Filsafat Hukum Islam
Filsafat
hukum Islam ialah filsafat yang diterapkan pada hukum Islam, ia merupakan
filsafat khusus dan obyeknnya tertentu, yaitu hukum Islam, maka, filsafat
hukumIslam adalah filsafat yang meng analisis hukumIslam secara metodis dan
sistematis sehinnga mendapat keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum
secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya. Menurut Azhar ba’asyir, filsafat
hukum Islam adalah pemikiran secara ilmiah, sistematis, dapat dipertanggung
jawabkan dan radikal tentang hukum Islam, filsafat hukum Islam merupakan anak
sulung dari filsafat Islam
Dengan
rumusan lain Filsafat hukum Islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia,
dan tujuan Islam baik yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya,
atau filsafat yang digunakan untuk memancarkan, meguatkan, dan memelihara hukum
Islam, sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah SWT menetapkannya di muka
bumi yaitu untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Dengan filsafat ini
hukum Islam akan benar-benar “cocok sepanjang masa di semesta alam”
A. Obyek kajian dan
kajian Filsafat Hukum Islam
Hukum
Islam Mengacu pada pandangan hukum yang berifat teleologis. Artinya
hukum Islam itu diciptakan karena iia mempunyai maksud dan tujuan. Tujuan dari
adanya hukum Islam adalah terciptanya kedamaian di dunia dan kebahagian di
akhirat. Jadi hukum Islam Bukan bertujuan meraih kebahagaiaan yang fana’ dan
pendek di dunia semata, tetapi juga mengarahkan kepada kebahagiaan yang kekal
di akhirat kelak. Inilah yang membedakannya dengan hukum manusia yang
menghendaki kedamaian di dunnia saja.
Dengan
tegak dan berhasilnya Filsafat hukum Islam, dapat dibuktikan bahwa hukum Islam
mampu memberikan jawaban terhadap tantangan zaman dan merupakan hukum terbaik
sepanjang zaman bagi semesta alam. Para ahli ushul fiqih, sebagaimana ahli
filsafat hukum Islam, membagi filsafat hukum Islam kepada dua rumusan,
yaitu falsafat tasyri’ dan falsafah syariah.
1. Falsafat tasyri’:
filsafat yang memancarkan hukum Islam atau menguatkannya dan memeliharanya.
Filsafat ini bertugas membicarakan hakikat dan tujuan penetapan hukumIslam.
Filsafat tasyri terbagi kepada:
o Da’aim al-hakim (dasar-dasar hukum Islam)
o Mabadi al-ahkam (prinsip-prinsip hukum Islam)
o Ushul al-ahkam (pokok-pokok hukum Islam) atau
mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum Islam)
o Maqashid al-ahkam (tujuan-tujuan hukum Islam)
o Qawaid al-ahkam (kaidah-kaidah Hukum Islam)
2. Falsafat
syariah: filsafat yang diungkapkan dari materi-materi hukum Islam
seperti Ibadah, mu’amalah, jinayah, ‘uqubah, dan sebagainyafilsafat ini
membicarakan hakikat dan rahasia hukum Islam. Termasuk ke dalam
pembagian falsafat syariah adalah:
o Asrar al-ahkam (rahasia-rahasia hukum Islam)
o Khasa is al-ahkam (cirri-ciri khas hukum
islam)
o Mahasin al-ahkam atau mazaya al-ahkam
(keutamaan-keutamaan hukum islam)
·
Thawabi al-ahkam (karateristik hukum islam)
B. Pertumbuhan dan Perkembangan
Filsafat Hukum Islam
1. Pertumbuhan
Filsafat Hukum Islam
Sumber
utama hukum Islam adalah Al-Quran dan As-Sunnah terhadap segala masalah yang
tidak diterangkan dalam kedua sumber tersebut, kaum muslimin diperbolehkan
berijtihad dengan mempergunakan akalnya guna menentukan ketentuan hukum.
Berijtihad dengan mempergunakan akal dalam permasalahan hukum islam, yang pada
hakikatnya merupakan pemikiran falsafi itu, direstui oleh Rasulullah SAW,
bahkan Allah menyebutkan bahwa mempergunakan akal dan pikiran falsafi itu
sangat perlu dalam memahami berbagai persoalan.
Izin
Rasulullah kepada Mu’adz untuk berijtihad merupakan awal dari lahirnya filsafat
hukum Islam pada masa Rasulullah segala persoalan diselesaikan dengan wahyu,
pemikiran falsafi yang salah dibenarkan oleh wahyu, ketika Rasulullah telah
wafat dan wahyupun telah usai maka akal dengan pemikiran falsafinya berperan
baik dalam perkara yang ada Nashnya maupun yang tidak ada. Pemikiran falsafi
terhadap hukum islam yang ada nashnya bermula pada masa khulafaurasyidin
terutama umar bin khattab. Penghapusan hukum potong tangan bagi pencuri, zakat
bagi muallaf, dll. Yang dilakukan oleh umar bedasarkan kesesuaian zaman untukk
menjamin menegakkan keadilan yang menjadi asas hukum islam, merupakan contoh
penerapan hukum berdasarkan hukum manusia. Jadi penerapan hukum harus dapat
meneggakkan kemaslahatan dan keadilan yang menjadi tujuan dari hukum islam
2. Perkembangan
Filsafat Hukum Islam
Kegiatan
penelitian terhadap tujuan hukum (Maqasid Al-Syariah) telah dilakukan oleh para
ahli ushul fiqih terdahulu, Al-Juwaini dapat diakatakan sebagai ahli Ushul
fiqih pertama yang menekankan pentingnya memahami Maqashid
Syariah dalam penetapan Hukum ia menyatakan bahwa seseoarang tidak
dikatakan mampu menetapakan hukum dalam Islam sebelum ia dapat memahami benar
tujuan Allah Menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya
Al-juawaini
mengelaborasi lebih lanjut Maqashid Al-Syariah dalam kaitannya dalam
pembahasan illat pada masalah Qiyas. menurut Pendapatnya, dalam
kaitannya dengan Illat, ashldapat dijadikan 5 kelompok, yaitu
kelompok darruriyat, al-hajjiyyat al-ammat, makramat, sesuatu yang
tidak termasuk kelompok Darruiyat dan Hajjiyat dan sesuatu
yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya. Pada dasarnya Al-Juwaini
mengelompok ashl atau tujuan hukum menjadi 3 kelompok yaitu Darruriyat,
Hajjiyat, Makramat yang terakhir dalam istilah lain
disebut Tahsiniyyat. Pemikiran Al-juwaini dikembangkan oleh muridnya yaitu
al-Ghazali, beliau menjelaskan maksud syariat dalam kaitannya dalam
pembahasan al-Mnasabat al-maslahiyyat dalam Qiyas. Sementara dalam
kitab yang lain ia membicarakannya dalam pembahasan Istishlah. Ia
menrincikan maslahat itu menjadi lima, memlihara agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta.
Ahli
ushul fiqih yang membahas secara khusus aspek utama Maqashid
al-syariah adalah Izz al-Din Ibn Abdal-Salam dari kalangan
mazhab Syafii. Dalam kitabnya Qawaid al-ahkam fi mashalih al-anam, ia
lebih banyak mengelaborasi hakikat maslahat yang dijawantahkan dalam
bentuk Dar’u al-mafasid wa Jalbu al-manafi (menghindari mafsadat
dan menarik manfaat). Lebih lanjut ia menyatakan bahwa taklif bermuara pada
kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa Ibn Abd al-Salam telah mencoba mengembangkan prinsip mashlahat
yang merupakan inti pembahasan dalam Maqashid al-syariah.
Ahli Ushul fiqih yang membahas teori Maqashid Al-Syariah secara
khusus, sistematis dan jelas adalah, al-Syahtibi dari kalangan
madzhab Maliki, dalam kitabnya Al-Muwafaqad ia menghabiskan kurang
lebih sepertiga pembahasannya dalam masalah ini, ia secara tegas bahwa tujuan
Allah SWT. Mensyariatkan hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia
dan akhirat. Karena itu taklik dalam bidang hukum harus bermuara pada
tujuan hukum tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya para penulis Filsafat
Hukum Islam mencoba menonjolkan istilah filsafat hukum Islam ketimbang
menggunakan Istilah Hikmah atau tujuan disyariatkan hukum Islam.
C. Dalil Aqli dan
Naqli
Dalil
aqli adalah dalil yang bersumber dari akal (aqli dalam bahasa Arab =
akal). Allah S.W.T
hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal, kerana hanya mereka
yang dapat memahami agama dan syariat-Nya. Allah S.W.T berfirman:
"Dan
merupakan peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal." [Surah
Shaad:43]
Taklif/Beban Hukum
Akal
merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif
(beban kewajiban) dari Allah SWT Hukum-hukum syari’at tidak berlaku bagi mereka
yang tidak menerima taklif. Dan di antara yang tidak menerima taklif itu adalah
orang gila kerana kehilangan akalnya.
Rasulullah
S.A.W bersabda, artinya:
"Pena
(catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan ; orang
yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai bermimpi, orang gila sampai ia
kembali sadar (berakal)."
Pembatasan
wilayah kerja akal
Pembatasan
wilayah kerja akal dan pikiran manusia sebagaimana firman Allah SWT.
Artinya :"Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu
adalah urusan Rabb-
ku. Dan tiadalah kalian diberi ilmu melainkan
sedikit." [Surah Al-Israa’: 85]
Firman
Allah SWT yang artinya:
"Dia
mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka,
sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya." [Surah Thaahaa:
110]
Pandangan
Ahlus Sunnah
Ulama
Salaf (Ahlus Sunnah) senntiasa mendahulukan naql (wahyu) atas ‘aql (akal). Naql
adalah dalil-dalil syar’i yang tertuang dalam Al-Quran dan as-Sunnah.
Sedangkan yang dimaksud dengan akal ialah, dalil-dalil ‘aqli yang dibuat oleh
para ulama ilmu kalam dan mereka jadikan sebagai agama yang
menundukkan/mengalahkan dalil-dalil syar’i.
Mendahulukan
dalil naqli atas dalil akal bukan berarti Ahlus Sunnah tidak menggunakan akal.
Tetapi maksudnya adalah dalam menetapkan aqidah mereka tidak menempuh
cara seperti yang ditempuh para ahli kalam yang menggunakan rasio semata untuk
memahami masalah-masalah yang sebenarnya tidak dapat dijangkau oleh akal dan
menolak dalil naqli (dalil syar’i) yang bertentangan dengan akal mereka atau
rasional mereka.
Secara
ringkas pandangan Ahlus Sunnah tentang penggunaan akal, di antaranya sebagai
berikut:
- Syari’at didahulukan atas akal, kerana syari’at itu ma’shum sedang akal tidak ma’shum.
- Akal mempunyai kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global, tidak bersifat terperinci.
- Apa yang benar dari hukum-hukum akal pasti tidak bertentangan dengan syari’at.
- Apa yang salah dari pemikiran akal adalah apa yang berten-tangan dengan syari’at.
- Penentuan hukum-hukum tafshiliyah (terinci seperti wajib, haram dan seterusnya) adalah hak syariat.
- Akal tidak dapat menentukan hukum tertentu atas sesuatu sebelum datangnya wahyu, walaupun secara umum ia dapat mengenal dan memahami yang baik dan buruk.
- Balasan atas pahala dan dosa ditentukan oleh syari’at.
Dari
sini dapat dikatakan bahawa keyakinan Ahlus Sunnah adalah yang benar dalam
masalah penggunaan akal sebagai dalil. Jadi, akal dapat dijadikan dalil jika
sesuai dengan Al-Quran dan as-Sunnah atau
tidak bertentangan dengan keduanya. Dan jika ia bertentangan dengan keduanya,
maka ia dianggap bertentangan dengan sumber dan dasarnya. Dan keruntuhan dasar
bererti juga keruntuhan bangunan yang ada di atasnya. Sehingga akal tidak lagi
menjadi hujah (bukti, alasan) namun berubah menjadi dalil yang bathil.
D. Azas-azas Hukum
Islam
Azas
secara etimologi memiliki makna dalah dasar, alas, pondamen (Muhammad Ali, TT:
18). Adapun secara terminologinya Hasbi Ash-Shiddiqie mengungkapkan bahwa hukum
Islam sebagai hukum yang lain mempunyai azas dan tiang pokok sebagai berikut:
- Azas Nafyul Haraji (meniadakan kepicikan), artinya hukum Islam dibuat dan diciptakan itu berada dalam batas-batas kemampuan para mukallaf. Namun bukan berarti tidak ada kesukaran sedikitpun sehingga tidak ada tantangan, sehingga tatkala ada kesukaran yang muncul bukan hukum Islam itu digugurkan melainkan melahirkan hukum Rukhsah.
- Azas Qillatu Taklif (tidak membahayakan taklifi), artinya hukum Islam itu tidak memberatkan pundak mukallaf dan tidak menyukarkan.
- Azas Tadarruj, (bertahap/ gradual), artinya pembinaan hukum Islam berjalan setahap demi setahap disesuaikan dengan tahapan perkembangan manusia.
- Azas Kemuslihatan Manusia, artinya hukum Islam seiring dengan dan mereduksi sesuatu yang ada di lingkungannya.
- Azas Keadilan Merata, artinya hukum Islam sama keadaannya tidak lebih melebihi bagi yang satu terhadap yang lainnya.
- Azas Estetika, artinya hukum Islam memperbolehkan bagi kita untuk mempergunakan/memperhatiakn segala sesuatu yang indah.
- Azas Menetapkan Hukum Berdasar Urf yang Berkembang Dalam Masyarakat, artinya hukum Islam dalam penerapannya senantiasa memperhatikan adat/kebiasaan suatu masyarakat.
8. Azas Syara Menjadi
Dzatiyah Islam, artinya Hukum yang diturunkan secara mujmal memberikan lapangan
yang luas kepada para filusuf untuk berijtihad dan guna memberikan bahan
penyelidikan dan pemikiran dengan bebas dan supaya hukum Islam menjadi elastis
sesuai dengan perkembangan peradaban manusia.
E. Prinsip-prinsip Hukum
Islam
Abu
Zahrah mengemukakan pandangannya, bahwa hukum adalah ketetapan Allah yang
berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik
berupa iqtida (tuntutan perintah atau
larangan), takhyir (pilihan) maupun berupa wadh’i (sebab
akibat). Ketetapan Allah dimaksudkan pada sifat yang telah diberikan oleh Allah
terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf.
Sebagaimana
hukum-hukum yang lain, hukum Islam memiliki prinsip-prinsip dan asas-asas
sebagai tiang pokok, kuat atau lemahnya sebuah undang-undang, mudah atau
sukarnya, ditolak atau diterimanya oleh masyarakat, tergantung kepada asas dan
tiang pokonya
Secara
etimologi (tata bahasa) prinsip adalah dasar, permulaan, aturan pokok. Juhaya
S. Praja memberikan pengertian prinsip sebagai berikut: permulaan; tempat
pemberangkatan; itik tolak; atau al-mabda.
Adapun
secara terminologi Prinsip adalah kebeneran universal yang inheren didalam
hukum Islam dan menjadi titik tolak pembinaannya; prinsip yang membentuk hukum
dan setiap cabang-cabangnya. Prinsip hukum Islam meliputi prinsip umum dan
prinsip umum. Prinsip umum ialah prinsip keseluruhan hukum Islam yang bersifat
unuversal. Adapun prinsip-prinsip khusus ialah prinsip-prinsip setiap cabang
hukum Islam.
Prinsip-prinsip hukum
Islam menurut Juhaya S. Praja sebagai berikut :
a. Prinsip Tauhid
Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam.
Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada dibawah satu ketetapan yang
sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah
(Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah QS. Ali
Imran Ayat 64.
Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka
pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia dan
penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manipestasikesyukuran kepada-Nya.
Dengan demikian tidak boleh terjadi setiap mentuhankan sesama manusia dan atau
sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan
diri manusia kepada keseluruhan kehendak-Nya.
Prinsip tauhid inipun menghendaki dan
memposisikan untuk menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Qur’an
dan As-Sunah). Barang siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah, maka
orang tersebut dapat dikateegorikan kedalam kelompok orang-orang yang kafir,
dzalim dan fasiq (Q.S. ke 5 Al-Maidah : 44, 45 dan 47).
b. Prinsip Keadilan
Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim
al-mi’za’n (keseimbangan/ moderasi). Kata keadilan dalam al-Qur’an kadang
diekuifalensikan dengan al-qist. Al-mizan yang berarti keadilan di
dalam Al-Qur’an terdapat dalam
QS. Al-Syura: 17 dan Al-Hadid: 25.
Term keadilan pada umumnya berkonotasi dalam
penetapan hukum atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan dalam hukum
Islam meliputi berbagai aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip
moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena
esensinya, seba Allah tidak mendapat keuntungan dari ketaatan dan tidak pula
mendapatkan kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut
hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat
membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat
c. Prinsip Amar
Makruf Nahi Mungkar
Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat
manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridloi
Allah dalam filsafat hukum Barat diartikan sebagai fungsi social engineering
hukum. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar didasarkan pada QS. Al-Imran : 110,
pengkategorian Amar Makruf Nahi Mungkar dinyatakan berdasarkan wahyu dan akal.
d. Prinsip
Kebebasan/ Kemerdekaan
Prinsip kebebasan dalam hukum Islam
menghendaki agar agama/hukum Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi
berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip
hukum Islam adalah kebebasan dl arti luasyg mencakup berbagai macamnya, baik
kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin
berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah : 256 dan
Al-Kafirun: 5)
e. Prinsip
Persamaan/Egalite
Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat
dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang
perbudakan dan penghisapan darah manusia atas manusia. Prinsip persamaan ini
merupakan bagian penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam
menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal
stratifikasi sosial seperti komunis.
f. Prinsip At-Ta’awun
Prinsip ini memiliki makna saling membantu
antar sesama manusia yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam
peningkatan kebaikan dan ketakwaan.
g. Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam
adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan ummatnya
tegasnya toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam.
Wahbah Az-Zuhaili, memaknai prinsip toleransi
tersebut pada tataran penerapan ketentuan Al-Qur’an dan Hadits yang menghindari
kesempitan dan kesulitan, sehingga seseorang tidak mempunyai alasan dan jalan
untuk meninggalkan syari‟at ketentuan hukum Islam. Dan lingkup toleransi
tersebut tidak hanya pada persoalan ibadah saja
F. Penerapan Hukum
Islam
Ada tiga
pilar yang menjadi landasan : Pertama, ketakwaan yang tertanam dan terbina
pada setiap individu di tengah-tengah masyarakat. Seorang Muslim memiliki pandangan
mendalam dan jernih yang mencakup pemikiran terhadap alam, manusia, dan
kehidupan, serta apa yang ada pada sebelum dan sesudah kehidupan dunia ini.
Pandangan ini akan menumbuhkan perasaan dan indera seorang Mukmin terhadap
takwa, dan menjadikan akidahnya sebagai pengontrol perilakunya sehingga
senantiasa terikat dengan hukum Islam. Peristiwa Maiz dan Ghamidiyah yang
datang meminta dihukum oleh Rasulullah saw.
Kedua, sikap
masyarakat untuk saling mengontrol pelaksanaan hukum Islam dan mengawasi serta
mengoreksi perilaku penguasa. Dalam naungan masyarakat inilah individu tidak
akan berani berbuat maksiat secara terang-terangan atau bahkan tidak akan
bermaksiat. Bahkan kalaupun ia tergoda juga untuk bermaksiat, ia akan berusaha
menyembunyikannya. Namun begitu, dengar sadar ia akan kembali pada kebenaran
dan bertobat atas kekhilafannya.
Bahkan
orang-orang munafik sekalipun, pada masa Nabi saw., tidak berani menampakkan
apa yang mereka sembunyikan dan menampakkan rencana-rencananya. Pada zaman
Kekhilafahan Abbasiyah juga didapati orang-orang fasik, tetapi jumlahnya
sedikit; mereka dengan cara sembunyi-sembunyi mendatangi rumah-rumah
orang-orang Nasrani (kafir dzimmi) hanya untuk meminum seteguk khamr. Mereka
melakukan hal ini bukan karena takut terhadap penguasa saja ataupun sanksi yang
akan diterimanya, tetapi mereka takut menghadapi pengawasan masyarakat. Tekanan
keras dari masyarakat inilah yang menjadi faktor kuat untuk mendorong
sekelompok kecil penyeleweng tersebut bersembunyi.
Ketiga,
negara/pemerintahan sebagai pelaksana hukum syariat. Sekalipun terdapat
ketakwaan individu dan kontrol sosial, pelaksana tathbîq al-ahkâm adalah
negara. Kedudukan negara dalam Islam, yakni Khilafah Islamiyah, tidak lain
sebagai pemelihara masyarakat dan anggota-anggotanya serta bertindak selaku
pemimpin yang mengatur dan mementingkan urusan rakyatnya. Khilafah merupakan
asas bagi tegak dan kokohnya masyarakat Islam; ia mengawasi dan mengontrol
masyarakat serta pelaksanaan seluruh hukum Islam. Negara juga merupakan
pemimpin bagi umat dalam mengatur perekonomian, kesehatan, keamanan, hubungan
dalam dan luar negeri serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
tengah-tengah masyarakat. Negara mengawasi dan mengontrol masyarakat seraya
meminta pertanggungjawaban mereka tanpa pandang bulu. Dalam sistem Islam,
Negara bersikap keras (tegas) dalam melaksanakan syariat Islam, tetapi lunak
terhadap umat dan individu yang ikut serta bersama masyarakat dalam mengoreksi
perilaku para penguasa.
Realitas
menunjukkan bahwa individu dan masyarakat melaksanakan Islam. Adapun negara
adalah pihak yang menegakkan dan bertanggung jawab atas tegaknya syariat Islam
di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, negara Khilafah merupakan metode
tathbîq al-ahkâm. Padanyalah Allah memberikan amanah untuk menerapkan syariat
Islam. Kepala negara (Khalifah) beserta aparatnya adalah yang menjalankan
amanah itu. Bahkan sesungguhnya merekalah yang bertanggung jawab mulai dari hal
yang sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya. Rasulullah saw. Bersabda:“Imam/Khalifah adalah
pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya.” (HR
al-Bukhari, Muslim, Ahmad dari Ibnu Umar. Lihat: Yusuf an-Nabhani, Al-Fath
al-Kabîr, II/330-331).
Tathbîq
al-ahkâm haruslah berlangsung kontinu. Boleh jadi negara sudah menerapkan
syariat Islam, tetapi tetap ada masyarakat yang menyimpang darinya. Karenanya,
mutlak diperlukan adanya penjagaan terhadap keberlangsungan tathbîq al-ahkâm.
Metode penjagaan itu adalah:
1. Sistem sanksi.
Negara menegakkan sanksi-sanksi hukum, menyebarkan keadilan, serta
mengembalikan hak-hak kepada pihak yang seharusnya menerimanya.
2. Kontrol dari
Majelis Umat.
3. Adanya Mahkamah
Mazhâlim yang mengadili perselisihan antara anggota masyarakat dan pejabat
Kekhalifahan.
4. Adanya partai
politik yang menyebarkan dan menegakkan Islam.
Islam
merupakan rahmat bagi seluruh alam. Akibatnya, Islam harus disebarkan ke
seluruh dunia. Pada sisi lain, tantangan pelaksanaan tathbîq al-ahkâm dapat datang
dari luar negeri. Untuk itu, Islam perlu diemban dengan dakwah dan jihad.
Negara memobilisasi tentara maupun rakyat untuk menyebarkan dakwah Islam ke
seluruh pelosok dunia. Negara pula yang mengadakan perjanjian-perjanjian dengan
negara-negara lain dan menyatakan perang, membuat perdamaian, kerjasama
ekonomi, maupun yang lainnya untuk kemaslahatan bersama.
G. Tujuan Hukum Islam
Asy
Syatibi mengatakan bahawa tujuan Syariat Islam adalah mencapai kemaslahatan
hamba baik di dunia maupun di akhirat. Antara kemaslahatan tersebut adalah
seperti berikut:
1) Memelihara Agama
(Hifz Ad-Din)
Menjaga atau memelihara agama,berdasarkan
kepentingannya,dapat kita bedakan dengan tiga peringkat ini:
a) Dharuriyyah:
Memelihara dan melaksanakan kewajipan agama yang masuk peringkat primer.
Contoh: Solat lima waktu.Jika solat itu diabaikan,maka akan terancamlah
eksestensi agama.
b) Hijiyyat:
Melaksanakan ketentuan Agama. Contoh: Solat Jamak dan Solat Kasarbagi orang
yang sedangbepergian. jika tidak dilaksanakan solat tersebut, maka tidak akan
mengancam eksestensi agamanya,melainkan hanya mempersulitkan bagi orang yang
melakukannya.
c) Tahsiniyyat:
Mengikuti petunjuk agama. Contoh: Menutup aurat.baik di dalam maupon diluar
solat, membersihkan badan,pakaian dan tempat. Kegiatan ini tidak sama sekali
mengancan eksestensi agama dan tidak pua mempersulitkan bagi orang yang
melakukannya.
2) Memelihara Jiwa
(Hifz An-Nafs)
Memelihara jiwa berdasarkan tingkat
kepentinganya,kita dapat bedakan dengan tiga peringkat yaitu:
a) Dharuriyyat:
Memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Jika
diabaikan maka akan berakibat terancamnya eksestansi jiwa manusia
b) Hijiyyat:
sepertinya diperbolehkan berburu binatang untuk menukmati makanan
yang halal dan lazat.Jika diabaikan maka tidak akan mengancam
eksestensi manusia,melainkan hanya untuk mempersulitkan hidupnya.
yang halal dan lazat.Jika diabaikan maka tidak akan mengancam
eksestensi manusia,melainkan hanya untuk mempersulitkan hidupnya.
c) Tahsiniyyat :
Sepertinya ditetapkannya tatacara makan dan minum.Kegiatan ini
hanya berhubung dengan kesopanan dan etika.Sama sekali tidak
mengancam eksestensi jiwa manusia ataupun mempersulitkan
kehidupan seseorang.
hanya berhubung dengan kesopanan dan etika.Sama sekali tidak
mengancam eksestensi jiwa manusia ataupun mempersulitkan
kehidupan seseorang.
3) Memelihara Akal
(Hifz Al-‘Aql)
Memelihara akal,dilihat dari segi kepentingannya,dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat yaitu:
a) Dharuriyyat:
Diharamkan meminum minuman keras. Jika tidak diindahkan maka akan mengakibatkan
terancamnya eksestensinya akal.
b) Hijiyyat:
Sepertinya menuntu ilmu pengetahuan.Jika hat tersebut diindahkan
maka tidak akan mengakibatkan terancamnya eksestensinya akal.
maka tidak akan mengakibatkan terancamnya eksestensinya akal.
c) Tahsiniyyat:
Menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak
berfaedah. Hal ini jika diindahkan maka tidak akan ancamnya eksestensi akal
secara langsung.
4) Memelihara
Keturunan (Hifz An-Nasl)
a) Dharuriyyat:
Sepertinya disyari’atkan nikah dan dilarang berzina.Jika di abaikan maka
eksestensi keturunannya akan terancam.
b) Hijiyyat: Sepertinya
ditetapkan menyebut mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberi hak talaq
padanya.Jika mahar itu tidak disebut pada waktu akad maka si suami akan
mengalami kesulitan, kerana suami harus membayar mahar misalnya.
c) Tahsiniyyat:
Disyariatkan Khitbah atau Walimat dalam perkahwinan.hal ini jika diabaikan maka
tidak akan mengancam eksestensi keturunan.
5) Memelihara Harta
(Hifz Al-Mal)
a) Dharuriyat: Tata
cara pemilikan dan larangan mengambil harta orang lain. Jika Diabaikan maka akan
mengakibatkan eksestensi harta.
b) Hijiyyat:
Sepertinya tentang jual beli dengan salam.Jika tidak dipakai salam, Maka tidak
akan mengancam eksestensi harta.
c) Tahsiniyyat:
Menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan.Hal in erat Kaitannya dengan
etika bermu’amalah atau etika bisnis
H. Keterkaitan Hukum
Islam dengan Ilmu Lainnya
Pertama, Teori
hukum modern memiliki karakter tersendiri. Sifat dari hukum modern adalah
fleksibel dan mampu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman.
Karena tidak mengenal sakralitas apapun, hukum modern bisa dibuat dan dirubah
sesuai dengan keperluan. Hal ini lah yang sering menjadi tuduhan kaum ”fanatik
islam” bahwa hukum modern (”hukum buatan manusia” dalam terminologi mereka,
sebagai lawan dari hukum buatan Allah yang mereka anggap lebih unggul) selalu
berubah sesuai dengan kehendak nafsu manusia.
Akan
tetapi, meski hukum positif mengalami banyak perubahan, perubahan tersebut
tidak bisa dibuat seenak perutnya. Pembuatan atau perubahan Undang-undang
selalu harus melibatkan partisipasi warga masyarakat melalui para wakilnya di
parlemen. Proses inilah yang kemudian akan melahirkan check and balance, yang
akan menjadi penilai apakah undang-undang tersebut sesuai dengan maslahat
rakyat banyak atau tidak. Oleh karena itu, pembuatan atau perubahan suatu
undang-undang sering berjalan a lot dan kadang menimbulkan banyak kekisruhan.
Namun dibalik itu semua, akan timbul kepuasan, karena undang-undang yang lahir
merupakan hasil konsesus. Bila tidak ada kepuasan dikemudian hari, kita bisa
mengajukan untuk diadakannya suatu judicial review atau uji materi. Hal itu
semua bisa dilakukan tanpa harus merasa khawatir kita telah melanggar
batas-batas ketentuan tuhan. Karena sekali lagi hukum positif atau hukum modern
tidak memiliki keskaralan apapun.
Karakter
lain yang membedakan hukum modern dengan hukum agama adalah, dilihat dari isi
atau materi yang dikandungnya. Hukum modern dibuat atas dasar kepentingan dan
maslahat bersama. Apa yang menjadi kebaikan bagi rakyat banyak maka hal itulah
yang diundangkan. Hukum modern tidak memandang dirinya mengetahui segala hal.
Ada batas-batas dimana hukum tidak bisa menjawab semua persoalan yang ada dan
diperlukan ketentuan baru untuk mengaturnya. Sedangkan, kelompok-kelompok islam
yang memaksa ingin menerapkan hukum islam, memandang bahwa hukum tersebut tahu
akan semua kebutuhan manusia, dan tahu apa yang baik dan tidak baik bagi
manusia.
Dalam
pandangan yang lebih ekstrim, penerapan hukum tuhan secara kaafah dipandang
sebagai jalan|(satu-satunya) untuk mencapai kemajuan dunia islam. Para
fundamentalis ini memandang hukum islam sebagai bagian sistem islam yang tidak
bisa ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para penganut
pemahaman seperti ini biasanya sangat keras dengan mereka yang tidak sepaham.
Apa yang membedakan diantara kelompok-kelompok seperti: salafi, hizbut tahrir
atau ikhwanul muslimin hanyalah manhaj atau metodenya saja. Namun, pandangan
mereka terhadap hukum islam nyaris sama.
Yang
terakhir apa yang membedakan hukum islam dengan hukum modern adalah, hukum
islam mengatur semua aspek kehidupan dari mulai urusan pribadi (private) sampai
dengan urusan publik (namun saya ragu apa benar hukum islam mengatur semua hal,
kenyataannya banyak hal yang hukum islam masih absen didalamnya seperti
teknologi informasi, perdagangan bebas, aplikasi teknologi dalam kehidupan
manusia, paling banter fatwa yang keluar hanya seputar ini boleh ini haram
tanpa ada penjelasan mendetail yang bisa mencerdaskan). Gonjang-ganjing
perubahan Undang-undang penanaman modal bisa kita ambil sebagai contoh yang
menarik. Undang-undang investasi atau penanamn modal ini sangatlah penting
karena menyangkut kehidupan perekonomian rakyat banyak. Namun, kebanyakan para
penyeru syariat islam speechless dengan isu yang satu ini . Kalaupun ada
(seperti hizbut-tahrir misalnya) mereka umumnya hanya meneriakan argumen dan
slogan-slogan lama kalau undang-undang penanaman modal tersebut hanya merugikan
rakyat dan hanya berpihak kepada pemodal atau kapitalis. Slogan-slogan demikian
hanyalah repetisi dari jargon-jargon kaum kiri, yang kalau mau jujur saya masih
bisa mengapresiasi kritik kaum kiri karena argumen yang mereka lontarkan jauh
lebih baik ketimbang kelompok islamis. Kelompok-kelompok islam hanya latah ikut
menentang undang-undang penanaman modal tanpa tahu persis duduk perkaranya.
Lebih
jauh lagi, dalam pandangan kaum islamis, apa yang dianggap sebagai fardhu ‘ain
atau yang menyangkut halal-haram, maka hal tersebut boleh di interfensi. Kalau
perlu dengan menggunakan aparatus negara seperti polisi. Meskipun hal tersebut
menyangkut urusan yang sifatnya pribadi atau private. Contohnya, jika anda
tidak sholat, maka anda akan dihukum karena menelantarkan kewajiban agama yang
telah diatur oleh negara. Didalam hukum modern agama atau keyakinan seseorang
dimasukan kedalam wilayah private yang negara tidak berhak ikut campur
mengurusnya. Begitu juga masalah pakaian, pergaulan dan masih banyak lagi. Ada
kesan bahwa hukum islam yang ingin diterapkan kelompok islamis menghendaki
keseragaman, baik bagi pemeluknya maupun warga negaranya.
Sedangkan,
hukum modern lebih menekankan pada pengaturan hukum publik. Hanya hukum publik
saja yang diatur dan dapat di intervensi oleh pemerintah. Adapun yang menjadi
kepentingan pribadi diatur oleh masing-masing individu (pembagian hukum publik
dan private merupakan ciri khas dari sistem hukum eropa kontinental. Namun
demikian, sistem hukum anglo saxon atau common law memiliki karakter yang sama
meski tidak menyebutkan hukum private secara eksplisit). Kalaupun diatur dalam
peraturan tertentu, maka penyelesaiannya kembali pada individu masing-masing.
Dalam hal ini negara hanya memfasilitasi saja. Hukum modern tidak mengatur
secara detail apa yang termasuk kedalam wilayah pribadi seperti keyakinan
beragama, masalah pakaian, etika pergaulan atau keluarga. Hal-hal tersebut
cukup dikembalikan pada pada individu dan masyarakat masing-masing.
Saya
rasa, faktor ketiga inilah yang paling penting. ketika negara tidak
mengintervensi kehidupan pribadi warganya, maka warga memiliki kebebasan untuk
berbuat banyak hal tanpa harus merasa diawasi. Kebebasan individu merupakan
pra-syarat utama kemakmuran suatu bangsa. Kemajuan negara-negara industri
modern adalah karena negara disana tidak mengintervensi kehidupan pribadi
warganya secara mendetail.
Sistem
hukum barat ini termasuk salah satu lembaga yang penting dalam kehidupan
modern. Hal ini dikarenakan, sistem hukum barat memiliki keluwesan yang tidak
dimiliki oleh hukum agama atau hukum islam. Yang lebih penting lagi, perdebatan
yang terjadi didalam proses pembuatan atau perubahan hukum modern yang sekuler
ini tidak membawa pada efek yang serius seperti pengkafiran atau label sesat
lainnya. Perdebatan seputar hukum modern dianggap sebagai suatu yang wajar
sehingga dapat merangsang ide-ide cemerlang dalam merumuskan kemaslahatan
bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili
Wahbah, tth, Al-Dharuurah Al-Syar’iyyah, Muasasah al-Risalah, Damaskus M. Hasbi
Ash-Shiddiqieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Cet-V, Jakarta, 1993 : 73
H.
Mohammad Daud Ali, 1993, Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta
Khallaf
Abdu al-Wahab, 1968, Ilmu Ushul Fiqh, Dar al-Kuwaitiyah
Praja
Juhaya S., 1995, Filsafat Hukum Islam, LPPM Unisba, Bandung.
Qardhawi
Yusuf, 1993, Malamih Al-Mujtama Al-Muslim Alladzi Nansyuduhu,Maktabah
Wahbah, Kairo
Suryadi,
1980, Kamus Baru Bahasa Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya
Zahrah
Abu, 1994, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar