Filosofi Angka 20
Falsafah
Kuno dimulai dari ajaran kehidupan jaman dahulu, konon budaya kuno yang
menganut tatacara orang kuno yaitu dikenal dengan orang-orang sebutan orang
"Kawi", Bahasa kuno, khususnya yang berkembang pada abad kerajaan
sebelum islam kebanyakan berasal dari Pulau Jawa, baik Jawa Timur, maupun Jawa
tengah, bahkan dari jawa Barat yang berasal dari Ki Sunda Buhun, meka itu
menggunakan Bahasa Kuno yaitu Bahasa Kawi, yang dimulai dari pengenalan
kata-kata dasar dengan bentukan asal kata yaitu kata dasar dari
;"Ha, Na, Ca, Ra, Ka, Da, Ta, Sa, Wa, La, Pa, Da, Ja, Ya, Nya, Mang, Ga,
Ba, Tang, nga.
Konon
dari cerita orang tua jaman dahulu, penulis mendengar cerita cerita sebelum
tidur, sebuah proses pendidikan yang dilakukan oleh para pendahulu di jaman
dahulu kala, sebuah proses pendidikan yang disadari atau tidak oleh para pelaku
pada saat itu, disengaja atau tidak, waallahu alam bilsawab, karena pada
kenyataannya mereka itu telah melakukan sesuatu tindakan berupa penyadaran
karakter dari orang yang lebih tua, diberikan kepada orang yang lebih muda,
(anak-anak), sebuah proses karakterisasi yang dilakukan oleh orang-orang yang
lebuh dewasa (tua) tindakan tersebut dilakukan terhadap orang-orang yang belum
dewasa, tindakan dari seseorang yang lebih tahu, terhadap orang-orang yang
belum tahu.
Bukankah
itu merupakan sebuah proses pembelajaran, proses pendidikan, baik disengaja
maupun tidak pada kenyataannya adalah tindakan tersebut berproses antara yang
lebih tua terhadap orang yang masih muda, dari orang-orang yang dianggap telah
mengetahui terhadap orang-orang yang belum mengetahui, termasuk memberikan
kepada anak-anak yang dianggap belum tahu, oleh seseorang yang lebih tahu, itu
adalah proses pendidikan bukan...?
Kembali
kepada kata dasar yang menuju pada fngsi kata dasar "Hana Caraka,
Data Syawala, Pada Jayanya, Mangga Batanga". Dalam proses pemberitahuan,
dalam proses sebuah cerita, yang diceritakan oleh para orang tua kepada anaknya
iyalah, "Hana Caraka" diceritakan disana adalah
terdapatlah sekelompok Prajurit, tentara, petugas dari kerajaan, atau
pemerintahan penguasa dalam sebuah kehidupan.
Data
Syawala, kabarnya mereka dari kelompok yang satu dengan kelompok lainnya,
sama-sama dalam mengemban tugas (tugas pemerintahan, atau tugas dalam hidupnya,
setidaknya mereka adalah dianggap pembawa misi kehidupan dizaman itu, mereka
bertugas (membawa tugas) tentu dari yang lebih tinggi, dan maha tinggi.
Pada Jayanya,
adalah mereka itu sama-sama Sakti mandraguna, ditafsirkan mereka - mereka orang
kebanyakan yang mampu menyampaikan misi dan visinya adalah hanya bisa dilakukan
oleh orang-orang yang "Digjaya" mereka itu yang sama-sama Digjaya,
maka Pada Jaya nya, semua mempunyai kejayaan, kemampuan, dan mempunyai kebisaan
yang dapat diturunkan kepada orang-orang yang belum jaya, belum bisa, belum
tahu.
Mangga
Batang nga, mereka dalam pengertian Nga, semuanya itu bakal mati (menjadi
Batang/bangkai), yang tidak ada perkecualian bagi siapa saja. Pasti akan mati.
Pasti akan menjadi batang/bangkai.
Dalam
pengertian secara keseluruhan "Ha, Na, Ca, Ra, Ka, Da, Ta, Sya, Wa, La,
Pa, Da, Ja, Ya, Nya, Mang, Ngga, Ba, Tang, Nga. dalam cerita yang menjadi satu
selain, "Hana Caraka Data Syawala, Pada Jayanya, Mangga Batanga nga"
mengandung filosofi yang lain, bahwa " Semua Orang harus berperan membawa
pesan, memberitahukan, tentang apa saja (Data) Syawala. Karena mereka
nantinya merasa lebih tahu, mereka masing-masing "Pada Jaya nya"
masing-masing memiliki kemampuan, kesaktian, Kejayaaan, Kadigjayaan,
eksistensi, dalam berebut kekuasaaan, peperangan dan pertempuran akan
terjadi kematian bagi semua, " Mangga Batang nga" mereka tidak ada
yang mengalah, semua merugi dan mati, barulah kelak tiada cerita lagi. Tiada
orang lagi, tiada yang hidup lagi karena semua menjadi batang.
Dalam
paham pengertian berikutnya berkembang orang-orang bijak dan seolah-olah, dan
seakan-akan mengetahui apa yang akan terjadi, karena dalam proses berikutnya
terjadi perbutan kekuasaan dalam kehidupan seperti dikisahkan dalam misalnya
" Ramalan Joyoboyo, kisah peperangan Brata Yudha, dll.
Kita
kembali kepada filosofi, kata Dasar (sesungguhnya ada juga huruf-huruf
kawi yang menunjuk kepada ) kata "Ha na ca ra ka Da ta
sya wa la Pa da ja ya nya Mang ga Ba ta nga"
seluruhnya berjumlah 20 angka, dalam tarikh filosofis kuno bahasa
kawi, jumlah 20, dapat ditarik dalam rumpun yang berjumlah 8 + 12,
( 20 terdiri dari bagian 8, dan 12), artinya adalah angka 8
menunjuk kepada sebuah atau satu (1) Windu, yang terdiri dari 8 tahun,
sedangkan angka 12, menunjuk pada 1 tahun yang tediri dari 12 bulan.
Belum
selesai sampai di situ, Filsafat hidup orang jaman dahulu masih
menghitung pada angka 12, yang apabila di turunkan dari angka 12 adalah
menunjuk pada angka 7, dan angka 5 ( 7+5 = 12) secara filosofis
ingin disampaikan bahwa selain secara filosofis telah ditunjukkan pada 1 windu
yang terdiri dari 8 Tahun, dan dalam 1 tahun terdiri dari 12 bulan, juga
menunjuk pada angka 7, yang menunjukkan bahwa dalam 1 minggu, terdiri dari 7
hari (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum'at, dan Sabtu, serta minggu,
Sedangkan Angka 5, menunjuk pada filosofi kehidupan orang kuno,
orang kawi, yang dalam filosofi jawa kuno, atau sunda kuno, hingga kini sbagian
masih menggunakan penanggalan dalam 5 karakter sebuah hari yaitu, penanggalan
hari yang dikenal dengan sebutan "Naktu" yaitu Manis, Pahing, Pon,
Wage, dan Klowon.
Patokan
1 Windu terdiri dari 8 tahun, 1 Tahun terdiri dari 12 bulan, 1 minggu terdiri
dari 7 hari, dan sebuah Naktu terdiri dari angka 5, yaitu "Manis, Pahing,
Pon, Wage dan Kliwon, dan dalam 1 bulan juga terdiri dari 4 Naktu. Hingga
saat ini sebagian orang masih menggunakan patokan ini untuk menghitung sesuatu
kejadian, baik kejadian yang sudah terjadi, maupun kejadian yang diharapkan
akan terjadi, berupa ramalan.
Percaya atau tidak, silakan anda melihat sendiri, dalam peradaban suda, peradaban Jawa, masih berkiblat kepada peradaban yang mengandung filosofi Hanacaraka Datasyawala, Padajayanya, Mangga Batanga. Kecuali memang anak-anak muda jaman sekarang sudah tidak mengikuti filsafat dan peradaban Kuno ini, memang tidak mau, tidak bisa mengikuti, hal ini juga sudah diramalkan oleh orang tua jaman dahulu yang menganut filosofi kuno, bahwa wong jowo kari separo, wong cino nambah sajodo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar