Kamis, 12 Januari 2017

SINIS DAN SKEPTISISME



SINIS DAN SKEPTISISME

“Ketidaktahuan itu adalah Berkah"

          Manusia sering menganggap dirinya paling benar dan mengerti akan sesuatu termasuk mengerti akan bentuk kebenaran. Dalam menggali kebenaran ini banyak sekali teori-teori yang dapat memperkuat maupun memperlihatkan kelemahan yang ada pada sebuah gagasan kebenaran itu sendiri. Banyak filsuf maupun orang-orang yang suka berspekulasi dalam menemukan sebuah kebenaran yang dianggapnya "final" dibantah bahkan dijatuhkan dengan mosi tidak percaya pada apa yang sebelumnya telah dikemukakan oleh seorang filsuf. Kebanyakan tujuan dari pertanyaan-pertanyaan serta ketidakpercayaan tersebut merupakan bagian untuk menguji apakah konsep kebenaran dari seorang filsuf sudah dapat  mendekati kebenaran yang hakiki atau sebaliknya.
          Mereka-mereka yang tidak pernah percaya dengan definisi filsuf-filsuf lain inilah yang disebut dengan kaum sinis atau kaum skeptis. Kedua kaum ini sama sifatnya, yakni tidak mempercayai akan sebuah kebenaran jika kebenaran itu be, diuji sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Kedua aliran ini mirip secara visual, akan tetapi memiliki perbedaan yang menyolok. Kaum Sinis lebih bertujuan kepada kebenaran dalam kehidupan sosial sedangkan skeptis lebih menunjukkan bahwa kebenaran baik secara sosial maupun kebenaran universal itu tidak ada.
         Sinis menjadi model hidup yang sangat populer ketika Antisthenes (446-336 SM) dan Diogenes (412-323 SM) mencetuskannya. Bagi mereka berdua, kebenaran ialah "kebaikan yang sederhana" melalui kehidupan yang asksetis dan kembali ke alam. Mereka menganggap hidup dengan kemewahan yang berlebihan adalah buruk. Antisthenes pernah mengatakan, "saya lebih baik gila daripada saya bersuka-cita" (Russel, 2008: 315). Dia juga mengutuk  perbudakan yang terjadi saat itu. Kemudian pemikiran Antisthenes ini dilanjutkan oleh muridnya, Diogenes. Diogenes menyempurnakan konsep asketisme gurunya, Anthistenes, bahwa sebuah kebenaran atau kebijaksanaan yang hanya ada dan berlaku bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu, hidup adalah sebuah kesederhanaan itu sendiri. Berdasarkan keyakinan asketisme itu, Diogenes kemudian dia hidup seperti sorang "sinis" (cynic), yang berarti "hidup seperti anjing" (Ibid, hal 316). Dia hidup dengan cara mengemis seperti orang fakir di India untuk mencari "keutamaan" dalam hidup.
        Sesudah paham sinis muncul untuk pertama kalinya paham lain yang sedikit ekstrim pun muncul yakni skeptisisme. Skeptisisme adalah paham yang menganggap bahwa segala sesuatu dalam hidup termasuk dalam kebenaran wajib diragukan kebenarannya. Paham ini menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah buah pemikiran manusia yang terbatas sehingga layak untuk kita perdebatkan kebenarannya. Ada yang menganggap sebenarnya skeptisisme  ini bukanlah sebuah aliran melainkan sebuah tendensi berfikir umum yang berupa kesangsian (Bertens, 2007 hal.17).
        Skpetisisme berasal darikata skeptik yang berarti kesangsian atau keragu-raguan, dan -isme yang artinya aliran atau paham. Jadi secara etimologi skeptisisme adalah paham akan keragu-raguan. Skeptsisime bukan hanya sebagai sebuah keragu-raguan saja mealinkan keragu-raguan secara dogmatis.Tokoh utama dari berdirinya aliran ini adalah Phyrro (360-270 SM). Ia merupakan bagian dari filsuf Aleksander Agung yang ikut perjalan ke India untuk menemui para filsuf disana. Oleh karena itulah ada yang beranggapan bahwa paham skpetik ini dipengaruhi oleh kebudayaan Hindhu di India. Phyrro sendiri tidak menelurkan sebuah buku pemikirannya sehingga tidak ada catatan khusus alasan mengapa skeptisisme ini lahir. Pemikiran Phyrro dilanjutkan oleh muridnya Timon (320-235 SM) dan juga diadopsi Akademia Plato yang dikelola oleh Arcesilaus (320-240 SM) dan Carniedes.
        Nah, jika hubungkan dengan kehidupan sehari-hari kita maka dapat kita ketahui sikap ragu-ragu ini merupakan bagian dari kehidupan sejarah. Pada dasarnya saya sepakat bahwa skeptisisme bukanlah sebuah aliran. Hal ini dikarenakan setiap manusia memiliki sikap atau sifat ragu dalam hidupnya baik dalam pengambilan sebuah keputusan maupun mempercayai akan perkataan oang lain. Contohnya: Ketika ada teman yang mengatakan lewat sms bahwa hari ini tidak ada kuliah karena dosennya sakit atau berhalangan lain, tentunya orang yang menerima sms tadi tidak langsung percaya dan menanyakannya kepada orang lain. Nah, proses cek dan ricek ini adalah wuju dari sikap skeptis dalam arti yang modern seperti sekarang ini. Oleh karena itu skpetis diperlukan untuk membuktikan akan sebuah kebenaran meskipun sifatnya empiris.


SINIS DAN SKEPTISISME
“Ketidaktahuan itu adalah Berkah"

          Manusia sering menganggap dirinya paling benar dan mengerti akan sesuatu termasuk mengerti akan bentuk kebenaran. Dalam menggali kebenaran ini banyak sekali teori-teori yang dapat memperkuat maupun memperlihatkan kelemahan yang ada pada sebuah gagasan kebenaran itu sendiri. Banyak filsuf maupun orang-orang yang suka berspekulasi dalam menemukan sebuah kebenaran yang dianggapnya "final" dibantah bahkan dijatuhkan dengan mosi tidak percaya pada apa yang sebelumnya telah dikemukakan oleh seorang filsuf. Kebanyakan tujuan dari pertanyaan-pertanyaan serta ketidakpercayaan tersebut merupakan bagian untuk menguji apakah konsep kebenaran dari seorang filsuf sudah dapat  mendekati kebenaran yang hakiki atau sebaliknya.
          Mereka-mereka yang tidak pernah percaya dengan definisi filsuf-filsuf lain inilah yang disebut dengan kaum sinis atau kaum skeptis. Kedua kaum ini sama sifatnya, yakni tidak mempercayai akan sebuah kebenaran jika kebenaran itu be, diuji sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Kedua aliran ini mirip secara visual, akan tetapi memiliki perbedaan yang menyolok. Kaum Sinis lebih bertujuan kepada kebenaran dalam kehidupan sosial sedangkan skeptis lebih menunjukkan bahwa kebenaran baik secara sosial maupun kebenaran universal itu tidak ada.
         Sinis menjadi model hidup yang sangat populer ketika Antisthenes (446-336 SM) dan Diogenes (412-323 SM) mencetuskannya. Bagi mereka berdua, kebenaran ialah "kebaikan yang sederhana" melalui kehidupan yang asksetis dan kembali ke alam. Mereka menganggap hidup dengan kemewahan yang berlebihan adalah buruk. Antisthenes pernah mengatakan, "saya lebih baik gila daripada saya bersuka-cita" (Russel, 2008: 315). Dia juga mengutuk  perbudakan yang terjadi saat itu. Kemudian pemikiran Antisthenes ini dilanjutkan oleh muridnya, Diogenes. Diogenes menyempurnakan konsep asketisme gurunya, Anthistenes, bahwa sebuah kebenaran atau kebijaksanaan yang hanya ada dan berlaku bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu, hidup adalah sebuah kesederhanaan itu sendiri. Berdasarkan keyakinan asketisme itu, Diogenes kemudian dia hidup seperti sorang "sinis" (cynic), yang berarti "hidup seperti anjing" (Ibid, hal 316). Dia hidup dengan cara mengemis seperti orang fakir di India untuk mencari "keutamaan" dalam hidup.
        Sesudah paham sinis muncul untuk pertama kalinya paham lain yang sedikit ekstrim pun muncul yakni skeptisisme. Skeptisisme adalah paham yang menganggap bahwa segala sesuatu dalam hidup termasuk dalam kebenaran wajib diragukan kebenarannya. Paham ini menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah buah pemikiran manusia yang terbatas sehingga layak untuk kita perdebatkan kebenarannya. Ada yang menganggap sebenarnya skeptisisme  ini bukanlah sebuah aliran melainkan sebuah tendensi berfikir umum yang berupa kesangsian (Bertens, 2007 hal.17).
        Skpetisisme berasal darikata skeptik yang berarti kesangsian atau keragu-raguan, dan -isme yang artinya aliran atau paham. Jadi secara etimologi skeptisisme adalah paham akan keragu-raguan. Skeptsisime bukan hanya sebagai sebuah keragu-raguan saja mealinkan keragu-raguan secara dogmatis.Tokoh utama dari berdirinya aliran ini adalah Phyrro (360-270 SM). Ia merupakan bagian dari filsuf Aleksander Agung yang ikut perjalan ke India untuk menemui para filsuf disana. Oleh karena itulah ada yang beranggapan bahwa paham skpetik ini dipengaruhi oleh kebudayaan Hindhu di India. Phyrro sendiri tidak menelurkan sebuah buku pemikirannya sehingga tidak ada catatan khusus alasan mengapa skeptisisme ini lahir. Pemikiran Phyrro dilanjutkan oleh muridnya Timon (320-235 SM) dan juga diadopsi Akademia Plato yang dikelola oleh Arcesilaus (320-240 SM) dan Carniedes.
        Nah, jika hubungkan dengan kehidupan sehari-hari kita maka dapat kita ketahui sikap ragu-ragu ini merupakan bagian dari kehidupan sejarah. Pada dasarnya saya sepakat bahwa skeptisisme bukanlah sebuah aliran. Hal ini dikarenakan setiap manusia memiliki sikap atau sifat ragu dalam hidupnya baik dalam pengambilan sebuah keputusan maupun mempercayai akan perkataan oang lain. Contohnya: Ketika ada teman yang mengatakan lewat sms bahwa hari ini tidak ada kuliah karena dosennya sakit atau berhalangan lain, tentunya orang yang menerima sms tadi tidak langsung percaya dan menanyakannya kepada orang lain. Nah, proses cek dan ricek ini adalah wuju dari sikap skeptis dalam arti yang modern seperti sekarang ini. Oleh karena itu skpetis diperlukan untuk membuktikan akan sebuah kebenaran meskipun sifatnya empiris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar