Kamis, 12 Januari 2017

ADEQUASI ILMU: DOGMATISME, DIALEKTISISME DAN SKEPTISISME



ADEQUASI ILMU : DOGMATISME, DIALEKTISISME DAN SKEPTISISME


A.    Latar Belakang
Usaha untuk mendefinisikan atau memberi batasan kebenaran mengalami banyak kesulitan. Misalnya sukar untuk menghindari proyeksi posisi seorang filsuf ke dalam suatu definisi. Prasangka seorang filsuf tak bisa dielak pencerminannya. Seorang eksistensialis seperti Martin Heidegger akan menyamakan kebenaran dan kebebasan; William James dalam hubungannya dari segi konsekuensi; Hegel dengan hasil yang secara penuh disadari; Alfred Tarski dengan konsep semantiknya atau berdasarkan arti kata; George E. Moore dengan persemaian antara penampilan dan realitas; dan Aristoteles dengan hubungan yang memadai antara konsep dan objek.
Perbedaan definisi mengenai kebenaran tidak bisa lepas dari cara seseorang berpikir, bersikap, dan bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya, termasuk kepribadian filosof, teolog dan saintis seperti psikolog sendiri, sekalipun proses intelektual mempengaruhi juga keyakinan ontologik-teologik bersama faktor-faktor sosial, pengalaman dan kebutuhan hidup. Tetapi mereduksi semua realitas dan konsep ke dalam religious experiences tanpa memperhitungkan kebenaran obyektif dari sudut epistemologi, seperti pendirian Joachim Wach, juga mengarah kepada tereduksinya ilmu ke dalam sesuatu yang berbau subyektif seperti agama, weltanschauung, paradigma, atau ideologi.
Sebagai dasar, bisa disepakati bahwa kebenaran adalah suatu pertimbangan yang sesuai dengan realitas, bahwa pengetahuan kita mengenai realitas dan kenyataan yang sejajar secara harmonis, sehingga sistem-sistem pendapat yang diintegrasikan yang didapati dalam benak secara terperinci tepat sejajar dengan dunia realitas.

B.     Adequasi Ilmu
Teori tentang kebenaran sebagai suatu kepercayaan bahwa kebenaran itu memadai dalam hal cara berfikir tentang sesuatu yang dalam bahasa Latin disebut “adaequatio intellectus et rei”. Kecerdasan manusia menemukan fakta-fakta, dan melalui itu ia memperoleh kebenaran; maka oleh karena itu, apabila pendapat manusia sejajar dengan benda-benda seperti yang tampak, dapatlah diungkapkan adanya kebenaran. Kebenaran merupakan tindakan dalam cara berfikir kita yang selalu tetap memadai. Sesungguhnya kebenaran terdapat pada orang intelek, namun tidak hanya sampai disitu, juga terdapat pada semua makhluk. Akibatnya teori adekuasi (teori memadai) ini bisa dianggap sebagai teori persesuaian tentang kebenaran yang sedang berkembang.
Konsepsi-konsepsi tentang kebenaran ini, mengingat sifatnya yang menghormati keserasian dan hal-hal memadai, pada gilirannya akan membantu penentuan tolak ukur kebenaran yang akan sangat bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan, karena langkah tersebut berusaha menuntun tata fikir yang dapat menerima keserasian itu. Dengan upaya-upaya seperti pembentukan dan penyusunan tata fikir yang serasi, niscaya orang yang telah memiliki dasar berfikir tentang kebenaran akan memahami ungkapan kebenaran tersebut.
1.      Dogmatisme
a.      Konsep Dasar Dogmatisme
Dogma berasal dari bahasa Yunani dogmata yang berarti kepercayaan atau doktrin yang dipegang oleh sebuah agama atau organisasi untuk bisa lebih otoritatif. Sedangkan dogmatis suatu yang bersifat otoritatif yang diharapkan dapat mengikat kalangan tanpa adanya kritik dan penyelidikan atas dasar-dasarnya. Bukti, analisis, atau fakta mungkin digunakan, mungkin tidak tergantung penggunaan.  Paham dogmatisme berkembang pada zaman abad pertengahan (6-15 M). 
Semboyan yang dipakai pada masa ini adalah ‘ancilla theologia’ (abdi agama), sehingga semua aktifitas ilmiah selalu berkaitan dengan aktifitas agama. Paham ini menerima kebenaran-kebenaran asasi agama dan dasar Ilmu Pengetahuan begitu saja, tanpa mempertanggung jawabkannya secara kritis. Sifat dogmatis dalam agama menimbulkan jika, pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan tertentu, sehingga menganggap bahwa pernyataan (ayat) yang ada di dalam kitab suci mengandung nilai kebenaran yang sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya. Kandungan dari ayat kitab suci ini tidak dapat di ubah dan sifatnya absolut. Namun implikasi dari makna kitab suci tersebut dapat berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan waktu. Pada abad-abad ini Palto dan Aristotetles masih berpengaruh dan berperan penting terutama melalui Augustinus dan Thomas Aquinas.
Pemikiran dogma memiliki kepercayaan yang besar mengenai keagamaan, seperti contoh dogma menurut agama kristen bahwa wahyu Tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati. Aliran seperti ini bertolak dengan filsafat Yunani Kuno, namun filsafat Yunani Kuno juga memperkuat pendapat tersebut. Menurut filsafat Yunani Kuno yang bertolak dari pendapat tersebut adalah, bahwa kebenaran dapat di capai oleh kemampuan akal (rasional). Sebaliknya, pendapat filsafat Yunani Kuno yang memperkuat pendapat dari paham dogma tersebut adalah, bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan, kebijaksanaan manusia berarti kebijaksanaan yang datangnya dari Tuhan pula. Mungkin akal tidak dapat mencapai kebenaran sejati, oleh karenanya akal dapat dibantu oleh wahyu. Bagi aliran dogmatisme, wahyu merupakan sebagai salah satu sumber pengetahuan. Keyakinan terhadap wahyu adalah berupa peraturan-peraturan atas agama.
b.      Lahirnya Dogmatisme
Lahirnya dogmatisme tidak terlepas dari teosentrisme dan para para pengemban ilmu adadalah dari kalangan teolog. Ilmu-ilmu dan filsafat dilihat sebagai pelayan agama. Dalam era ini berpikir amat dikuasai oleh agama dan semua atributnya. Pada masa ini filsuf skolastik yang terkenal adalah Agustinus (354-430). Menurutnya, dibalik keteraturan dan ketertiban alam semesta ini pasti ada yang mengendalikan, yaitu Tuhan. Kebenaran mutlak ada pada ajaran agama. Kebenaran berpangkal pada aksioma bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Allah dari yang tidak ada (creatio ex nihilo). Kehidupan yang terbaik adalah kehidupan bertapa, dan yang terpenting adalah cinta pada Tuhan. Ciri khas filsafat abad pertengahan ini terletak pada rumusan Santo Anselmus (1033-1109), yaitu credo ut intelligam (saya percaya agar saya paham). Filsafat ini jelas berbeda dengan sifat filsafat rasional yang lebih mendahulukan pengertian dari pada iman.
Pada abad pertengahan, perkembangan alam pikiran di Barat amat terkekang oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama (doktrin gereja). Perkembangan penalaran tidak dilarang, tetapi harus disesuaikan dan diabdikan pada keyakinan agama. Para filsuf aliran skolastik menerima doktrin gereja sebagai dasar pandangan filosofisnya. Mereka berupaya memberikan pembenaran apa yang telah diterima dari gereja secara rasional. Pada masa ini, filsafat mencurahkan perhatian terhadap masalah metafisika. Saat itu menjadi sulit membedakan mana yang filsafat dan mana yang gereja.
c.       Dogmatisme sebagai pandangan kebenaran
Dogmatisme memberikan pandangan kebenaran berdasarkan wahyu dan dogma. Sebagai makhluk pencari kebenaran, manusia mencari dan menemukan kebenaran berdasarkan teks suci. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar jika sesuai dan koheren dengan wahyu yang terdapat dalam teks-teks suci. Menurut faham ini kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu.
Dalam pandangan dogmatisme, kebenaran diterima begitu saja sebagai kebenaran yang asasi dan dassar ilmu pengetahuan.  Dogmatisme menganggap pengenalan obyektif sebagai hal yang sudah  dengan sendirinya dan mendasarkan atas ketentuan-ketentuan apriori atau pengertian-pengertian yang tealah ada tentang Tuhan, substansi atau modade tanpa bertanya apakah rasio memahami hakikatnya sendiri, yakni luas dan batas-batas kemampuannya.

2.      Dialektisisme
Istilah dialektik (dialektika) telah ada sejak masa yunani kuno yang dipahami sebagai segala sesuatu berubah (panta rei). Dialektika dalam bahasa Yunani adalah dialesthai yang artinya dialog, yang bermakna adanya komunikasi dan interaksi antara dua hal yang berbeda, sehingga menghasilkan pengetahuan yang baru. Konsep dialektikal dari dunia dan perkembangannya dikembangkan pertama kali oleh filsuf Yunani, Heraclitus. Dia percaya bahwa segala sesuatu dalam alam ini berubah secara terus menerus dengan konstan dan saling berhubungan satu sama lain. Semua benda berubah pada bentuk yang berlawanan, seperti, dingin ke panas dan sebaliknya. Dan selalu menjadi baru, jadi "tidak dapat melangkah ke sungai yang sama", sebab pada langkah kedua, seseorang/sesuatu akan melangkah pada air/hal yang baru. Dan perubahan pada bentuk yang berlawanan ini adalah sebagai hasil dari perjuangan.
Tapi bagaimanapun, pengetahuan ilmiah pada saat itu, tidaklah cukup untuk menerangkan wadah dan alam dari realitas materi dalam semua bentuk dan bagiannya yang berbeda-beda. Akibatnya, pada saat pandangan awal ini seharusnya dapat memberi gambaran akan proses dunia, mereka tidak dapat dikuatkan oleh pengetahuan yang kongkrit dan detail yang mengambil dari studi akan perbedaan bagian-bagian pada alam. Alam hanya dilihat secara terbagi dalam ruang-ruang yang terisolasi, seperti fisika dan biologi, dan tidak dilihat hubungannya satu sama lain. Hal ini memberikan kesempatan pada metode metafisika menjadi prinsip metode dalam penelitian fenomena. Suatu penelitian yang detail, tapi tidak pernah menghubungkan alam dan sejarahnya. Menurut Engels :"Hal penting pertama adalah menguji segala sesuatu sebelum menguji prosesnya. Seseorang harus mengetahui dulu apakah benda itu sebelum dia dapat menguji perubahan yang terjadi dalam hubungannya dengan hal itu. Seperti dalam kasusu pengetahuan alam. Metafisis lama yang menerima benda-benda sebagai tujuan terakhir muncul dari pengetahuan alam yang menyelidiki kematian dan kehidupan sebagai tujuan terakhir".
Pada abad 17 dan 18 filsuf materialist mulai berkembang untuk memenuhi kebutuhan kaum berjuis dalam rangka mendirikan model-model kapitalis dalam produksi dan menjatuhkan feodalisme dengan pandangan-pandangan yang idealis. Walaupun mreka mampu membuat kemajuan besar dalam pengetahuan alam dan memajukan industri dan komersialisasi, namun mereka masih tetap sebabagai filsuf Metafisis dalam konsepsi mereka tentang perubahan. Pandangan mereka tentang mosi (pergerakan), semata-mata hanyalah gerakan mekanis, misalnya perubahan tempat, dan perpindahan benda dari satu titik ke yang lain semata-mata disebabkan oleh tenaga external. Seperti sebuah lingkaran, hal ini akan terjadi berulang-ulang. Mereka menolak pandangan dialektis yang melihat perkembangan adalah fenomena dari proses pergerakan menurut hukum-hukum tertentu.
Baru pada abad 19, seorang filsuf Jerman, Hegel, Berhasil menemukan semua hukum dasar dialektika, dengan studinya tentang Logika. Dan dipakainya untuk menyerang metode Metafisik dan kaum berjuis dan feodal. Yaitu tentang perubahan hukum kuntitatif ke kualitatif, hukum kontradiksi sebagai motif prinsip untuk semua perkembangan, dan hukum perkembangan spiral, yang menangkap semua arah yang maju dari proses sejarah dunia. Menurut Engels, tentang penemuan Hegel: "Untuk pertama kali di seluruh dunia, alam, sejarah, intelektual, dinyatakan sebagai proses, misalnya, seperti dalam gerakan, perubahan, transformasi, perkembangan yang konstan dan kecenderungan untuk dibuat untuk menemukan hubungan internal yang membentuk keseluruhan gerakan dan perkembangan yang berkesinambungan ini."Sebenarnya Hegel adalah seorang idealis, dan tidak pernah menggambarkan ini secara eksplisit. Dia percaya bahwa dasar pergerakan dan interelasi adalah konsep pikiran (mind), yang pada akhirnya menjadi gerakan dan perkembangan alam dan masyarakat. Tapi ide ini justru akhirnya bertentangan dengan pandangan idealisnya. Yang pada akhirnya, dipakai oleh Marx dan Engels untuk membangun dasar metode dialektika dan fondasi materialis.
Pengandaian dasar dialektika hegel adalah rasionalisme internal, yakni pengertian bahwa keseluruhan kenyataan dipahami sebagai manifestasi ruh, senantiasa terhubung satu sama lain dengan jejaring yang tak terputus. Secara logis, term A hanya bisa dimengerti sejauh ada juga term non A yang darinya term A ditentuka sifatnya. Secara ontologis, ada dapat dimengerti sejauh dia koeksis dengan ketiadaan. Rasionalisme inilah yang memungkinkan terwujudnya determinasi resiprokal anatar elemn realitas.  Kunci pikiran hegel adalah Das wahre ist das Ganze artinya kebenaran hanya tertangkap dalam gerakan dialektis keseluruhan (das ganze) kebenaran tesis dan antitesis tidak boleh dinilai secara sendiri, tetapi dinilai sebagai gerakan menuju sintesis. Dalam sintesis dua kebenaran yang bertentangan dianggap dalam kesatuan baru. Inilah yang disebut dengan dialektika kebenaran. Sejarah kebenaran adalah dinamika yang bersifat dialektis yang harus dilihat secara keseluruhan. Dialektika kebenaran dalam pandangan hegel merupakan sejarah ruh atau idea.
Contohnya adalah, suatu tesis adalah sistem pemerintahan diktator (hidup kemasyarakatan yang diatur dengan baik namun manusianya tidak bebas). Antiteisnya adalah pemerintahan anarki (manusia bebas tanpa batas namun masyrakat kacau), maka itu munculah sintesis (kesatuan antara tesis dengan antitesis), yaitu sistem demokrasi konstitusional (kebebasan para warganegara terjamin sekaligus sekaligus dibatasi oleh undang-undang negara).
Dalam idealisme hegel ini, kedua kebenaran yang bertentangan dalam sintesis mencapai kesatuan baru. Dinamika ini merupakan gerakan dialektika “ruh” yang berjalan terus. Sintesis yang terbentuk menjadi tesis lagi dengan demikian dialektika berjalan terus. Oleh sebab itu filsafat dialektika hegel bersifat spritualisme.    
Dasar perkembangan metode dialektika teletak pada penemuan-penemuan penting dalam pengetahuan alam, pada pertengahan abad 19. Ke tiga penemuan terpenting tersebut adalah: Penemuan sel, Transformasi energi, Penemuan Darwin tentang proses evolusi pada semua benda hidup.
Melalui penemuan-penemuan ini, Marx dan Engels mampu mengkritik Metode dialektisnya Hegel. Mereka menunjukkan bahwa hukum dialektik pertama-tama beroperasi dalam alam, termasuk masyarakat, lalu kemudian pikiran manusia sebagai refleksi akan realitas material. Engels menyimpulkan : "Tidak akan ada pertanyaan lagi tentang pembangunan hukum-hukum dialektik kedalam alam (seperti yang dilakukan Hegel), tapi adalah penemuan mereka di dalam alam dan keterlibatan mereka dari alam". Maka metode dialektis dari Marx dan Engels disebut Dialektis 'Materialis'.
Dalam buku das kapitas marx mengungkapkan bahwa dia beroposisi dengan pemikiran hegel. Jika Hegel proses pemikiran yang ia transformasikan yang ia transformasikan menjadi subyek independent di bawah nama “idea”, merupakan pencipta dunia riil, dan dunia riil adalah penampakan eksternal dari idea. Sedangkan maz kebalikannya, yang ideal tidak lain dari dunia material yang direfleksikan dalam pikiran manusia dan diterjemahkan dalam bentuk pemikiran. Namun dilain piha, sebenarnya Karl Marx mengakui bahwasanya ia sendiri merupakan murid dari pemikiran besar Hegel.
Dalam studi tentang masyarakat, Marx dan Engels menemukan hukum dasar perkembangan sejarah, dan dari sana ia menemukan peran proletar dalam memimpin perjuangan melawan kapitalisme dan mengantar mode komunis dalam hal produksi. Hal inilah yang menjadi pokok penting dalam mengaplikasikan metode Dialektika Materialis untuk belajar tentang masyarakat manusia. Dalam hal ini marx berhutang budi kepada Hegel sebab dengannya realitas dapat dilihat sesuatu yang senantiasa berubah, cair dan bergerak terus menerus. Realitas dengan demikian, adalah efek aktivitas subyektifitas subyektif yang pada gilirannya mendeterminasi aktivitas subyektif itu sendiri. Gerak determinasi resiprokal inilah yang ditekankan oleh Marx. Dialektika adalah metode dari materialisme marxis. Artinya, filsafat Marx yang bertumpu pada konsepsi materialis (bahwa yang terselubung pada jantung realitas adalah praxis subyektif yang jadi material) hanya dapat diekspresikan oleh satu-satunya metode yang cocok dengan materialis yaitu dialektika. Sebuah modus dimana benda tersebut tidak hadir dalam stabilitas yang diam, melainkan selalu dalam gerak determinasi bolak-balik yang tidak berkesudahan.   

3.      Skeptisisme
a.      Kerangka Dasar Skeptisme
Skeptisisme berasal dari kata ‘’skeptik’’ yang artinya kesangsian atau ragu-ragu. Pada buku Epistemologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan, bahwa skeptisisme berasal dari kata Yunani yaitu ‘’ skeptomai’’ bermakna saya pikirkan dengan seksama atau saya lihat dengan teliti. Kata tersebut dimaknai bahwa skeptisime merupakan sebuah teori yang didasarkan sikap keragu-raguan dalam menerima kebenaran. Jadi setiap individu tidak mudah terpengaruh atau cepat mengambil keputusan yakni menerima kebenaran yang sudah ada.
Skeptisisme juga tindakan mempertanyakan atau sikap ketidakpercayaan. Berdasarkan analisa kata dan penggunaanya, skeptisisme secara umum merujuk pada suatu sikap keraguan atau disposisi baik secara umum atau menuju objek tertentu. Skeptisisme juga dipahami sebagai suatu doktrin dalam ilmu pengetahuan yang menekankan ketidakpastian dari sebuah wilayah ilmu pengetahuan. Dalam skeptisisme terkandung keraguan sistematis, metode pertimbangan dan kritik yang bersifat skeptis.  
Secara umum skeptisme adalah pandangan bahwa orang tidak mungkin bisa sampai pada pengetahuan. Di dalam pandangan para pemikir skeptis yang lebih moderat, manusia masih bisa sampai pada pengetahuan namun tidak akan pernah sampai pada kepastian. Dalam pandangan yang lebih radikal, pengetahuan manusia tidak pernah bisa pada argumen yang masuk akal. Dengan kata lain pengetahuan manusia itu irasional. Argumentasi adalah sekumpulan kata-kata kosong untuk membuktikan sesuatu yang memang tidak bisa dibuktikan.
Georgias of Leontium membawa pandangan Protagoras lebih jauh dengan merumuskan suatu doktrin yang bersifat nihilistic, yang menegaskan bahwa kebenaran itu tidak ada, dan skeptis. Ia menetapkan suatu tesis lipat tiga, yaitu;
-     Bahwa tidak terdapat sesuatu apapun
-      Bahwa apabila sesuatu itu memang terjadi benar-benar dan memang ada, kita tidak pernah bisa mengetahuinya
-   Apabila karena suatu ketidaksengajaan orang haruslah mengetahui, ia tidak pernah akan mampu meneruskannya pada orang lain.
Dalam filsafat, skeptisisme lebih bermakna khusus untuk suatu atau dari beberapa sudut pandang. Termasuk sudut pandang tentang:
1)      Sebuah pertanyaan,
2)      Metode mendapatkan pengetahuan melalui keraguan sistematis dan terus menerus pengujian,
3)      Kesembarangan, relativitas, atau subyektivitas dari nilai-nilai moral, keterbatasan pengetahuan,
4)      Metode intelektual kehati-hatian dan pertimbangan yang ditangguhkan.
Para penganut faham skeptisime memberikan pandangan mereka mengenai hail ini. Menurut Arcesilaus (315-241) dan Carneades (214 -129) bahwa tidak ada pernyataan yang pasti mengenai apa yang sedang terjadi selain apa yang secara langsung dialami. Menurut aliran ini mereka tidak akan mempercayai kebenaran yang sudah ada, sebelum mereka mengalami sesuatu tersebut yang bisa mereka anggap bahwa sesuatu tersebut mengandung kebenaran. meskipun sebagian besar orang telah mempercayai sesuatu tersebut sebagai hal yang mengandung kebenaran.
b.        Lahirnya Skeptisme
Kelahiran skeptisisme sebagai metode di abad pertengahan lebih disebabkan oleh adanya penemuan kembali teks-teks kuno. Teks-teks tersebut pertama kali ditemukan dan dikembangkan oleh para pemikir Humanis di Italia. Kemudian teks-teks tersebut tersebar dan semakin berkembang di Eropa Barat dan Eropa Utara. Teks-teks yang berpengaruh adalah tulisan Cicero, Diogenes, dan, yang terpenting, adalah tulisan Sextus Empiricus. Pada awalnya teks-teks tulisan Empiricus lebih dikenal sebagai teks-teks sejarah dan literatur biasa. Namun setelah terbit dua teks terjemahan milik Empiricus, yakni Outlines of Pyrrhonism dan Against the Professors, para filsuf pada waktu itu mulai menempatkan teks-teks itu sebagai teks yang memiliki problem filosofis (pada abad ke 14 dan 15).
c.       Skeptisme Sebagai Metode Mencari Kebenaran
Descartes memberikan suatu bentuk metode baru di dalam berfilsafat, yakni yang disebutnya sebagai metode skeptisisme, atau bisa juga disebut sebagai skeptisisme metodis. Tujuan dari metode ini adalah untuk mendapatkan kepastian dasariah dan kebenaran yang kokoh. Inilah tujuan utama filsafat menurut Descartes.  Ia mengajukan metode dalam mencari kebenaran, sebagai berikut:
(a)    Meragukan segala sesuatu yang selama ini diterima sebagai suatu kebenaran
(b)   Mengklasifikasikan persoalan dari hal yang sederhana kepada hal yang rumit
(c)    Melakukan pemecahan masalah dari hal yang rumit kepada hal yang paling rumit
(d)   Memeriksa kembali secara menyeluruh agar terhindar dari kekeliruan atau terdapat hal-hal yang masih tersisa.
Jadi dalam metode yang diterapkan oleh Descrates, kebenaran diperoleh dengan sikap ragu. Semakin seseorang meragukan pernyataan atau pengetahuan yang mengandung kebenaran tidak serta-merta diterima namun diperlukan pengklasifikasian persoalan dari hal yang sederhana hingga batas maksimal ( paling rumit ), dari persoalan yang telah di dapat akan dilakukan pemecahan permasalahannya. Setelah didapat pemecahannya maka permasalahan tersebut diperiksa kembali hingga tidak ada celah ( kekeliruan ) sedikit pun.
Menurut Descartes hanya ada satu hal yang tidak bisa diragukan, yakni fakta bahwa saya sedang meragukan. Jadi walaupun seluruh dunia adalah hasil manipulasi, namun fakta bahwa aku sedang meragukan seluruh dunia bukanlah sebuah manipulasi. Inti dari sikap meragukan adalah berpikir, maka berpikir juga adalah sebuah kepastian dasariah yang tidak terbantahkan. Jelaslah bahwa keraguan Descartes tidak mengantarkannya pada kekosongan, melainkan justru membawanya pada kepastian yang tidak terbantahkan. Skeptisisme Descartes bisa juga disebut sebagai skeptisisme yang konstruktif.
Cara berpikir skeptik yang lebih radikal dapat ditemukan pada seorang filsuf Inggris yang bernama David Hume. Ia menggunakan cara berpikir skeptisisme untuk memperkokoh filsafat. Yang menjadi obyek utama kritik Hume adalah metafisika tradisional. Baginya metafisika bersifat sangat tidak pasti, dan melebih-lebihkan kemampuan akal budi manusia. Dalam arti ini metafisika bukan lagi sekedar merupakan penyelidikan terhadap realitas dengan menggunakan akal budi manusia, tetapi sudah menjadi mirip dengan mitos dan takhayul.
  Hume ingin melakukan kritik tajam terhadap tiga bentuk pemikiran, yakni pandangan rasionalisme bahwa seluruh realitas terdiri dari unsur-unsur yang saling berhubungan, pemikiran-pemikiran religius, konsep sebab akibat yang berada di dalam ilmu pengetahuan, dan konsep substansi yang dianut oleh para pemikir empiris (meyakini bahwa sumber utama pengetahuan adalah pengalaman inderawi).
 Pertama, para pemikir rasionalis yakin bahwa realitas itu adalah suatu substansi. Artinya realitas adalah satu kesatuan yang bersifat utuh dan mutlak. Ide kesatuan itu biasanya muncul dari pengamatan. Jadi kesatuan adalah kesan yang muncul, ketika orang mulai secara detil mengamati sesuatu. Karena hanya didasarkan pada kesan, maka kesatuan, atau substansi, tidak lebih dari sekedar khayalan manusia semata. Substansi adalah kumpulan persepsi semata. Jadi seluruh realitas adalah kumpulan persepsi (a bundle of perceptions) manusia semata.
Kedua, kritik Hume terhadap kausalitas (sebab akibat). Konsep kausalitas mengandaikan bahwa jika peristiwa B terjadi tepat setelah peristiwa A, maka A pasti yang menyebabkan terjadinya B. Bagi Hume konsep sebab akibat di dalam kasus itu sama sekali tidak bisa dipastikan. Konsep kausalitas lebih didasarkan pada kebingungan daripada kejernihan. Hume sendiri mengakui bahwa setiap peristiwa memiliki hubungan yang satu dengan yang lainnya. Namun hubungan itu tidak langsung bisa disimpulkan sebagai kausalitas. Yang bisa dilihat oleh manusia adalah urutan dari peristiwa, dan bukan kausalitas itu sendiri. Sedangkan konsep kausalitas tidak bisa dipastikan, terutama karena tidak bisa diamati secara langsung. Ungkapan terkenal Hume untuk kepercayaan manusia terhadap kausalitas adalah kausalitas sebagai kepercayaan naif (animal faith). 
Kritik ketiga Hume difokuskan pada agama. Baginya orang beragama haruslah menggunakan cara berpikir skeptisisme sehat, yakni cara berpikir yang meragukan berbagai aspek mitologis dan takhayul dari agama. Agama harus dikembalikan kepada karakternya yang rasional dan empiris. Di sisi lain Hume juga bersikap sangat kritis terhadap mukjizat. Ada beberapa argumen yang ditawarkannya. Yang pertama adalah bahwa mukjizat tidak pernah disaksikan oleh sekelompok orang-orang cerdas. Yang kedua, Hume meyakini bahwa orang memang suka pada peristiwa-peristiwa yang sensasional. Mukjizat adalah salah satunya. Namun hal itu sama sekali tidak membuktikan, bahwa mukjizat itu ada.
Yang ketiga bagi Hume, mayoritas mukjizat terjadi, ketika ilmu pengetahuan belum berkembang. Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa mukjizat hanya menjadi obyek pikiran orang-orang yang sempit dan picik. Yang keempat bagi Hume, mukjizat terdapat di setiap agama, dan setiap agama mengklaim bahwa mukjizat merekalah yang paling benar. Hal ini sulitnya menemukan titik temu yang obyektif tentang konsep mukjizat. Dan yang kelima bagi Hume, banyak sejarahwan yang meragukan peristiwa-peristiwa di dalam sejarah yang dianggap mukjizat. Semakin mereka terlibat dalam penelitian yang semakin intensif, maka keraguan itu semakin besar. Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa mukjizat lebih merupakan tafsiran subyektif dari orang-orang yang ingin memperkenalkan ajaran agama baru.
Hume mengajak orang untuk kembali berpijak pada rasionalitas dan cara berpikir kritis. Kedua hal itu membuat orang tidak mudah percaya pada segala bentuk klaim-klaim kebenaran yang ada di masyarakat, termasuk klaim yang mengatasnamakan Tuhan. Metode skeptisisme yang ditawarkan Hume memang terdengar radikal. Namun niat dibaliknyalah adalah pencarian kebenaran terus menerus, tanpa pernah terjebak pada klaim-klaim yang seringkali tidak memiliki dasar yang kuat.
Jika diklasifikasikan, Skeptisisme terbagi menjadi dua macam sebagai berikut :
a.      Skeptisisme mutlak
Merupakan bentuk skeptisisme yang secara mutlak mengingkari kemungkinan manusia untuk mengetahui kebenaran. Jenis skeptisisme yang mengingkari kemungkinan manusia untuk mengetahui dan meragukan semua jenis pengetahuan dalam kenyataannya tidak ada seorang pun yang sependapat dengan argument tersebut. Dikarenakan manusia merupakan makhluk intelegensi (berpikir) yang dibekali Tuhan semenjak di dalam rahim seorang ibu. Oleh karena itu, sangat mustahil manusia tidak bisa mencapai hakikat kebenaran yang telah diketahuinya.
Kaum skeptik di zaman Yunani kuno rupanya masih mengecualikan proposisi mengenai apa yang tampak atau langsung dialami dari lingkup keraguannya. Menurut Socrates bahwa kaum skeptik atau sofis telah mengingkari pernyataannya sendiri. Dikarenakan dalam teorinya (secara eksplisit) mereka menegaskan kebenaran mengenai pernyataan tersebut. Namun dalam prakteknya atau secara implisit mereka mengingkarinya. Sehingga dapat dikatakan mereka ragu terhadap pernyataan yang telah mereka yakini.
b.      Skeptisisme Nisbi atau Partikular
Merupakan bentuk skeptisisme yang secara menyeluruh tidak meragukan sesuatu hal. Namun hanya meragukan kemampuan manusia untuk mengetahui dengan pasti dan memberikan dasar pembenaran yang tidak diragukan tentang pengetahuan dalam bidang tertentu. Paham skeptisisme ini masih dianut oleh sebagian besar orang karena tidak bertentangan dengan kodrat manusia sebagai makhluk inteligensi (cerdas). Meskipun demikian manusia adalah makhluk Tuhan yang mempunyai keterbatasan dalam menentukan kebenaran. Oleh karena itu, pengetahuan yang didapatnya, masih diperlukan pengevaluasi dan diteliti kembali untuk menghindari kesalahan yang dapat terjadi
C.    Simpulan
Sejarah filsafat dan agama merupakan pencarian panjang manusia akan kebenaran. Meskipun keduanya juga mengalami perkembangan yang melahirkan perbincangan sengit, bahkan konflik diantara perbedaan akan interpretasi terhadap kebenaran itu sendiri. Perdebatan yang paling tua adalah mengenai kebenaran, apakah kebenaran tersebut diperoleh melalui akal dan indera (rasionalisme dan empirisme) manusia atau justru kebenaran yang menampakan diri terhadap manusia (metafisika). Pada akhirnya, kebenaran sangat sulit didefinisikan. Karena masing-masing penganut faham tertentu akan mendefinisikan kebenaran sesuai dengan sudut pandang yang ia yakini. Perlu diingat bahwa sifat alami manusia adalah keingintahuannya dalam mencari kebenaran. Dari rasa keingintahuan itulah manusia berkembang terus menjadi manusia seperti sekarang.



DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Saiful, Merancang Bangunan Filsafat Ilmu Islami, http://munawarmadina.blogspot.com, (diakses pada 20 November 2014)

Empiricus, Sextus, Outlines Of Pyrrhonism, Terjemahan R.G. Bury, (Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1963)

Engels, Ludwig Feurbach, New York: International Publishers

Hardiman, F. Budi,  Filsafat Modern,( Jakarta: Gramedia, 2004

J. Sudarmita, Epistemologi Dasar : Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta, Kanisius : 2002)

Kebung, Konrad Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT Prestasi Pustaka Kraya, 2011)

L Tjahyadi, Tuhan Para Filosof dan Ilmuwan, (Yogyakarta, Kanisius, 2013)

Karl Marx, Capital: Volume I diterjemahkan oleh Ben Fowkes (Midllesex: Penguin Book, 1979)


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar