ADEQUASI ILMU : DOGMATISME, DIALEKTISISME DAN SKEPTISISME
A. Latar Belakang
Usaha untuk
mendefinisikan atau memberi batasan kebenaran mengalami banyak kesulitan.
Misalnya sukar untuk menghindari proyeksi posisi seorang filsuf ke dalam suatu
definisi. Prasangka seorang filsuf tak bisa dielak pencerminannya. Seorang
eksistensialis seperti Martin Heidegger akan menyamakan kebenaran dan
kebebasan; William James dalam hubungannya dari segi konsekuensi; Hegel dengan
hasil yang secara penuh disadari; Alfred Tarski dengan konsep semantiknya atau
berdasarkan arti kata; George E. Moore dengan persemaian antara penampilan dan
realitas; dan Aristoteles dengan hubungan yang memadai antara konsep dan objek.
Perbedaan definisi
mengenai kebenaran tidak bisa lepas dari cara seseorang berpikir, bersikap, dan
bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya karena keyakinan
itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya, termasuk kepribadian filosof,
teolog dan saintis seperti psikolog sendiri, sekalipun proses intelektual
mempengaruhi juga keyakinan ontologik-teologik bersama faktor-faktor sosial,
pengalaman dan kebutuhan hidup. Tetapi mereduksi semua realitas dan konsep
ke dalam religious experiences tanpa memperhitungkan kebenaran
obyektif dari sudut epistemologi, seperti pendirian Joachim Wach, juga
mengarah kepada tereduksinya ilmu ke dalam sesuatu yang berbau subyektif
seperti agama, weltanschauung, paradigma, atau ideologi.
Sebagai dasar, bisa
disepakati bahwa kebenaran adalah suatu pertimbangan yang sesuai dengan
realitas, bahwa pengetahuan kita mengenai realitas dan kenyataan yang sejajar
secara harmonis, sehingga sistem-sistem pendapat yang diintegrasikan yang
didapati dalam benak secara terperinci tepat sejajar dengan dunia realitas.
B. Adequasi Ilmu
Teori tentang
kebenaran sebagai suatu kepercayaan bahwa kebenaran itu memadai dalam hal cara
berfikir tentang sesuatu yang dalam bahasa Latin disebut “adaequatio intellectus et rei”. Kecerdasan manusia menemukan
fakta-fakta, dan melalui itu ia memperoleh kebenaran; maka oleh karena itu,
apabila pendapat manusia sejajar dengan benda-benda seperti yang tampak,
dapatlah diungkapkan adanya kebenaran. Kebenaran merupakan tindakan dalam cara
berfikir kita yang selalu tetap memadai. Sesungguhnya kebenaran terdapat pada
orang intelek, namun tidak hanya sampai disitu, juga terdapat pada semua
makhluk. Akibatnya teori adekuasi (teori memadai) ini bisa dianggap sebagai
teori persesuaian tentang kebenaran yang sedang berkembang.
Konsepsi-konsepsi
tentang kebenaran ini, mengingat sifatnya yang menghormati keserasian dan
hal-hal memadai, pada gilirannya akan membantu penentuan tolak ukur kebenaran
yang akan sangat bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan, karena langkah
tersebut berusaha menuntun tata fikir yang dapat menerima keserasian itu.
Dengan upaya-upaya seperti pembentukan dan penyusunan tata fikir yang serasi,
niscaya orang yang telah memiliki dasar berfikir tentang kebenaran akan
memahami ungkapan kebenaran tersebut.
1. Dogmatisme
a. Konsep Dasar
Dogmatisme
Dogma berasal dari bahasa Yunani dogmata yang berarti kepercayaan atau
doktrin yang dipegang oleh sebuah agama atau organisasi untuk bisa lebih
otoritatif. Sedangkan dogmatis suatu yang bersifat otoritatif yang diharapkan
dapat mengikat kalangan tanpa adanya kritik dan penyelidikan atas
dasar-dasarnya. Bukti, analisis, atau fakta mungkin digunakan, mungkin tidak
tergantung penggunaan. Paham dogmatisme
berkembang pada zaman abad pertengahan (6-15 M).
Semboyan yang dipakai pada masa ini adalah ‘ancilla theologia’ (abdi agama),
sehingga semua aktifitas ilmiah selalu berkaitan dengan aktifitas agama. Paham
ini menerima kebenaran-kebenaran asasi agama dan dasar Ilmu Pengetahuan begitu
saja, tanpa mempertanggung jawabkannya secara kritis. Sifat dogmatis dalam
agama menimbulkan jika, pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh
keyakinan tertentu, sehingga menganggap bahwa pernyataan (ayat) yang ada di dalam
kitab suci mengandung nilai kebenaran yang sesuai dengan keyakinan yang
digunakan untuk memahaminya. Kandungan dari ayat kitab suci ini tidak dapat di
ubah dan sifatnya absolut. Namun implikasi dari makna kitab suci tersebut dapat
berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan waktu. Pada abad-abad ini
Palto dan Aristotetles masih berpengaruh dan berperan penting terutama melalui
Augustinus dan Thomas Aquinas.
Pemikiran dogma memiliki kepercayaan yang
besar mengenai keagamaan, seperti contoh dogma menurut agama kristen bahwa
wahyu Tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati. Aliran seperti ini bertolak
dengan filsafat Yunani Kuno, namun filsafat Yunani Kuno juga memperkuat
pendapat tersebut. Menurut filsafat Yunani Kuno yang bertolak dari pendapat
tersebut adalah, bahwa kebenaran dapat di capai oleh kemampuan akal (rasional).
Sebaliknya, pendapat filsafat Yunani Kuno yang memperkuat pendapat dari paham
dogma tersebut adalah, bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan,
kebijaksanaan manusia berarti kebijaksanaan yang datangnya dari Tuhan pula.
Mungkin akal tidak dapat mencapai kebenaran sejati, oleh karenanya akal dapat
dibantu oleh wahyu. Bagi aliran dogmatisme, wahyu merupakan sebagai salah satu
sumber pengetahuan. Keyakinan terhadap wahyu adalah berupa peraturan-peraturan
atas agama.
b. Lahirnya
Dogmatisme
Lahirnya dogmatisme
tidak terlepas dari teosentrisme dan para para pengemban ilmu adadalah dari
kalangan teolog. Ilmu-ilmu dan filsafat dilihat sebagai pelayan agama. Dalam
era ini berpikir amat dikuasai oleh agama dan semua atributnya. Pada masa ini filsuf
skolastik yang terkenal adalah Agustinus (354-430). Menurutnya, dibalik
keteraturan dan ketertiban alam semesta ini pasti ada yang mengendalikan, yaitu
Tuhan. Kebenaran mutlak ada pada ajaran agama. Kebenaran berpangkal pada
aksioma bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Allah dari yang tidak ada (creatio
ex nihilo). Kehidupan yang terbaik adalah kehidupan bertapa, dan yang
terpenting adalah cinta pada Tuhan. Ciri khas filsafat abad pertengahan ini
terletak pada rumusan Santo Anselmus (1033-1109), yaitu credo ut intelligam (saya
percaya agar saya paham). Filsafat ini jelas berbeda dengan sifat filsafat
rasional yang lebih mendahulukan pengertian dari pada iman.
Pada abad pertengahan, perkembangan alam pikiran di
Barat amat terkekang oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama
(doktrin gereja). Perkembangan penalaran tidak dilarang, tetapi harus
disesuaikan dan diabdikan pada keyakinan agama. Para filsuf aliran skolastik
menerima doktrin gereja sebagai dasar pandangan filosofisnya. Mereka berupaya
memberikan pembenaran apa yang telah diterima dari gereja secara rasional. Pada
masa ini, filsafat mencurahkan perhatian terhadap masalah metafisika. Saat itu
menjadi sulit membedakan mana yang filsafat dan mana yang gereja.
c.
Dogmatisme sebagai pandangan kebenaran
Dogmatisme
memberikan pandangan kebenaran berdasarkan wahyu dan dogma. Sebagai makhluk
pencari kebenaran, manusia mencari dan menemukan kebenaran berdasarkan teks
suci. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar jika sesuai dan koheren dengan
wahyu yang terdapat dalam teks-teks suci. Menurut faham ini kebenaran
diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu.
Dalam pandangan
dogmatisme, kebenaran diterima begitu saja sebagai kebenaran yang asasi dan
dassar ilmu pengetahuan. Dogmatisme
menganggap pengenalan obyektif sebagai hal yang sudah dengan sendirinya dan mendasarkan atas
ketentuan-ketentuan apriori atau pengertian-pengertian yang tealah ada tentang
Tuhan, substansi atau modade tanpa bertanya apakah rasio memahami hakikatnya
sendiri, yakni luas dan batas-batas kemampuannya.
2. Dialektisisme
Istilah
dialektik (dialektika) telah ada sejak masa yunani kuno yang dipahami sebagai
segala sesuatu berubah (panta rei). Dialektika
dalam bahasa Yunani adalah dialesthai yang artinya dialog, yang bermakna adanya
komunikasi dan interaksi antara dua hal yang berbeda, sehingga menghasilkan
pengetahuan yang baru. Konsep dialektikal dari dunia dan perkembangannya
dikembangkan pertama kali oleh filsuf Yunani, Heraclitus. Dia percaya bahwa
segala sesuatu dalam alam ini berubah secara terus menerus dengan konstan dan
saling berhubungan satu sama lain. Semua benda berubah pada bentuk yang
berlawanan, seperti, dingin ke panas dan sebaliknya. Dan selalu menjadi baru,
jadi "tidak dapat melangkah ke sungai yang sama", sebab pada langkah
kedua, seseorang/sesuatu akan melangkah pada air/hal yang baru. Dan perubahan
pada bentuk yang berlawanan ini adalah sebagai hasil dari perjuangan.
Tapi
bagaimanapun, pengetahuan ilmiah pada saat itu, tidaklah cukup untuk
menerangkan wadah dan alam dari realitas materi dalam semua bentuk dan
bagiannya yang berbeda-beda. Akibatnya, pada saat pandangan awal ini seharusnya
dapat memberi gambaran akan proses dunia, mereka tidak dapat dikuatkan oleh
pengetahuan yang kongkrit dan detail yang mengambil dari studi akan perbedaan
bagian-bagian pada alam. Alam hanya dilihat secara terbagi dalam ruang-ruang
yang terisolasi, seperti fisika dan biologi, dan tidak dilihat hubungannya satu
sama lain. Hal ini memberikan kesempatan pada metode metafisika menjadi prinsip
metode dalam penelitian fenomena. Suatu penelitian yang detail, tapi tidak
pernah menghubungkan alam dan sejarahnya. Menurut Engels :"Hal penting
pertama adalah menguji segala sesuatu sebelum menguji prosesnya. Seseorang
harus mengetahui dulu apakah benda itu sebelum dia dapat menguji perubahan yang
terjadi dalam hubungannya dengan hal itu. Seperti dalam kasusu pengetahuan
alam. Metafisis lama yang menerima benda-benda sebagai tujuan terakhir muncul
dari pengetahuan alam yang menyelidiki kematian dan kehidupan sebagai tujuan
terakhir".
Pada
abad 17 dan 18 filsuf materialist mulai berkembang untuk memenuhi kebutuhan
kaum berjuis dalam rangka mendirikan model-model kapitalis dalam produksi dan
menjatuhkan feodalisme dengan pandangan-pandangan yang idealis. Walaupun mreka
mampu membuat kemajuan besar dalam pengetahuan alam dan memajukan industri dan
komersialisasi, namun mereka masih tetap sebabagai filsuf Metafisis dalam
konsepsi mereka tentang perubahan. Pandangan mereka tentang mosi (pergerakan),
semata-mata hanyalah gerakan mekanis, misalnya perubahan tempat, dan
perpindahan benda dari satu titik ke yang lain semata-mata disebabkan oleh
tenaga external. Seperti sebuah lingkaran, hal ini akan terjadi berulang-ulang.
Mereka menolak pandangan dialektis yang melihat perkembangan adalah fenomena
dari proses pergerakan menurut hukum-hukum tertentu.
Baru
pada abad 19, seorang filsuf Jerman, Hegel, Berhasil menemukan semua hukum
dasar dialektika, dengan studinya tentang Logika. Dan dipakainya untuk
menyerang metode Metafisik dan kaum berjuis dan feodal. Yaitu tentang perubahan
hukum kuntitatif ke kualitatif, hukum kontradiksi sebagai motif prinsip untuk
semua perkembangan, dan hukum perkembangan spiral, yang menangkap semua arah
yang maju dari proses sejarah dunia. Menurut Engels, tentang penemuan Hegel:
"Untuk pertama kali di seluruh dunia, alam, sejarah, intelektual,
dinyatakan sebagai proses, misalnya, seperti dalam gerakan, perubahan,
transformasi, perkembangan yang konstan dan kecenderungan untuk dibuat untuk
menemukan hubungan internal yang membentuk keseluruhan gerakan dan perkembangan
yang berkesinambungan ini."Sebenarnya Hegel adalah seorang idealis, dan tidak
pernah menggambarkan ini secara eksplisit. Dia percaya bahwa dasar pergerakan
dan interelasi adalah konsep pikiran (mind),
yang pada akhirnya menjadi gerakan dan perkembangan alam dan masyarakat. Tapi
ide ini justru akhirnya bertentangan dengan pandangan idealisnya. Yang pada
akhirnya, dipakai oleh Marx dan Engels untuk membangun dasar metode dialektika
dan fondasi materialis.
Pengandaian
dasar dialektika hegel adalah rasionalisme internal, yakni pengertian bahwa
keseluruhan kenyataan dipahami sebagai manifestasi ruh, senantiasa terhubung
satu sama lain dengan jejaring yang tak terputus. Secara logis, term A hanya
bisa dimengerti sejauh ada juga term non A yang darinya term A ditentuka
sifatnya. Secara ontologis, ada dapat dimengerti sejauh dia koeksis dengan
ketiadaan. Rasionalisme inilah yang memungkinkan terwujudnya determinasi
resiprokal anatar elemn realitas. Kunci
pikiran hegel adalah Das wahre ist das
Ganze artinya kebenaran hanya tertangkap dalam gerakan dialektis
keseluruhan (das ganze) kebenaran
tesis dan antitesis tidak boleh dinilai secara sendiri, tetapi dinilai sebagai
gerakan menuju sintesis. Dalam sintesis dua kebenaran yang bertentangan
dianggap dalam kesatuan baru. Inilah yang disebut dengan dialektika kebenaran.
Sejarah kebenaran adalah dinamika yang bersifat dialektis yang harus dilihat
secara keseluruhan. Dialektika kebenaran dalam pandangan hegel merupakan
sejarah ruh atau idea.
Contohnya
adalah, suatu tesis adalah sistem pemerintahan diktator (hidup kemasyarakatan
yang diatur dengan baik namun manusianya tidak bebas). Antiteisnya adalah
pemerintahan anarki (manusia bebas tanpa batas namun masyrakat kacau), maka itu
munculah sintesis (kesatuan antara tesis dengan antitesis), yaitu sistem
demokrasi konstitusional (kebebasan para warganegara terjamin sekaligus
sekaligus dibatasi oleh undang-undang negara).
Dalam
idealisme hegel ini, kedua kebenaran yang bertentangan dalam sintesis mencapai
kesatuan baru. Dinamika ini merupakan gerakan dialektika “ruh” yang berjalan
terus. Sintesis yang terbentuk menjadi tesis lagi dengan demikian dialektika
berjalan terus. Oleh sebab itu filsafat dialektika hegel bersifat
spritualisme.
Dasar
perkembangan metode dialektika teletak pada penemuan-penemuan penting dalam
pengetahuan alam, pada pertengahan abad 19. Ke tiga penemuan terpenting
tersebut adalah: Penemuan sel, Transformasi energi, Penemuan Darwin tentang
proses evolusi pada semua benda hidup.
Melalui
penemuan-penemuan ini, Marx dan Engels mampu mengkritik Metode dialektisnya
Hegel. Mereka menunjukkan bahwa hukum dialektik pertama-tama beroperasi dalam
alam, termasuk masyarakat, lalu kemudian pikiran manusia sebagai refleksi akan
realitas material. Engels menyimpulkan : "Tidak akan ada pertanyaan lagi
tentang pembangunan hukum-hukum dialektik kedalam alam (seperti yang dilakukan
Hegel), tapi adalah penemuan mereka di dalam alam dan keterlibatan mereka dari
alam". Maka metode dialektis dari Marx dan Engels disebut Dialektis
'Materialis'.
Dalam
buku das kapitas marx mengungkapkan bahwa dia beroposisi dengan pemikiran
hegel. Jika Hegel proses pemikiran yang ia transformasikan yang ia
transformasikan menjadi subyek independent di bawah nama “idea”, merupakan
pencipta dunia riil, dan dunia riil adalah penampakan eksternal dari idea.
Sedangkan maz kebalikannya, yang ideal tidak lain dari dunia material yang
direfleksikan dalam pikiran manusia dan diterjemahkan dalam bentuk pemikiran.
Namun dilain piha, sebenarnya Karl Marx mengakui bahwasanya ia sendiri
merupakan murid dari pemikiran besar Hegel.
Dalam
studi tentang masyarakat, Marx dan Engels menemukan hukum dasar perkembangan
sejarah, dan dari sana ia menemukan peran proletar dalam memimpin perjuangan
melawan kapitalisme dan mengantar mode komunis dalam hal produksi. Hal inilah
yang menjadi pokok penting dalam mengaplikasikan metode Dialektika Materialis
untuk belajar tentang masyarakat manusia. Dalam hal ini marx berhutang budi
kepada Hegel sebab dengannya realitas dapat dilihat sesuatu yang senantiasa
berubah, cair dan bergerak terus menerus. Realitas dengan demikian, adalah efek
aktivitas subyektifitas subyektif yang pada gilirannya mendeterminasi aktivitas
subyektif itu sendiri. Gerak determinasi resiprokal inilah yang ditekankan oleh
Marx. Dialektika adalah metode dari materialisme marxis. Artinya, filsafat Marx
yang bertumpu pada konsepsi materialis (bahwa yang terselubung pada jantung
realitas adalah praxis subyektif yang
jadi material) hanya dapat diekspresikan oleh satu-satunya metode yang cocok
dengan materialis yaitu dialektika. Sebuah modus dimana benda tersebut tidak
hadir dalam stabilitas yang diam, melainkan selalu dalam gerak determinasi
bolak-balik yang tidak berkesudahan.
3. Skeptisisme
a. Kerangka
Dasar Skeptisme
Skeptisisme berasal dari kata ‘’skeptik’’
yang artinya kesangsian atau ragu-ragu. Pada buku Epistemologi Dasar, Pengantar
Filsafat Pengetahuan, bahwa skeptisisme berasal dari kata Yunani yaitu ‘’
skeptomai’’ bermakna saya pikirkan dengan seksama atau saya lihat dengan
teliti. Kata tersebut dimaknai bahwa skeptisime merupakan sebuah teori yang
didasarkan sikap keragu-raguan dalam menerima kebenaran. Jadi setiap individu
tidak mudah terpengaruh atau cepat mengambil keputusan yakni menerima kebenaran
yang sudah ada.
Skeptisisme
juga tindakan mempertanyakan atau sikap ketidakpercayaan. Berdasarkan analisa
kata dan penggunaanya, skeptisisme secara umum merujuk pada suatu sikap
keraguan atau disposisi baik secara umum atau menuju objek tertentu.
Skeptisisme juga dipahami sebagai suatu doktrin dalam ilmu pengetahuan yang
menekankan ketidakpastian dari sebuah wilayah ilmu pengetahuan. Dalam
skeptisisme terkandung keraguan sistematis, metode pertimbangan dan kritik yang
bersifat skeptis.
Secara umum skeptisme adalah pandangan bahwa
orang tidak mungkin bisa sampai pada pengetahuan. Di dalam pandangan para
pemikir skeptis yang lebih moderat, manusia masih bisa sampai pada pengetahuan
namun tidak akan pernah sampai pada kepastian. Dalam pandangan yang lebih
radikal, pengetahuan manusia tidak pernah bisa pada argumen yang masuk akal.
Dengan kata lain pengetahuan manusia itu irasional. Argumentasi adalah
sekumpulan kata-kata kosong untuk membuktikan sesuatu yang memang tidak bisa
dibuktikan.
Georgias of Leontium membawa pandangan
Protagoras lebih jauh dengan merumuskan suatu doktrin yang bersifat nihilistic,
yang menegaskan bahwa kebenaran itu tidak ada, dan skeptis. Ia menetapkan suatu
tesis lipat tiga, yaitu;
- Bahwa tidak terdapat sesuatu apapun
- Bahwa
apabila sesuatu itu memang terjadi benar-benar dan memang ada, kita tidak
pernah bisa mengetahuinya
- Apabila karena suatu ketidaksengajaan orang
haruslah mengetahui, ia tidak pernah akan mampu meneruskannya pada orang lain.
Dalam
filsafat, skeptisisme lebih bermakna khusus untuk suatu atau dari beberapa
sudut pandang. Termasuk sudut pandang tentang:
1)
Sebuah pertanyaan,
2)
Metode mendapatkan pengetahuan melalui keraguan sistematis dan terus menerus
pengujian,
3)
Kesembarangan, relativitas, atau subyektivitas dari
nilai-nilai moral, keterbatasan pengetahuan,
4)
Metode intelektual kehati-hatian dan pertimbangan yang ditangguhkan.
Para penganut faham skeptisime memberikan
pandangan mereka mengenai hail ini. Menurut Arcesilaus (315-241) dan Carneades
(214 -129) bahwa tidak ada pernyataan yang pasti mengenai apa yang sedang
terjadi selain apa yang secara langsung dialami. Menurut aliran ini mereka
tidak akan mempercayai kebenaran yang sudah ada, sebelum mereka mengalami
sesuatu tersebut yang bisa mereka anggap bahwa sesuatu tersebut mengandung kebenaran.
meskipun sebagian besar orang telah mempercayai sesuatu tersebut sebagai hal
yang mengandung kebenaran.
b.
Lahirnya Skeptisme
Kelahiran skeptisisme sebagai metode di abad
pertengahan lebih disebabkan oleh adanya penemuan kembali teks-teks kuno.
Teks-teks tersebut pertama kali ditemukan dan dikembangkan oleh para pemikir
Humanis di Italia. Kemudian teks-teks tersebut tersebar dan semakin berkembang
di Eropa Barat dan Eropa Utara. Teks-teks yang berpengaruh adalah tulisan
Cicero, Diogenes, dan, yang terpenting, adalah tulisan Sextus Empiricus. Pada
awalnya teks-teks tulisan Empiricus lebih dikenal sebagai teks-teks sejarah dan
literatur biasa. Namun setelah terbit dua teks terjemahan milik Empiricus,
yakni Outlines of Pyrrhonism dan Against the Professors, para filsuf pada waktu
itu mulai menempatkan teks-teks itu sebagai teks yang memiliki problem
filosofis (pada abad ke 14 dan 15).
c.
Skeptisme Sebagai Metode Mencari Kebenaran
Descartes
memberikan suatu bentuk metode baru di dalam berfilsafat, yakni yang disebutnya
sebagai metode skeptisisme, atau bisa juga disebut sebagai skeptisisme metodis.
Tujuan dari metode ini adalah untuk mendapatkan kepastian dasariah dan
kebenaran yang kokoh. Inilah tujuan utama filsafat menurut Descartes. Ia mengajukan metode dalam mencari kebenaran,
sebagai berikut:
(a)
Meragukan segala sesuatu yang selama ini diterima sebagai suatu kebenaran
(b) Mengklasifikasikan persoalan
dari hal yang sederhana kepada hal yang rumit
(c) Melakukan pemecahan
masalah dari hal yang rumit kepada hal yang paling rumit
(d) Memeriksa kembali secara
menyeluruh agar terhindar dari kekeliruan atau terdapat hal-hal yang masih
tersisa.
Jadi dalam metode yang diterapkan oleh
Descrates, kebenaran diperoleh dengan sikap ragu. Semakin seseorang meragukan
pernyataan atau pengetahuan yang mengandung kebenaran tidak serta-merta
diterima namun diperlukan pengklasifikasian persoalan dari hal yang sederhana
hingga batas maksimal ( paling rumit ), dari persoalan yang telah di dapat akan
dilakukan pemecahan permasalahannya. Setelah didapat pemecahannya maka
permasalahan tersebut diperiksa kembali hingga tidak ada celah ( kekeliruan )
sedikit pun.
Menurut Descartes hanya ada satu hal yang
tidak bisa diragukan, yakni fakta bahwa saya sedang meragukan. Jadi walaupun
seluruh dunia adalah hasil manipulasi, namun fakta bahwa aku sedang meragukan
seluruh dunia bukanlah sebuah manipulasi. Inti dari sikap meragukan adalah
berpikir, maka berpikir juga adalah sebuah kepastian dasariah yang tidak
terbantahkan. Jelaslah bahwa keraguan Descartes tidak mengantarkannya pada
kekosongan, melainkan justru membawanya pada kepastian yang tidak terbantahkan.
Skeptisisme Descartes bisa juga disebut sebagai skeptisisme yang konstruktif.
Cara berpikir skeptik yang lebih radikal
dapat ditemukan pada seorang filsuf Inggris yang bernama David Hume. Ia
menggunakan cara berpikir skeptisisme untuk memperkokoh filsafat. Yang menjadi
obyek utama kritik Hume adalah metafisika tradisional. Baginya metafisika
bersifat sangat tidak pasti, dan melebih-lebihkan kemampuan akal budi manusia.
Dalam arti ini metafisika bukan lagi sekedar merupakan penyelidikan terhadap
realitas dengan menggunakan akal budi manusia, tetapi sudah menjadi mirip
dengan mitos dan takhayul.
Hume
ingin melakukan kritik tajam terhadap tiga bentuk pemikiran, yakni pandangan
rasionalisme bahwa seluruh realitas terdiri dari unsur-unsur yang saling
berhubungan, pemikiran-pemikiran religius, konsep sebab akibat yang berada di
dalam ilmu pengetahuan, dan konsep substansi yang dianut oleh para pemikir
empiris (meyakini bahwa sumber utama pengetahuan adalah pengalaman inderawi).
Pertama, para pemikir rasionalis yakin bahwa
realitas itu adalah suatu substansi. Artinya realitas adalah satu kesatuan yang
bersifat utuh dan mutlak. Ide kesatuan itu biasanya muncul dari pengamatan.
Jadi kesatuan adalah kesan yang muncul, ketika orang mulai secara detil
mengamati sesuatu. Karena hanya didasarkan pada kesan, maka kesatuan, atau
substansi, tidak lebih dari sekedar khayalan manusia semata. Substansi adalah
kumpulan persepsi semata. Jadi seluruh realitas adalah kumpulan persepsi (a bundle of perceptions) manusia semata.
Kedua, kritik Hume terhadap kausalitas (sebab
akibat). Konsep kausalitas mengandaikan bahwa jika peristiwa B terjadi tepat
setelah peristiwa A, maka A pasti yang menyebabkan terjadinya B. Bagi Hume
konsep sebab akibat di dalam kasus itu sama sekali tidak bisa dipastikan.
Konsep kausalitas lebih didasarkan pada kebingungan daripada kejernihan. Hume
sendiri mengakui bahwa setiap peristiwa memiliki hubungan yang satu dengan yang
lainnya. Namun hubungan itu tidak langsung bisa disimpulkan sebagai kausalitas.
Yang bisa dilihat oleh manusia adalah urutan dari peristiwa, dan bukan
kausalitas itu sendiri. Sedangkan konsep kausalitas tidak bisa dipastikan,
terutama karena tidak bisa diamati secara langsung. Ungkapan terkenal Hume
untuk kepercayaan manusia terhadap kausalitas adalah kausalitas sebagai
kepercayaan naif (animal faith).
Kritik ketiga Hume difokuskan pada agama. Baginya
orang beragama haruslah menggunakan cara berpikir skeptisisme sehat, yakni cara
berpikir yang meragukan berbagai aspek mitologis dan takhayul dari agama. Agama
harus dikembalikan kepada karakternya yang rasional dan empiris. Di sisi lain
Hume juga bersikap sangat kritis terhadap mukjizat. Ada beberapa argumen yang
ditawarkannya. Yang pertama adalah bahwa mukjizat tidak pernah disaksikan oleh
sekelompok orang-orang cerdas. Yang kedua, Hume meyakini bahwa orang memang
suka pada peristiwa-peristiwa yang sensasional. Mukjizat adalah salah satunya.
Namun hal itu sama sekali tidak membuktikan, bahwa mukjizat itu ada.
Yang ketiga bagi Hume, mayoritas mukjizat
terjadi, ketika ilmu pengetahuan belum berkembang. Dari sini dapatlah
disimpulkan, bahwa mukjizat hanya menjadi obyek pikiran orang-orang yang sempit
dan picik. Yang keempat bagi Hume, mukjizat terdapat di setiap agama, dan
setiap agama mengklaim bahwa mukjizat merekalah yang paling benar. Hal ini
sulitnya menemukan titik temu yang obyektif tentang konsep mukjizat. Dan yang
kelima bagi Hume, banyak sejarahwan yang meragukan peristiwa-peristiwa di dalam
sejarah yang dianggap mukjizat. Semakin mereka terlibat dalam penelitian yang
semakin intensif, maka keraguan itu semakin besar. Dari sini dapatlah disimpulkan,
bahwa mukjizat lebih merupakan tafsiran subyektif dari orang-orang yang ingin
memperkenalkan ajaran agama baru.
Hume mengajak orang untuk kembali berpijak
pada rasionalitas dan cara berpikir kritis. Kedua hal itu membuat orang tidak
mudah percaya pada segala bentuk klaim-klaim kebenaran yang ada di masyarakat,
termasuk klaim yang mengatasnamakan Tuhan. Metode skeptisisme yang ditawarkan
Hume memang terdengar radikal. Namun niat dibaliknyalah adalah pencarian
kebenaran terus menerus, tanpa pernah terjebak pada klaim-klaim yang seringkali
tidak memiliki dasar yang kuat.
Jika diklasifikasikan, Skeptisisme terbagi
menjadi dua macam sebagai berikut :
a.
Skeptisisme mutlak
Merupakan bentuk skeptisisme yang secara
mutlak mengingkari kemungkinan manusia untuk mengetahui kebenaran. Jenis
skeptisisme yang mengingkari kemungkinan manusia untuk mengetahui dan meragukan
semua jenis pengetahuan dalam kenyataannya tidak ada seorang pun yang
sependapat dengan argument tersebut. Dikarenakan manusia merupakan makhluk
intelegensi (berpikir) yang dibekali Tuhan semenjak di dalam rahim seorang ibu.
Oleh karena itu, sangat mustahil manusia tidak bisa mencapai hakikat kebenaran
yang telah diketahuinya.
Kaum skeptik di zaman Yunani kuno rupanya
masih mengecualikan proposisi mengenai apa yang tampak atau langsung dialami
dari lingkup keraguannya. Menurut Socrates bahwa kaum skeptik atau sofis telah
mengingkari pernyataannya sendiri. Dikarenakan dalam teorinya (secara
eksplisit) mereka menegaskan kebenaran mengenai pernyataan tersebut. Namun
dalam prakteknya atau secara implisit mereka mengingkarinya. Sehingga dapat
dikatakan mereka ragu terhadap pernyataan yang telah mereka yakini.
b.
Skeptisisme Nisbi atau Partikular
Merupakan bentuk skeptisisme yang secara
menyeluruh tidak meragukan sesuatu hal. Namun hanya meragukan kemampuan manusia
untuk mengetahui dengan pasti dan memberikan dasar pembenaran yang tidak
diragukan tentang pengetahuan dalam bidang tertentu. Paham skeptisisme ini
masih dianut oleh sebagian besar orang karena tidak bertentangan dengan kodrat
manusia sebagai makhluk inteligensi (cerdas). Meskipun demikian manusia adalah
makhluk Tuhan yang mempunyai keterbatasan dalam menentukan kebenaran. Oleh
karena itu, pengetahuan yang didapatnya, masih diperlukan pengevaluasi dan
diteliti kembali untuk menghindari kesalahan yang dapat terjadi
C. Simpulan
Sejarah filsafat dan agama merupakan pencarian panjang manusia
akan kebenaran. Meskipun keduanya juga mengalami perkembangan yang melahirkan
perbincangan sengit, bahkan konflik diantara perbedaan akan interpretasi
terhadap kebenaran itu sendiri. Perdebatan yang paling tua adalah mengenai
kebenaran, apakah kebenaran tersebut diperoleh melalui akal dan indera
(rasionalisme dan empirisme) manusia atau justru kebenaran yang menampakan diri
terhadap manusia (metafisika). Pada
akhirnya, kebenaran sangat sulit didefinisikan. Karena masing-masing penganut
faham tertentu akan mendefinisikan kebenaran sesuai dengan sudut pandang yang
ia yakini. Perlu diingat bahwa sifat alami manusia adalah
keingintahuannya dalam mencari kebenaran. Dari rasa keingintahuan itulah
manusia berkembang terus menjadi manusia seperti sekarang.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, Saiful, Merancang Bangunan Filsafat Ilmu Islami, http://munawarmadina.blogspot.com, (diakses pada 20 November
2014)
Empiricus,
Sextus,
Outlines Of Pyrrhonism,
Terjemahan R.G. Bury, (Harvard
University Press, Cambridge, Massachusetts, 1963)
Engels, Ludwig Feurbach, New York: International
Publishers
Hardiman, F. Budi, Filsafat
Modern,(
Jakarta:
Gramedia, 2004
J. Sudarmita, Epistemologi Dasar : Pengantar
Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta, Kanisius : 2002)
Kebung, Konrad Filsafat
Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT Prestasi Pustaka Kraya, 2011)
L Tjahyadi, Tuhan
Para Filosof dan Ilmuwan, (Yogyakarta, Kanisius, 2013)
Karl Marx, Capital:
Volume I diterjemahkan oleh Ben Fowkes (Midllesex: Penguin Book, 1979)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar