu adalah: 
1.      Sistem sanksi. Negara menegakkan sanksi-sanksi hukum, menyebarkan keadilan, serta mengembalikan hak-hak kepada pihak yang seharusnya menerimanya.
2.      Kontrol dari Majelis Umat.
3.      Adanya Mahkamah Mazhâlim yang mengadili perselisihan antara anggota masyarakat dan pejabat Kekhalifahan.
4.      Adanya partai politik yang menyebarkan dan menegakkan Islam.
Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam. Akibatnya, Islam harus disebarkan ke seluruh dunia. Pada sisi lain, tantangan pelaksanaan tathbîq al-ahkâm dapat datang dari luar negeri. Untuk itu, Islam perlu diemban dengan dakwah dan jihad. Negara memobilisasi tentara maupun rakyat untuk menyebarkan dakwah Islam ke seluruh pelosok dunia. Negara pula yang mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara-negara lain dan menyatakan perang, membuat perdamaian, kerjasama ekonomi, maupun yang lainnya untuk kemaslahatan bersama.
G.      Tujuan Hukum Islam
Asy Syatibi mengatakan bahawa tujuan Syariat Islam adalah mencapai kemaslahatan hamba baik di dunia maupun di akhirat. Antara kemaslahatan tersebut adalah seperti berikut:
1)      Memelihara Agama (Hifz Ad-Din)
Menjaga atau memelihara agama,berdasarkan kepentingannya,dapat kita bedakan dengan tiga peringkat ini:
a)      Dharuriyyah: Memelihara dan melaksanakan kewajipan agama yang masuk peringkat primer. Contoh: Solat lima waktu.Jika solat itu diabaikan,maka akan terancamlah eksestensi agama.
b)      Hijiyyat: Melaksanakan ketentuan Agama. Contoh: Solat Jamak dan Solat Kasarbagi orang yang sedangbepergian. jika tidak dilaksanakan solat tersebut, maka tidak akan mengancam eksestensi agamanya,melainkan hanya mempersulitkan bagi orang yang melakukannya.
c)      Tahsiniyyat: Mengikuti petunjuk agama. Contoh: Menutup aurat.baik di dalam maupon diluar solat, membersihkan badan,pakaian dan tempat. Kegiatan ini tidak sama sekali mengancan eksestensi agama dan tidak pua mempersulitkan bagi orang yang melakukannya.
2)      Memelihara Jiwa (Hifz An-Nafs)
Memelihara jiwa berdasarkan tingkat kepentinganya,kita dapat bedakan dengan tiga peringkat yaitu:
a)      Dharuriyyat: Memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Jika diabaikan maka akan berakibat terancamnya eksestansi jiwa manusia
b)      Hijiyyat: sepertinya diperbolehkan berburu binatang untuk menukmati makanan
yang halal dan lazat.Jika diabaikan maka tidak akan mengancam
eksestensi manusia,melainkan hanya untuk mempersulitkan hidupnya.
c)      Tahsiniyyat : Sepertinya ditetapkannya tatacara makan dan minum.Kegiatan ini
hanya berhubung dengan kesopanan dan etika.Sama sekali tidak
mengancam eksestensi jiwa manusia ataupun mempersulitkan
kehidupan seseorang.
3)      Memelihara Akal (Hifz Al-‘Aql)
Memelihara akal,dilihat dari segi kepentingannya,dapat dibedakan menjadi tiga peringkat yaitu:
a)      Dharuriyyat: Diharamkan meminum minuman keras. Jika tidak diindahkan maka akan mengakibatkan terancamnya eksestensinya akal.
b)      Hijiyyat: Sepertinya menuntu ilmu pengetahuan.Jika hat tersebut diindahkan
maka tidak akan mengakibatkan terancamnya eksestensinya akal.
c)      Tahsiniyyat: Menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini jika diindahkan maka tidak akan ancamnya eksestensi akal secara langsung.
4)      Memelihara Keturunan (Hifz An-Nasl)
a)      Dharuriyyat: Sepertinya disyari’atkan nikah dan dilarang berzina.Jika di abaikan maka eksestensi keturunannya akan terancam.
b)      Hijiyyat: Sepertinya ditetapkan menyebut mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberi hak talaq padanya.Jika mahar itu tidak disebut pada waktu akad maka si suami akan mengalami kesulitan, kerana suami harus membayar mahar misalnya.
c)      Tahsiniyyat: Disyariatkan Khitbah atau Walimat dalam perkahwinan.hal ini jika diabaikan maka tidak akan mengancam eksestensi keturunan.
5)      Memelihara Harta (Hifz Al-Mal)
a)      Dharuriyat: Tata cara pemilikan dan larangan mengambil harta orang lain. Jika Diabaikan maka akan mengakibatkan eksestensi harta.
b)      Hijiyyat: Sepertinya tentang jual beli dengan salam.Jika tidak dipakai salam, Maka tidak akan mengancam eksestensi harta.
c)      Tahsiniyyat: Menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan.Hal in erat Kaitannya dengan etika bermu’amalah atau etika bisnis
H.      Keterkaitan Hukum Islam dengan Ilmu Lainnya
Pertama, Teori hukum modern memiliki karakter tersendiri. Sifat dari hukum modern adalah fleksibel dan mampu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Karena tidak mengenal sakralitas apapun, hukum modern bisa dibuat dan dirubah sesuai dengan keperluan. Hal ini lah yang sering menjadi tuduhan kaum ”fanatik islam” bahwa hukum modern (”hukum buatan manusia” dalam terminologi mereka, sebagai lawan dari hukum buatan Allah yang mereka anggap lebih unggul) selalu berubah sesuai dengan kehendak nafsu manusia.
Akan tetapi, meski hukum positif mengalami banyak perubahan, perubahan tersebut tidak bisa dibuat seenak perutnya. Pembuatan atau perubahan Undang-undang selalu harus melibatkan partisipasi warga masyarakat melalui para wakilnya di parlemen. Proses inilah yang kemudian akan melahirkan check and balance, yang akan menjadi penilai apakah undang-undang tersebut sesuai dengan maslahat rakyat banyak atau tidak. Oleh karena itu, pembuatan atau perubahan suatu undang-undang sering berjalan a lot dan kadang menimbulkan banyak kekisruhan. Namun dibalik itu semua, akan timbul kepuasan, karena undang-undang yang lahir merupakan hasil konsesus. Bila tidak ada kepuasan dikemudian hari, kita bisa mengajukan untuk diadakannya suatu judicial review atau uji materi. Hal itu semua bisa dilakukan tanpa harus merasa khawatir kita telah melanggar batas-batas ketentuan tuhan. Karena sekali lagi hukum positif atau hukum modern tidak memiliki keskaralan apapun.
Karakter lain yang membedakan hukum modern dengan hukum agama adalah, dilihat dari isi atau materi yang dikandungnya. Hukum modern dibuat atas dasar kepentingan dan maslahat bersama. Apa yang menjadi kebaikan bagi rakyat banyak maka hal itulah yang diundangkan. Hukum modern tidak memandang dirinya mengetahui segala hal. Ada batas-batas dimana hukum tidak bisa menjawab semua persoalan yang ada dan diperlukan ketentuan baru untuk mengaturnya. Sedangkan, kelompok-kelompok islam yang memaksa ingin menerapkan hukum islam, memandang bahwa hukum tersebut tahu akan semua kebutuhan manusia, dan tahu apa yang baik dan tidak baik bagi manusia.
Dalam pandangan yang lebih ekstrim, penerapan hukum tuhan secara kaafah dipandang sebagai jalan|(satu-satunya) untuk mencapai kemajuan dunia islam. Para fundamentalis ini memandang hukum islam sebagai bagian sistem islam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para penganut pemahaman seperti ini biasanya sangat keras dengan mereka yang tidak sepaham. Apa yang membedakan diantara kelompok-kelompok seperti: salafi, hizbut tahrir atau ikhwanul muslimin hanyalah manhaj atau metodenya saja. Namun, pandangan mereka terhadap hukum islam nyaris sama.
Yang terakhir apa yang membedakan hukum islam dengan hukum modern adalah, hukum islam mengatur semua aspek kehidupan dari mulai urusan pribadi (private) sampai dengan urusan publik (namun saya ragu apa benar hukum islam mengatur semua hal, kenyataannya banyak hal yang hukum islam masih absen didalamnya seperti teknologi informasi, perdagangan bebas, aplikasi teknologi dalam kehidupan manusia, paling banter fatwa yang keluar hanya seputar ini boleh ini haram tanpa ada penjelasan mendetail yang bisa mencerdaskan). Gonjang-ganjing perubahan Undang-undang penanaman modal bisa kita ambil sebagai contoh yang menarik. Undang-undang investasi atau penanamn modal ini sangatlah penting karena menyangkut kehidupan perekonomian rakyat banyak. Namun, kebanyakan para penyeru syariat islam speechless dengan isu yang satu ini . Kalaupun ada (seperti hizbut-tahrir misalnya) mereka umumnya hanya meneriakan argumen dan slogan-slogan lama kalau undang-undang penanaman modal tersebut hanya merugikan rakyat dan hanya berpihak kepada pemodal atau kapitalis. Slogan-slogan demikian hanyalah repetisi dari jargon-jargon kaum kiri, yang kalau mau jujur saya masih bisa mengapresiasi kritik kaum kiri karena argumen yang mereka lontarkan jauh lebih baik ketimbang kelompok islamis. Kelompok-kelompok islam hanya latah ikut menentang undang-undang penanaman modal tanpa tahu persis duduk perkaranya.
Lebih jauh lagi, dalam pandangan kaum islamis, apa yang dianggap sebagai fardhu ‘ain atau yang menyangkut halal-haram, maka hal tersebut boleh di interfensi. Kalau perlu dengan menggunakan aparatus negara seperti polisi. Meskipun hal tersebut menyangkut urusan yang sifatnya pribadi atau private. Contohnya, jika anda tidak sholat, maka anda akan dihukum karena menelantarkan kewajiban agama yang telah diatur oleh negara. Didalam hukum modern agama atau keyakinan seseorang dimasukan kedalam wilayah private yang negara tidak berhak ikut campur mengurusnya. Begitu juga masalah pakaian, pergaulan dan masih banyak lagi. Ada kesan bahwa hukum islam yang ingin diterapkan kelompok islamis menghendaki keseragaman, baik bagi pemeluknya maupun warga negaranya.
Sedangkan, hukum modern lebih menekankan pada pengaturan hukum publik. Hanya hukum publik saja yang diatur dan dapat di intervensi oleh pemerintah. Adapun yang menjadi kepentingan pribadi diatur oleh masing-masing individu (pembagian hukum publik dan private merupakan ciri khas dari sistem hukum eropa kontinental. Namun demikian, sistem hukum anglo saxon atau common law memiliki karakter yang sama meski tidak menyebutkan hukum private secara eksplisit). Kalaupun diatur dalam peraturan tertentu, maka penyelesaiannya kembali pada individu masing-masing. Dalam hal ini negara hanya memfasilitasi saja. Hukum modern tidak mengatur secara detail apa yang termasuk kedalam wilayah pribadi seperti keyakinan beragama, masalah pakaian, etika pergaulan atau keluarga. Hal-hal tersebut cukup dikembalikan pada pada individu dan masyarakat masing-masing.
Saya rasa, faktor ketiga inilah yang paling penting. ketika negara tidak mengintervensi kehidupan pribadi warganya, maka warga memiliki kebebasan untuk berbuat banyak hal tanpa harus merasa diawasi. Kebebasan individu merupakan pra-syarat utama kemakmuran suatu bangsa. Kemajuan negara-negara industri modern adalah karena negara disana tidak mengintervensi kehidupan pribadi warganya secara mendetail.
Sistem hukum barat ini termasuk salah satu lembaga yang penting dalam kehidupan modern. Hal ini dikarenakan, sistem hukum barat memiliki keluwesan yang tidak dimiliki oleh hukum agama atau hukum islam. Yang lebih penting lagi, perdebatan yang terjadi didalam proses pembuatan atau perubahan hukum modern yang sekuler ini tidak membawa pada efek yang serius seperti pengkafiran atau label sesat lainnya. Perdebatan seputar hukum modern dianggap sebagai suatu yang wajar sehingga dapat merangsang ide-ide cemerlang dalam merumuskan kemaslahatan bersama.


                                                                                                       
DAFTAR PUSTAKA

Az-Zuhaili Wahbah, tth, Al-Dharuurah Al-Syar’iyyah, Muasasah al-Risalah, Damaskus M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Cet-V, Jakarta, 1993 : 73
H. Mohammad Daud Ali, 1993, Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Khallaf Abdu al-Wahab, 1968, Ilmu Ushul Fiqh, Dar al-Kuwaitiyah
Praja Juhaya S., 1995, Filsafat Hukum Islam, LPPM Unisba, Bandung.
Qardhawi Yusuf, 1993, Malamih Al-Mujtama Al-Muslim Alladzi Nansyuduhu,Maktabah Wahbah, Kairo
Suryadi, 1980, Kamus Baru Bahasa Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya
Zahrah Abu, 1994, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar