Kamis, 12 Januari 2017

Filosofi Angka 20

Filosofi Angka 20

Falsafah Kuno dimulai dari ajaran kehidupan jaman dahulu, konon budaya kuno yang menganut tatacara orang kuno yaitu dikenal dengan orang-orang sebutan orang "Kawi", Bahasa kuno, khususnya yang berkembang pada abad kerajaan sebelum islam kebanyakan berasal dari Pulau Jawa, baik Jawa Timur, maupun Jawa tengah, bahkan dari jawa Barat yang berasal dari Ki Sunda Buhun, meka itu menggunakan Bahasa Kuno yaitu Bahasa Kawi, yang dimulai dari pengenalan kata-kata dasar dengan bentukan asal kata  yaitu kata dasar dari ;"Ha, Na, Ca, Ra, Ka, Da, Ta, Sa, Wa, La, Pa, Da, Ja, Ya, Nya, Mang, Ga, Ba, Tang, nga.
Konon dari cerita orang tua jaman dahulu, penulis mendengar cerita cerita sebelum tidur, sebuah proses pendidikan yang dilakukan oleh para pendahulu di jaman dahulu kala, sebuah proses pendidikan yang disadari atau tidak oleh para pelaku pada saat itu, disengaja atau tidak, waallahu alam bilsawab, karena pada kenyataannya mereka itu telah melakukan sesuatu tindakan berupa penyadaran karakter dari orang yang lebih tua, diberikan kepada orang yang lebih muda, (anak-anak), sebuah proses karakterisasi yang dilakukan oleh orang-orang yang lebuh dewasa (tua) tindakan tersebut dilakukan terhadap orang-orang yang belum dewasa, tindakan dari seseorang yang lebih tahu, terhadap orang-orang yang belum tahu.
Bukankah itu merupakan sebuah proses pembelajaran, proses pendidikan, baik disengaja maupun tidak pada kenyataannya adalah tindakan tersebut berproses antara yang lebih tua terhadap orang yang masih muda, dari orang-orang yang dianggap telah mengetahui terhadap orang-orang yang belum mengetahui, termasuk memberikan kepada anak-anak yang dianggap belum tahu, oleh seseorang yang lebih tahu, itu adalah proses pendidikan bukan...?
Kembali kepada kata dasar yang menuju pada fngsi kata dasar "Hana Caraka, Data Syawala, Pada Jayanya, Mangga Batanga". Dalam proses pemberitahuan, dalam proses sebuah cerita, yang diceritakan oleh para orang tua kepada anaknya iyalah, "Hana Caraka"  diceritakan disana adalah terdapatlah  sekelompok Prajurit, tentara, petugas dari kerajaan, atau pemerintahan penguasa dalam sebuah kehidupan.
Data Syawala, kabarnya mereka dari kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, sama-sama dalam mengemban tugas (tugas pemerintahan, atau tugas dalam hidupnya, setidaknya mereka adalah dianggap pembawa misi kehidupan dizaman itu, mereka bertugas (membawa tugas) tentu dari yang lebih tinggi, dan maha tinggi.
Pada Jayanya, adalah mereka itu sama-sama Sakti mandraguna, ditafsirkan mereka - mereka orang kebanyakan yang mampu menyampaikan misi dan visinya adalah hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang "Digjaya" mereka itu yang sama-sama Digjaya, maka Pada Jaya nya, semua mempunyai kejayaan, kemampuan, dan mempunyai kebisaan yang dapat diturunkan kepada orang-orang yang belum jaya, belum bisa, belum tahu.
Mangga Batang nga, mereka dalam pengertian Nga, semuanya itu bakal mati (menjadi Batang/bangkai), yang tidak ada perkecualian bagi siapa saja. Pasti akan mati. Pasti akan menjadi batang/bangkai.
Dalam pengertian secara keseluruhan "Ha, Na, Ca, Ra, Ka, Da, Ta, Sya, Wa, La, Pa, Da, Ja, Ya, Nya, Mang, Ngga, Ba, Tang, Nga. dalam cerita yang menjadi satu selain, "Hana Caraka Data Syawala, Pada Jayanya, Mangga Batanga nga" mengandung filosofi yang lain, bahwa " Semua Orang harus berperan membawa pesan, memberitahukan, tentang apa saja  (Data) Syawala. Karena mereka nantinya merasa lebih tahu, mereka masing-masing "Pada Jaya nya" masing-masing memiliki kemampuan, kesaktian, Kejayaaan, Kadigjayaan, eksistensi, dalam berebut kekuasaaan,  peperangan dan pertempuran akan terjadi kematian bagi semua, " Mangga Batang nga" mereka tidak ada yang mengalah, semua merugi dan mati, barulah kelak tiada cerita lagi. Tiada orang lagi, tiada yang hidup lagi karena semua menjadi batang.
Dalam paham pengertian berikutnya berkembang orang-orang bijak dan seolah-olah, dan seakan-akan mengetahui apa yang akan terjadi, karena dalam proses berikutnya terjadi perbutan kekuasaan dalam kehidupan seperti dikisahkan dalam misalnya " Ramalan Joyoboyo, kisah peperangan Brata Yudha, dll.
Kita kembali kepada  filosofi, kata Dasar (sesungguhnya ada juga huruf-huruf kawi  yang menunjuk kepada ) kata "Ha na ca ra ka     Da ta sya wa la   Pa da ja ya nya   Mang ga   Ba ta nga"  seluruhnya berjumlah  20 angka, dalam tarikh filosofis kuno bahasa kawi, jumlah  20, dapat ditarik dalam rumpun yang berjumlah  8 + 12,  ( 20 terdiri dari bagian 8, dan 12),  artinya adalah angka 8 menunjuk kepada sebuah atau satu (1) Windu, yang terdiri dari 8 tahun, sedangkan angka 12, menunjuk pada 1 tahun yang tediri dari  12 bulan.
Belum selesai sampai di situ,  Filsafat hidup orang jaman dahulu masih menghitung pada angka 12, yang apabila di turunkan dari angka 12 adalah menunjuk pada angka  7, dan angka  5 ( 7+5 = 12) secara filosofis ingin disampaikan bahwa selain secara filosofis telah ditunjukkan pada 1 windu yang terdiri dari 8 Tahun, dan dalam 1 tahun terdiri dari 12 bulan,  juga menunjuk pada angka 7, yang menunjukkan bahwa dalam 1 minggu, terdiri dari 7 hari (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum'at, dan Sabtu, serta minggu,  Sedangkan Angka  5, menunjuk pada filosofi kehidupan orang kuno, orang kawi, yang dalam filosofi jawa kuno, atau sunda kuno, hingga kini sbagian masih menggunakan penanggalan dalam 5 karakter sebuah hari yaitu, penanggalan hari yang dikenal dengan sebutan "Naktu" yaitu Manis, Pahing, Pon, Wage, dan Klowon.
Patokan 1 Windu terdiri dari 8 tahun, 1 Tahun terdiri dari 12 bulan, 1 minggu terdiri dari 7 hari, dan sebuah Naktu terdiri dari angka 5, yaitu "Manis, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon, dan dalam 1 bulan juga terdiri dari  4 Naktu. Hingga saat ini sebagian orang masih menggunakan patokan ini untuk menghitung sesuatu kejadian, baik kejadian yang sudah terjadi, maupun kejadian yang diharapkan akan terjadi, berupa ramalan.

Percaya atau tidak, silakan anda melihat sendiri, dalam peradaban suda, peradaban Jawa, masih berkiblat kepada peradaban yang mengandung filosofi Hanacaraka Datasyawala, Padajayanya, Mangga Batanga. Kecuali memang anak-anak muda jaman sekarang sudah tidak mengikuti filsafat dan peradaban Kuno ini, memang tidak mau, tidak bisa mengikuti, hal ini juga sudah diramalkan oleh orang tua jaman dahulu yang menganut filosofi kuno, bahwa wong jowo kari separo, wong cino nambah sajodo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar