Kamis, 12 Januari 2017

Filsafat Kaum Sofis Dan Sokrates




Filsafat Kaum Sofis Dan Sokrates


A.    Kaum Sofis

       Nama “Sofis” (sophistes) tidak dipergunakan sebelum abad ke-5. Arti yang tertua adalah “seorang yang bijaksana” atau “seorang yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu”. Agak cepat kata ini dipakai dalam arti “sarjana” atau “cendekiawan”. Herodotos memakai nama sophistes untuk Pythagoras. Pengarang Yunani yang bernama Androtion (abad ke-4 SM) mempergunakan nama ini untuk menunjukkan “ketujuh orang bijaksana” dari abad ke-6 dan Sokrates. Lysias, ahli pidato Yunani yang hidup sekitar permulaan abad ke-4 memakai nama ini untuk Plato. Tetapi dalam abad ke-4 nama philosophos menjadi nama yang biasanya dipakai dalam arti “sarjana” atau “cendikiawan”, sedangkan nama sophistes khusus dipakai untuk guru-guru yang berkeliling dari kotake kota dan memainkan peranan penting dalam masyarakat Yunani sekitar paruh kedua abad ke-5. Di sini kita juga mempergunakan kata “Sofis” dalam arti terakhir ini.

       Pada kemudian hari nama “Sofis” tentu tidak harum. Akibatnya masih terlihat dalam bahasa-bahasa modern. Dalam bahasa Inggris misalnya kata “sophist” menunjukkan seseorang yang menipu orang lain dengan mempergunakan argumentasi-argumentasi yang tidak sah. Cara berargumentasi yang dibuat dengan maksud itu dalam bahasa Inggris disebut “sophism” atau “sophistery”. Terutama Sokrates, Plato, dan Aristoteles dengan kritiknya pada kaum Sofis menyebabkan nama “Sofis” berbau jelek. Salah satu tuduhan adalah bahwapara Sofis meminta uang untuk pengajaran yang mereka berikan. Dalam dialog Protagoras, Plato mengatakan bahwa para Sofis merupakan “pemilik warung yang menjual barang rohani” (313 c). Dan Aristoteles mengarang buku yang berjudul Sophistikoi elenchoi (cara-cara berargumentasi kaum Sofis); maksudnya, cara berargumentasi yang tidak sah. Demikian para Sofis memperoleh nama jelek, hal mana masih dapat dirasakan sampai pada hari ini, sebagaimana nyata dengan contoh-contoh dari bahasa Inggris tadi.


Faktor-faktor yang menjelaskan munculnya Sofistik

       Aliran yang disebut Sofistik tidak merupakan suatu mazhab, para sofis tidak mempunyai ajaran bersama. Sebaliknya Sofistik dipandang sebagai suatu aliran atau pergerakan dalam bidang intelektual yang disebabkan beberapa faktor yang timbul dalam masyarakat Yunani pada zaman itu. Berikut faktor-faktor yang menjelaskan munculnya Sofistik:

  1. Sesudah perang Parsi selesai (tahun 449 SM), Athena berkembang pesat dalam bidang politik dan ekonomi. Di bawah pimpinan Perikles polis inilah yang menjadi pusat seluruh dunia Yunani. Sampai saat itu Athena belum mengambil bagian dalam filsafat dan ilmu pengetahuan yang sedang berkembang sejak abad ke-6. Tetapi sering kali dalam sejarah dapat disaksikan bahwa negara atau kota yang mengalami zaman keemasan dalam bidang politik dan ekonomi menjadi pusat pula dalam bidang intelektual dan kultural. Demikian halnya juga dengan kota Athena. Kita sudah melihat bahwa Anaxagoras adalah figur pertama yang memilih Athena sebagai tempat tinggalnya. Para Sofis tidak membatasi aktivitasnya pada polis Athena saja. Mereka adalah guru-guru yang bepergian keliling dari satu kota ke kota lain. Tetapi Athena sebagai pusat kultural yang baru mempunyai daya tarik khusus untuk kaum Sofis. Protagoras misalnya, yang dari sudut filsafat boleh dianggap sebagai tokoh yang utama antara para Sofis, sering-sering mengunjungi Athena.

  1. Faktor lain yang dapat membantu untuk memahami timbulnya gerakan Sofistik adalah kebutuhan akan pendidikan yang dirasakan di seluruh Hellas pada waktu itu. Sudah kami utarakan bahwa bahasa merupakan alat politik yang terpenting dalam masyarakat Yunani. Sukses tidaknya dalam bidang politik sebagian besar tergantung pada kemahiran berbahasa yang diperlihatkan dalam sidang umum, dewan harian atau sidang pengadilan. Itu teristimewa benar dalam masa yang dibahas di sini, karena hidup politik sangat diutamakan. Khususnya di Athena, yang sekarang mengalami puncaknya sebagai polis yang tersusun dengan cara demokratis. Itulah sebabnya tidak mengherankan bahwa orang muda merasakan kebutuhan akan pendidikan serta pembinaan, supaya nanti mereka dapat memainkan peranannya dalam hidup politik. Sampai saat itu pendidikan di Athena tidak melebihi pendidikan elementer saja. Kaum Sofis memenuhi kebutuhan akan pendidikan lebih lanjut. Mereka mengajarkan ilmu-ilmu seperti metematika, astronomi, dan terutama tata bahasa. Mengenai ilmu yang terakhir ini mereka boleh dipandang sebagai perintis. Dan tentu saja, kaum Sofis juga mempunyai jasa-jasa besar dalam mengembangkan ilmu retorika atau berpidato. Selain dari pelajaran dan latihan untuk orang muda, mereka juga memberi ceramah-ceramah dengan cara populer untuk khalayak ramai yang lebih luas.

        Dari uraian di atas ini boleh ditarik kesimpulan bahwa kaum Sofis untuk pertama kali dalam sejarah menggelar pendidikan untuk orang muda. Dari sebab itu paideia (kata Yunani untuk “pendidikan”) dapat dianggap sebagai suatu penemuan Yunani. Itulah salah satu jasa yang besar sekali, yang pengaruhnya masih berlangsung terus sampai dalam kebudayaan modern.


  1. Faktor ketiga yang mempengaruhi timbulnya aliran Sofistik boleh dilukiskan sebagai berikut. Karena pergaulan dengan banyak negara asing, orang Yunani mulai menginsyafi bahwa kebudayaan mereka berlainan dari kebudayaan-kebudayaan lain. Kebudayaan Yunani terletak di tengah kebudayaan-kebudayaan yang coraknya sangat berlainan. Dapat terjadi bahwa apa yang dengan tegas ditolak dalam kebudayaan yang satu, sangat dihargai dalam kebudayaan yang lain. Sejarawan Yunani Herodotos yang hidup pada zaman ini dan banyak bepergian ke negeri-negeri lain, telah menuliskan pengalaman itu dengan cukup jelas, dan ia menyetujui pendirian penyair Pindaros bahwa adat-istiadat adalah segala-galanya. Pengalaman itu menampilkan banyak pertanyaan. Apakah peraturan-peraturan etis, lembaga-lembaga sosial dan tradisi-tradisi religius hanya merupakan suatu kebiasaan atau konvensi saja? Apakah kesemuanya itu hanya kebetulan tersusun begitu? Apakah mungkin suatu susunan yang sama sekali berlainan? Para Sofis akan merumuskan persoalan ini dengan bertanya: apakah peraturan etis beralaskan adat kebiasaan (nomos) atau beralaskan kodrat (physis)? Pada umumnya para Sofis akan menjawab bahwa hidup sosial tidak mempunyai dasar kodrati. Sampai-sampai Protagoras tidak ragu-ragu mengatakan bahwa manusia adalah ukuran untuk segala sesuatu. Dengan demikian kaum Sofis jatuh dalam relativisme di bidang tingkah laku etis dan di bidang pengenalan. Dengan relativisme dimaksudkan pendirian bahwa baik buruk dan benar salah itu bersifat relatif saja. Atau dengan kata lain, baik buruk dan benar salah tergantung pada manusia bersangkutan. Sokrates dan Plato dengan tajam sekali akan mengkritik pendirian itu. Tetapi dapat dibayangkan bahwa kaum Sofis mengalami sukses besar dengan anggapannya yang menentang tradisi-tradisi tua, terutama dalam kalangan kaum muda. Dalam hal ini angkatan muda Yunani tidak berbeda banyak dengan angkatan muda pada zaman lain, karena mereka selalu cenderung membuang yang kolot dan memihak kepada yang serba baru.


Pengaruh aliran Sofistik

       Dalam uraian-uraian sejarah filsafat, kaum Sofis tidak selalu dipandang dengan cara yang sama. Kadang-kadang dikemukakan pertimbangan yang agak negatif. Tetapi dalam uraian-uraian lain kaum Sofis direhabilitasikan lagi dengan penilaian yang lebih positif. Pada aliran Sofistik sendiri terdapat dua aspek yang menampilkan penilaian yang berbeda-beda itu.

       Di satu pihak gerakan para Sofis menyatakan krisis yang tampak dalam pemikiran Yunani. Rupanya pada waktu itu orang merasa jemu dengan sekian banyak pendirian yang telah dikemukakan dalam filsafat prasokratik. Reaksinya adalah skeptisisme yang dianut oleh para Sofis. Kebenaran diragukan dan dasar ilmu pengetahuan sendiri digoncangkan (Protagoras, Gorgias). Dengan itu, Sofistik pasti mempunyai pengaruh negatif atas kebudayaan Yunani waktu itu. Banyak nilai tradisional dalam bidang agama dan moralitas mulai roboh. Peranan polis sebagai kesatuan sosial-politik mulai merosot, karena kaum Sofis memajukan suatu orientasi pan-Hellen. Tekanan pada ilmu berpidato dan kemahiran berbahasa menampilan bahaya bahwa teknik berpidato akan dipergunakan untuk maksud-maksud jahat. Kalau prinsip Protagoras, yakni “membuat argumen yang paling lemah menjadi yang paling kuat”, dikaitkan dengan relativisme dalam bidang moral, maka dengan sendirinya jalan terbuka untuk penyalahgunaan itu. Sofis-sofis yang besar seperti Protagoras dan Gorgias tidak menyalahgunakan ilmu berpidato untuk maksud-maksud jahat. Mereka adalah orang yang dihoramati oleh umum karena moralitas yang bermutu tinggi. Hal yang sama tidak bisa dikatakan mengenai semua Sofis lain.

       Akan tetapi, di lain pihak aliran Sofistik pasti juga mempunyai pengaruh yang positif atas kebudayaan Yunani. Bahkan boleh dikatakan bahwa para Sofis mengakibatkan suatu revolusi intelektual di Yunani. Gorgias dan Sofis-sofis lain menciptakan gaya bahasa yang baru untuk prosa Yunani. Sejarawan-sejarawan Yunani yang besar, seperti Herodotos dan Thukydides, dipengaruhi secara mendalam oleh pemikiran Sofistik. Pandangan hidup kaum Sofis bergema juga pada dramawan-dramawan yang tersohor seperti Sophokles dan terutama Euripides. Dan kami sudah menyebut sebagai jasa-jasa Sofistik bahwa mereka mengambil manusia sebagai objek bagi pemikiran filsafat dan bahwa mereka meletekkan fundamen untuk pendidikan sitematis bagi kaum muda. Tetapi jasa mereka yang terbesar ialah bahwa mereka mempersiapkan kelahiran filsafat baru. Sokrates, Plato dan Aristoteles akan merealisasikan filsafat baru itu.


B. Sokrates


       Tidak ada orang yang tahu persis bilamana Sokrates dilahirkan. Yang jelas ialah, bahwa pada tahun 399 ia dijatuhi hukuman mati dengan harus minum racun. Oleh karena pada waktu itu ia berumur 70 tahun, maka barangkali ia dilahirkan pada tahun ± 470 SM. Agaknya ia berasaldari keluarga kaya, yang kemudian menjadi miskin. Yang terang ialah bahwa ia mendapat pendidikan yang baik.

       Pada tahun 399 Anytos, seorang yang empat tahun lebih dahulu turut dalam memulihkan demokrasi di Athena, mengemukakan tuduhan yang mengakibatkan perkara pengadilan terhadap Sokrates. Tuduhan itu berbunyi: “Sokrates bersalah, karena ia tidak percaya pada dewa-dewa yang diakui oleh polis dan mengintrodusir praktek-praktek religius yang baru; ia juga bersalah, karena ia mempunyai pengaruh yang kurang baik atas kaum muda.” Hampir semua informasi yang kita punyai tentang sidang pengadilan itu berasal dari karangan Plato yang disebut Apologia (“Pembelaan Sokrates”). Dalam karangan ini Sokrates membela dirinya di hadapan hakim-hakimnya. Sekalipun karangan ini tentu tidak boleh dianggap sebagai laporan harfiah mengenai sidang itu, namun para ahli kesusastraan Yunani berpendapat bahwa Plato mempergunakan data-data historis yang dapat dipercaya. Sokrates dinyatakan bersalah dengan mayoritas 60 suara (280 melawan 220). Lalu pendakwa menuntut hukuman mati. Menurut kebiasaan Athena, terdakwa diizinkan mengusulkan hukuman mati. Kalau seandainya Sokrates mengusulkan supaya dibuang ke luar kota, usul itu tentu akan diterima. Tetapi Sokrates pada usia 70 tahun tidak mau meninggalkan kota asalnya. Sebenarnya Sokrates bermaksud mengusulkan satu “mina” (mata uang Athena) sebagai denda, tetapi atas dorongan sahabat-sahabatnya ia mempertinggi jumlahnya sampai 30 mina, lebih-lebih karena mereka menawarkan untuk menanggung pembayarannya. Tetapi sidang memutuskan hukuman mati, karen denda 30 mina dianggap terlalu kecil dan terutama karena Sokrates dalam pembelaannya dirasakan menghina hakim-hakimnya. Biasanya hukuman mati dijalankan dalam waktu 24 jam. Tetapi pada waktu Sokrates dijatuhi hukuman mati, suatu perahu layar Athena yang keramat sedang melakukan perjalanan tahunan ke kuil di pulau Delos dan menurut hukum Athena hukuman mati baru boleh dijalankan, bila perahu itu sudah kembali. Dari sebab itu, satu bulan lamanya Sokrates tinggal lagi dalam penjara, sambil bercakap-cakap dengan sahabat-sahabatnya. Salah seorang di antara mereka, bernama Kriton, telah mengusulkan supaya Sokrates melarikan diri. Tetapi Sokrates menolak. Dalam dialog yang berjudul Phaidon, Plato menceritakan percakapan Sokrates dengan muri-muridnya pada hari terakhir hidupnya dan ia melukiskan pula bagaimana Sokrates waktu senja dengan tenang minum cawan berisi racun, dikelilingi oleh sahabat-sahabatnya.



Ajaran Sokrates

       Seperti halnya dengan para Sofis, Sokrates juga memberi pelajaran kepada rakyat. Sama halnya dengan kaum Sofis ia mengarahkan perhatiannya kepada manusia. Perbedaannya dengan para kaum terletak di sini, bahwa Sokrates tidak memungut biaya bagi pengajarannya. Kecuali itu maksud dan tujuan ajaran-ajarannya bukan untuk meyakinkan orang lain supaya mengikuti dia, tetapi untuk mendorong orang supaya mengetahui dan menyadari sendiri.

       Sebagaimana para Sofis, Sokrates pun berbalik dari filsafat alam. Sebagaimana juga para Sofis, Sokrates pun memilih manusia sebagai objek penyelidikannya dan ia memandang manusia lebih kurang dari segi yang sama seperti mereka: sebagai makhluk yang mengenal, yang harus mengatur tingkah lakunya sendiri dan yang hidup dalam masyarakat. Sebagaimana para Sofis, Sokrates pun memulai filsafatnya dengan bertitik tolak dari pengalaman sehari-hari dan dari kehidupan yang konkret. Tetapi ada satu perbedaan yang penting sekali antara Sokrates dan kaum Sofis, yaitu Sokrates tidak menyetujui relativisme yang dianut oleh kaum Sofis. Menurut Sokrates ada kebenaran objektif, yang tidak tergantung pada saya atau pada kita. Akan tetapi, sebaiknya kita tidak memandang keyakinan Sokrates itu dari sudut “kebenaran” saja, karena dengan itu barangkali kita menampilkan kesan seakan-akan Sokrates mencurahkan pikirannya dalam bidang teoritis. Padahal, ia hanya memperhatikan hidup praktis saja, yaitu tingkah laku manusia. Itulah sebabnya lebih tepat kita merumuskan keyakinan Sokrates dengan mengatakan bahwa menurut dia bukan sembarang tinkah laku boleh disebut baik. Ada kelakuan yang baik dan ada kelakuan yang kurang baik. Ada tindakan yang pantas dan ada tindakan yang jelek. Sokrates yakin bahwa berbuat jahat adalah suatu kemalangan bagi seorang manusia dan bahwa berbuat baik adalah satu-satunya kebahagiaan baginya. Dari sebab itu Sokrates berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini. Apakah itu hidup yang baik? Apakah kebaikan itu, yang mengakibatkan kebahagiaan seorang manusia? Apakah norma yang mengizinkan kita menetapkan baik buruknya suatu perbuatan?



Cara Sokrates memberikan ajarannya

       Cara Sokrates memberikan ajarannya adalah: ia mendatangi bermacam-macam orang (ahli politik, pejabat, tukang dan lain-lain). Kepada mereka dikemukakan pertanyaan-pertanyaan mengenai pekerjaan mereka, hidup mereka sehari-hari dan lain-lain. Jawaban mereka pertama-tama dianalisa dan disimpulkan dalam suatu hipotese. Hipotese ini dikemukakan lagi kepada mereka dan dianalisa lagi. Demikian seterusnya hingga ia mencapai tujuannya, yaitu: membuka kedok segala aturan atau hukum-hukum yang semu, sehingga tampak sifatnya yang semu, dan mengajak orang melacak atau menelusur sumber-sumber hukum yang sejati. Supaya tujuan itu tercapai diperlukan suatu pembentukan pengertian yang murni.

       Oleh karena pendidikan retorika yang telah diberikan para kaum sofis telah menjadikan banyak orang sombong, maka sering dengan cara yang menggelikan Sokrates mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sengaja dimaksud untuk membingungkan orang-orang itu.Karena jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu menjadi saling bertentangan, sehingga para penjawab ditertawakan orang banyak. Metode ini oleh Sokrates disebut metode ironi (eironeia). Segi positif dari metode ini terletak dalam usahanya untuk mengupas kebenaran dari kulit “pengetahuan semu” orang-orang itu.

      Cara pengajaran Sokrates pada umumnya disebut dialektika, karena di dalam pengajaran itu dialog memegang peranan penting. Sebutan yang lain ialah maieutika, seni kebidanan, karena dengan cara Sokrates bertindak seperti seorang bidan yang menolong kelahiran bayi “pengertian yang benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar