Kamis, 12 Januari 2017

Filsafat Dalam Budaya



Filsafat Dalam Budaya

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Atau dapat diartikan sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok manusia dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari unsur-unsur seperti sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Aspek-aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Menurut A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn dalam bukunya Culture, A Critical Review of Concepts and Definition (1952) mengatakan bahwa kebudayaan adalah manifestasi atau penjelmaan kerja jiwa manusia dalam arti seluas-luasnya.

1.   Filsafat
2.1.      Arti Filsafat

Kata falsafah atau filsafat merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu فلسفة, yang diambil dari bahasa Yunani; philosophia (philo = cinta.) dan (sophia = “hikmah” atau “kebijaksanaan”). Jadi philopsophia berarti “cinta hikmah” atau “cinta kebijaksanaan”. (Hoesin, 1964 dan Pudjawijatna, 1965 : 1).
Terdapat banyak sekali rumusan para ahli tentang pengertian filsafat yang berbeda satu sama lain. Perbedaan ini wajar, karena filsafat melambangkan hal yang abstrak.
Gazalba (1979 : 41), berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran tentang segala sesuatu yang dimasalahkan dengan berfikir secara radikal, sistematik dan universal.
Anshari (1982 : 85) menyimpulkan bahwa :
  • Filsafat adalah “ilmu istimewa” yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa, karena masalah-masalah yang termaksud berada di luar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan biasa.
  • Filsafat ialah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami (mendalami dan menyelami) secara radikal dan integral serta sistematik hakikat sarwa yang ada (Tuhan, alam semesta dan manusia) serta sikap manusia termaksud sebagai konsekuensi daripada faham (pemahamannya) tersebut.
(Sumber : M. Habib Mustopo, 1983 : 67 – 68)

2.2.      Karakteristik Filsafat

Dalam defenisi Gazalba, sehubungan dengan karakteristik filsafat. Pertama, berfilsafat adalah mencari kebenaran. Filosof berfikir mencari kebenaran karena ia menghayati masalah yang harus dicari jawabannya. Kedua, berfilsafat adalah berfikir. Berfikir dikatakan berfilsafat apabila mengandung tiga ciri, yaitu radikal, sistematik dan universal.
Seorang yang berfilsafat diilustrasikan sebagai seorang yang berpijak di bumi dan menengadah ke bintang-bintang Dia ingin mengetahui hakekat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seseorang yang berdiri di puncak tertinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kemestaan yang ditatapnya. Seorang ilmuwan yang berfikir filsafat, tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral dan kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya. (Modul AKTA V, 1981 : 2).
(Sumber : M. Habib Mustopo, 1983 : 68 – 69)

2.3.      Objek Filsafat

Pada dasrnya, filsafat menelaah segala masalah yang mungkin dapat difikirkan oleh manusia.
Dalam defenisi Anshari, secara eksplisit disebutkan bidanf telaah filsafat, yakni hakikat sarwa yang ada, meliputi hakikat Tuhan, hakikat alam semesta, hakikat manusia.
Para ahli membedakan objek material dari objek forma. Objek sebagai sarwa adalah merupakan objek material filsafat. Sedangkan objek formanya adalah usaha mencari keterangan sedalam-dalamnyatentang objek materia tersebut.
(Sumber : M. Habib Mustopo, 1983 : 69 – 70)
3.                  Filsafat dan Kebudayaan
Kebudayaan menurut Mukti Ali (1982 : 4) adalah budi daya, tingkah laku manusia. Tingkah laku manusia digerakkan oleh akal dan perasaannya. Yang mendasari adalah ucapan hatinya yang merupakan keyakinan dan penghayatannya terhadap sesuatu yang dianggap benar. Apa yang dianggap benar itu besar atau kecil adalah agama. Dan agama, sepanjang tidak diwahyukan adalah hasil pemikiran filsafat.
Gazalba (1979 : 72) mendefenisikan kebudayaan sebagai “cara berfikir dan cara merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia, yang membentuk kesatuan social dalam suatu ruang ruang dan satu waktu”. Cara berfikir dan merasa merupakan kebudayaan bathiniah, sedangkan manifestasinya dalam bentuk cara berlaku dan cara berbuat atau cara hidup adalah kebudayaan lahiriah.
Apabila dibandingkan defenisi kebudayaan dan defenisi filsafat, bertemu dalam hal berfikir. Kebudayaan adalah cara berfikir, sedangkan filsafat ialah cara berfikir secara radikal, sistematik dan universal yang berujung pada setiap jiwa (Gazalba) atau ucapan batin (Mukti Ali). Manifestasinya adalah sikap hidup dan pandangan hidup. Dengan demikian, jelaslah filsafat mengendalikan cara berfikir kebudayaan. Di balik kebudayaan ditemukan filsafat. Perbedaan kebudayaan dikembalikan kepada perbedaan filsafat.
Tuhan menentukan nilai melalui agama. Manusia menentukan nilai melalui filsafat. Kebudayaan berpangkal pada manusia,maka yang menentukan kebudayaan adalah filsafat.
(Sumber : M. Habib Mustopo, 1983 : 71-72)

3.         Filsafat dan Masalah Manusia

Masalah terbagi atas, masalah yang sifatnya segera (immediate problems), yakni masalah sehari-hari yang berkenaan dengan keperluan-keperluan pribadi. Dan masalah yang sifatnya asasi (ultimate problems), berkenaan dengan hakikat manusia itu sendiri, alam semesta dan Tuhan. Namun masalah terbesar yang dihadapi manusia sepanjang masa adalah tentang dirinya sendiri.
Pertanyaan-pertanyaan tentang manusia, alam semesta dan Tuhan adalah pertanyaan-pertanyaan asasi, masalah-masalah fundamental yang digeluti oleh setiap manusia yang berfikir. Jawaban seseorang terhadap suatu pertanyaan asasi membawa konsekuensi praktis bagi yang bersangkutan dalam menangani masalah-masalah segera dan mendesak yang ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari.
Namun secara commonsense, filsafat dapat membantu memperluas wawasan berfikir. Karena filsafat senaantiasa mendorong seseorang untuk :
  • Berusaha mengetahui apa yang telah diketahui dan belum diketahui.
  • Rendah hati, karena tidak semuanya diketahui dalam kesemestaan yang tak terbatas.
  • Mengkoreksi diri, berani melihat sejauh mana kebenaran yang dicari telah dijangkaunya.
  • Tidak apatis terhadap lingkungan dan terhadap nilai yang hidup dalam masyarakat, dan
  • Senantiasa memberikan makna bagi setiap amal perbuatannya.
(Sumber : M. Habib Mustopo, 1983 : 73 – 75)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar