Provinsi Banten
Banten adalah sebuah provinsi di Pulau
Jawa, Indonesia. Provinsi ini dulunya merupakan bagian dari
Provinsi Jawa Barat, namun dipisahkan sejak tahun 2000, dengan
keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Pusat pemerintahannya
berada di Kota Serang.
Geografis
Wilayah Banten terletak di antara
5º7'50"-7º1'11" Lintang Selatan dan
105º1'11"-106º7'12" Bujur Timur, berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2000 luas wilayah Banten adalah 9.160,70
km². Provinsi Banten terdiri dari 4 kota, 4 kabupaten,
154 kecamatan, 262 kelurahan, dan 1.273 desa.
Wilayah laut Banten merupakan salah satu jalur laut
potensial, Selat Sunda merupakan salah satu jalur lalu lintas laut yang
strategis karena dapat dilalui kapal besar yang
menghubungkan Australia dan Selandia Baru dengan
kawasan Asia Tenggara misalnya Thailand, Malaysia, dan Singapura.
Di samping itu Banten merupakan jalur penghubung
antara Jawa dan Sumatera. Bila dikaitkan posisi geografis dan
pemerintahan maka wilayah Banten terutama daerah Tangerang raya (Kota
Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan) merupakan
wilayah penyangga bagi Jakarta. Secara ekonomi wilayah Banten memiliki
banyak industri. Wilayah Provinsi Banten juga memiliki
beberapa pelabuhan laut yang dikembangkan sebagai antisipasi untuk
menampung kelebihan kapasitas dari pelabuhan laut di Jakarta dan ditujukan
untuk menjadi pelabuhan alternatif selain Singapura.
Sejarah
Banten atau dahulu dikenal dengan nama Bantam pada
masa lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai,
serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten pada abad ke-5
merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara. Salah satu prasasti
peninggalan Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti Cidanghiyang atau
prasasti Lebak, yang ditemukan di Kampung Lebak di tepi Ci Danghiyang,
Kecamatan Munjul, Pandeglang, Banten. Prasasti ini baru ditemukan tahun
1947 dan berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf
Pallawa dan bahasa Sanskerta. Isi prasasti tersebut mengagungkan
keberanian Raja Purnawarman. Setelah runtuhnya Kerajaan Tarumanagara
(menurut beberapa sejarawan ini akibat serangan Kerajaan Sriwijaya),
kekuasaan di bagian barat Pulau Jawa dari Ujung
Kulon sampai Ci Serayu dan Kali Brebes dilanjutkan
oleh Kerajaan Sunda. Seperti dinyatakan oleh Tome Pires,
penjelajah Portugispada tahun 1513, Banten menjadi salah satu
pelabuhan penting dari Kerajaan Sunda. Menurut sumber Portugis tersebut,
Banten adalah salah satu pelabuhan kerajaan itu selain pelabuhan Pontang, Cigede,
Tamgara (Tangerang), Kalapa, dan Cimanuk.
Diawali dengan penguasaan Kota Pelabuhan Banten, yang
dilanjutkan dengan merebut Banten Girang dari Pucuk
Umun pada tahun 1527, Maulana Hasanuddin, mendirikan Kesultanan
Banten di wilayah bekas Banten Girang. Dan pada tahun 1579, Maulana Yusuf,
penerus Maulana Hasanuddin, menghancurkan Pakuan Pajajaran, ibu kota atau
pakuan (berasal dari kata pakuwuan) Kerajaan Sunda. Dengan demikian
pemerintahan di Jawa Barat dilanjutkan oleh Kesultanan Banten. Hal itu ditandai
dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja
dinobatkan, dari Pakuan Pajajaran ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana
Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten karena
tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan
dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja
baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus
kekuasaan Kerajaan Sunda yang "sah" karena buyut perempuannya adalah
puteri Sri Baduga Maharaja.
Dengan dihancurkannya Pajajaran maka Banten
mewarisi wilayah Lampung dari Kerajaan Sunda. Hal ini dijelaskan dalam buku The
Sultanate of Banten tulisan Claude Guillot pada halamaan 19 sebagai
berikut: From the beginning it was abviously Hasanuddin's intention to
revive the fortunes of the ancient kingdom of Pajajaran for his own benefit.
One of his earliest decisions was to travel to southern Sumatra, which in all
likelihood already belonged to Pajajaran, and from which came bulk of the
pepper sold in the Sundanese region.
Ketika sudah menjadi pusat Kesultanan Banten, sebagaimana
dilaporkan oleh J. de Barros, Banten merupakan pelabuhan besar di Asia
Tenggara, sejajar dengan Malaka danMakassar. Kota Banten terletak di
pertengahan pesisir sebuah teluk, yang lebarnya sampai tiga mil. Kota itu
panjangnya 850 depa. Di tepi laut kota itu panjangnya 400 depa; masuk ke
dalam ia lebih panjang. Melalui tengah-tengah kota ada sebuah sungai yang
jernih, di mana kapal jenis jung dan gale dapat berlayar masuk. Sepanjang
pinggiran kota ada sebuah anak sungai, di sungai yang tidak seberapa lebar itu
hanya perahu-perahu kecil saja yang dapat berlayar masuk. Pada sebuah pinggiran
kota itu ada sebuah benteng yang dindingnya terbuat dari bata dan lebarnya
tujuh telapak tangan. Bangunan-bangunan pertahanannya terbuat dari kayu,
terdiri dari dua tingkat, dan dipersenjatai dengan senjata yang baik. Di tengah
kota terdapat alun-alun yang digunakan untuk kepentingan kegiatan ketentaraan
dan kesenian rakyat dan sebagai pasar di pagi hari. Istana raja terletak di
bagian selatan alun-alun. Di sampingnya terdapat bangunan datar yang
ditinggikan dan beratap, disebut Srimanganti, yang digunakan sebagai tempat
raja bertatap muka dengan rakyatnya. Di sebelah barat alun-alun didirikan sebuah
masjid agung.
Pada awal abad ke-17 Masehi, Banten merupakan salah satu
pusat perniagaan penting dalam jalur perniagaan internasional di Asia. Tata
administrasi modern pemerintahan dan kepelabuhan sangat menunjang bagi
tumbuhnya perekonmian masyarakat. Daerah kekuasaannya mencakup juga wilayah
yang sekarang menjadi Provinsi Lampung. Ketika
orang Belanda tiba di Banten untuk pertama kalinya, orang Portugis
telah lama masuk ke Banten. Kemudian orang Inggris mendirikan loji di Banten
dan disusul oleh orang Belanda.
Selain itu, orang-orang Perancis dan Denmark pun pernah
datang di Banten. Dalam persaingan antara pedagang Eropa ini, Belanda muncul
sebagai pemenang. Orang Portugis melarikan diri dari Banten (1601), setelah
armada mereka dihancurkan oleh armada Belanda di perairan Banten. Orang Inggris
pun tersingkirkan dari Batavia (1619) dan Banten (1684) akibat tindakan orang
Belanda.
Pada 1 Januari 1926 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan
peraturan untuk pembaharuan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih
luas. Di Pulau Jawa dibentuk pemerintahan otonom provinsi. Provincie
West Java adalah provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Hindia
Belanda yang diresmikan dengan surat keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan
diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No.
28, 1928 No. 438, dan 1932 No. 507. Banten menjadi salah satu keresidenan
yaitu Bantam Regentschappen dalam Provincie West Java di
samping Batavia, Buitenzorg (Bogor), Preanger (Priangan), dan Cirebon.
Budaya
dan nilai
Sebagian besar anggota masyarakat memeluk
agama Islam dengan semangat religius yang tinggi, tetapi pemeluk
agama lain dapat hidup berdampingan dengan damai.
Potensi dan kekhasan budaya masyarakat Banten, antara lain
seni bela diri Pencak silat, Debus, Rudad, Umbruk, Tari Saman, Tari
Topeng, Tari Cokek, Dog-dog, Palingtung, dan Lojor. Di samping itu juga
terdapat peninggalan warisan leluhur antara lain Masjid Agung Banten Lama,
Makam Keramat Panjang, dan masih banyak peninggalan lainnya.
Di Provinsi Banten terdapat Suku Baduy. Suku Baduy
Dalam merupakan suku asli Sunda Banten yang masih menjaga tradisi
antimodernisasi, baik cara berpakaian maupun pola hidup lainnya. Suku
Baduy-Rawayan tinggal di kawasan Cagar Budaya Pegunungan Kendeng seluas
5.101,85 hektare di daerah Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy umumnya terletak di daerah aliran Sungai
Ciujung di Pegunungan Kendeng. Daerah ini dikenal sebagai wilayah tanah titipan
dari nenek moyang, yang harus dipelihara dan dijaga baik-baik, tidak boleh
dirusak.
Rumah
adat
Rumah adatnya adalah rumah panggung yang beratapkan daun
atap dan lantainya dibuat dari pelupuh yaitu bambu yang dibelah-belah. Sedangkan
dindingnya terbuat dari bilik (gedek). Untuk penyangga rumah panggung adalah
batu yang sudah dibuat sedemikian rupa berbentuk balok yang ujungnya makin
mengecil seperti batu yang digunakan untuk alas menumbuk beras. Rumah adat ini
masih banyak ditemukan di daerah yang dihuni oleh orang Kanekes atau
disebut juga orang Baduy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar