Filsafat Metafisika
1. Pengertian
Metafisika
Metafisika
(Bahasa Yunani: meta (meta) = “setelah atau dibalik”, jusika (phusika) =
"hal-hal di alam". Metafisika merupakan cabang filsafat yang
mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika
adalah studi keberadaan atau realitas. Dimana metafisika mempersoalkan realitas
dan dunia dengan segala struktur dan dimensinya. Apa yang sungguh-sungguh ‘ada’
yang paling utama? Apakah itu ‘kehidupan’? apakah itu ‘dunia fisik’? Apakah
keseluruhan kenyataan itu tunggal atau majemuk? Apakah kenyataan itu satu ragam
ataukah bermacam ragam? Penggunaan istilah “metafisika” telah berkembang untuk
merujuk pada “hal-hal yang diluar dunia fisik”. Sebagai contoh, toko buku
metafisika, bukanlah menjual buku mengenai ontology, melainkan lebih kepada
buku-buku mengenai ilmu gaib, pengobatan alternatif dan hal-hal sejenisnya.
Menurut para
pemikir metafisis seperti Plato dan Aristoteles memberikan asumsi dasar bahwa
dunia atau realitas adalah yang dapat dipahami (intelligible) yang mana setiap aliran
metafisika mengklaim bahwa akal budi memiliki kapasitas memadai untuk memahami
dunia. Seolah – olah akal budi memiliki kualitas “Ampuh” untuk menyibak semua
realitas mendasar dari segala yang ada.
Sedangkan
menurut Hamlyn, metafisika adalah bagian kajian filsafat yang paling abstrak
dan dalam pandangan sementara orang merupakan bagian yang paling “tinggi”
karena berurusan dengan realitas yang paling utama, berurusan dengan “apa yang
sungguh-sungguh ada” yang membedakan sekaligus menentukan bahwa sesuatu itu
mungkin ataukah tidak.
Sekalipun
demikian, subjek yang pasti dari kajian metafisika secara terus menerus
dipertanyakan, demikian juga validitas klaim-klaimnya dan kegunaannya.
Dengan
demikian, metafisika adalah bagian kajian filsafat tentang sifat dan fungsi
teori tentang realita.
2. Tafsiran
Metafisika
Manusia
memberikan pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran yang pertama yang
dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib
(supranatural) dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa
dibandingkan dengan alam yang nyata. Pemikiran seperti ini disebut pemikiran
supernaturalisme. Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme.
Selain faham
diatas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme. Paham ini sangat
bertentangan dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa
gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan
karena kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan
diketahui.
Penganut
faham naturalisme percaya bahwa setiap gejala, gerak bisa dijelaskan menurut
hukum kausalitas (hukum sebab-akibat) atau hukum stimulus-respon. Contoh: bola
bilyard tidak akan bergerak kecuali karena ada bola yang menabraknya atau
disodok oleh tongkat bilyard.
B.
Metafisika dalam Ilmu Pengetahuan (ontology dan epistemology)
Menurut
bahasa, Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu On/Ontos = ada, dan Logos =
Ilmu. Jadi, Ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Sedangkan menurut Istilah, Ontologi
adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, akan ultimate reality baik
yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstract. Sedangkan
menurut Jujun S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu Dalam Persepektif mengatakan,
ontology membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu,
atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”.
Epistemologi
derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan.
Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan;
dan logos, theory. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang
menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori
ilmu pengetahuan.
Epistemologi
bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat
nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara ‘alim (subjek) danma’lum (objek).
Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti
asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan
menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat.
Dengan
pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan
menentukan “kebenaran” macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang
patut ditolak. Bila Kumpulan pengetahuan yang benar/episteme/diklasifikasi,
disusun sitematis dengan metode yang benar dapat menjadi epistemologi. Aspek
epistemologi adalah kebenaran fakta / kenyataan dari sudut pandang mengapa dan
bagaimana fakta itu benar yang dapat diverifikasi atau dibuktikan kembali
kebenarannya.
Metafisika
ternyata mendapat pertentangan dari beberapa ilmuan, antara
lain adalah yang menganut paham positivisme. Paham positivisme logis menyatakan bahwa metafisika tidak bermakna. Wittgenstein, 1921; Carnap, 1936/37; Ayer, 1946 dalam Ebook of General Philosopgy of Science menyatakan bahwa the statement of science is veryfiable and thus meaningful, those of metaphysic and all other kind of bad philosophy were not; they were just nonsense.
lain adalah yang menganut paham positivisme. Paham positivisme logis menyatakan bahwa metafisika tidak bermakna. Wittgenstein, 1921; Carnap, 1936/37; Ayer, 1946 dalam Ebook of General Philosopgy of Science menyatakan bahwa the statement of science is veryfiable and thus meaningful, those of metaphysic and all other kind of bad philosophy were not; they were just nonsense.
Berikut
adalah pendapat para ilmuwan tentang Metafisika. Alfred, J. Ayer
menyatakan bahwa sebagian besar perbincangan yang dilakukan oleh para filosof
sejak dahulu sesungguhnya tidak dapat dipertanggung jawabkan dan juga tidak ada
gunanya, problem yang diajukan dalam bidang metafisika adalah problem semu,
artinya permasalahan yang tidak memungkinkan untuk dijawab, berkaitan dengan
pendapat Ayer tersebut.
Dan Katsoff
menyatakan bahwa sepertinya Ayer berupaya untuk menunjukan bahwa naturalism,
materialism, dan lainnya merupakan pandangan yang sesat. Adapun Penentang lain
adalah Luwig Winttgenstien yang menyatakan bahwa metafisika bersifat the
mystically, hal-hal yang tak dapat diungkapkan ke dalam bahasa yang bersifat
logis.
Wittgenstien
menyatakan terdapat tiga persoalaan dalam metafisika, yaitu:
1). Subjek bukan merupakan dunia atau bagian dari
dunia, melainkan lebih dapat dikatakan sebagai batas dari dunia.
2). Kematian, kematian bukanlah sebuah
peristiwa dalam kehidupan, manusia tidak hidup untuk mengalami pengalaman
kematian.
3). Tuhan, Ia tidak
menampakkan diri-Nya di dunia.
Dengan demikian Wittgenstein menyimpulkan, bahwa sesuatu yang tidak
dapat diungkapkan secara logis sebaiknya didiamkan saja. Namun pada
kenyataanya banyak ilmuan besar, terutama Albert Einstein yang merasakan
perlunya membuat formula konsepsi metafisika sebagai konsekuensi dari penemuan
ilmiahnya.
Manfaat
metafisika bagi pengembangan ilmu dikatakan oleh Thomas S. Kuhn yakni ketika
kumpulan kepercayaan belum lengkap faktanya, maka ia mesti dipasok dari luar,
antara lain adalah ilmu pengetahuan lain, peristiwa sejarah, pengalaman
personal, dan metafisika, misalnya adalah upaya-upaya untuk memecahkan masalah
yang tak dapat dipecahkan oleh paradigm keilmuan yang lama dan selama ini
dianggap mampu memecahkan masalah dan membutuhkan paradigm baru, pemecahan
masalah baru, hal ini hanya dapat dipenuhi dari hasil perenungan metafisik yang
dalam banyak hal memang bersifat spekulatif dan intuitif, hingga dengan
kedalaman kontemplasi serta imajinasi akan dapat membuka
kemungkinan-kemungkinan atau peluang-peluang konsepsi teoritis, asumsi,
postulat, tesis dan paradigm baru untuk memecahkan masalah yang ada.
Sumbangan
metafisika terhadap ilmu pengetahuan tidak dapat disangkal lagi adalah pada
fundamental ontologisnya. Sumbangan metafisika pada ilmu pengetahuan adalah
persinggunggan antara metafisika dan ontology dengan epistimologi.
Dalam
metafisika yang mempertanyakan apakah hakikat terdalam dari kenyataan yang
diantaranya dijawab bahwa hakikat terdalam dari kenyataan adalah materi, maka
munculah paham materialism, sedangkan dalam epistimologi yang dimulai dari
pertanyaan bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? Descartes telah
menjelaskan bahwa kita memperoleh pengetahuan melalui akal dan dari pemikiran
tersebut maka munculah rasionalisme. Sedangkan John Locke telah menjawab
pertanyaan tersebut bahwa pengetahuan diperoleh dari pengalaman, maka ia telah
melahirkan aliran empirisme. Sedangkan berbagai perdebatan lainnya dalam
metafisika mengenai realitas, ada tidak dan lainnya sebagaimana telah dikemukan
di dalam telah melahirkan berbagai pandangan berbeda satu sama lain secara
otomatis juga melahirkan berbagai aliran pemahaman yang lazim dinyatakan
sebagai aliran-aliran filsafat awal, ketika pemahaman-pemahaman aliran-aliran
filsafat tersebut dipertemukan dengan ranah epistimologi atau dihadapkan pada
fenomena dinamika perkembangan illmu pengetahuan.
Metafisika
menuntut orisinalitas berpikir yang biasanya muncul melalui kontemplasi atau
intuisi berupa kilatan-kilatan mendadak akan sesuatu, hingga menjadikan para
metafisikus menyodorkan cara berpikir yang cenderung subjektif dan menciptakan
terminology filsafat yang khas. Situasi semacam ini dinyatakan oleh Van Peursen
sangat diperlukan untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika.
Berkaitan
dengan pembentukan minat intelektual, maka metafisika mengajarkan mengenai cara
berpikir yang serius dan mendalam tentang hakikat-hakikat segala sesuatu yang
bersifat enigmatik, hingga pada akhirnya melahirkan sikap ingin tahu yang
tinggi sebagaimana mestinya dimiliki oleh para intelektual. Metafisika
mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama sebagai
kebenaran yang paling akhir.
C. Manfaat
Metafisika bagi Pengembangan Ilmu (aksiologi)
Aksiologi
(teori tentang nilai) sebagai filsafat yang membahas apa kegunaan ilmu pengetahuan bagi manusia. Aksiologi menjawab, untuk apa
pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral?
Dengan
demikian Aksiologi adalah nilai-nilai (value) sebagai tolok ukur
kebenaran (ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normative dalam penelitian
dan penggalian, serta penerapan ilmu.
Pembahasan
yang mendalam tentang keberadaan metafisika dalam ilmu pengetahuan memberikan
banyak wawasan bagaimana metafisika merupakan hal substantive dalam menelaah
lebih jauh konsep keilmuan dalam menunjang kejayaan manusia dalam berfikir dan
menganalisis. Sehingga manfaat yang mutlak terhadap pengembangan ilmu
dipaparkan Kuhn bahwa kontribusi metafisika terletak pada awal terbentuknya
paradigm ilmiah, ketika kumpulan kepercayaan belum lengkap pengumpulan faktanya,
maka ia harus dipasok dari luar, antara lain: metafisika, sains yang lain,
kejadian personal dan historis serta metafisika mengajarkan sikap open-ended,
sehingga hasil sebuah ilmu selalu terbuka untuk temuan dan
kreativitas baru.
Selanjutnya
Kennick juga mengungkapkan bahwa metafisika mengajarkan cara berfikir yang
serius, terutama dalam menjawab problem yang bersifat enigmatif (teka-teki),
sehingga melahirkan sikap dan rasa ingin tahu yang mendalam. Perdebatan
dalam metafisika melahirkan berbagai aliran, mainstream seperti : Monisme,
Dualisme, Pluralisme, sehingga memicu proses ramifikasi, berupa lahirnya
percabangan ilmu.
Sementara
Van Peursen mengatakan bahwa metafisika menuntut orisinalitas berfikir, karena
setiap metafisikus menyodorkan cara berfikir yang cenderung subjektif dan
menciptakan terminology filsafat yang khas. Situasi semacam ini diperlukan
untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika. Metafisika mengajarkan
pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama (First Principle) sebagai
kebenaran yang paling akhir. Serta hal yang paling booming dalam
dunia filsafat adalah bagaimana Descartes mengungkapkan bahwa Kepastian ilmiah
dalam metode skepticnya hanya dapat diperoleh jika kita menggunakan metode
deduksi yang bertitik tolak dari premis yang paling kuat (Cogito ergo sum)
Skeptis-Metodis Rene Descartes.
Disamping
itu Bakker mengemukakan bahwasanya metafisika mengandung potensi untuk menjalin
komunikasi antara pengada yang satu dengan pengada yang lain. Aplikasi dalam
ilmu berupa komunikasi antar ilmuwan mutlak dibutuhkan, tidak hanya antar
ilmuwan sejenis, tetepi juga antar disiplin ilmu, sehingga memperkaya pemahaman
atas realitas keilmuwan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar