Metode
Skeptisisme di dalam Filsafat Modern
Secara
umum skeptisisme adalah pandangan, bahwa orang tidak mungkin bisa sampai pada
pengetahuan. Di dalam pandangan para pemikir skeptis yang lebih moderat,
manusia masih bisa sampai pada pengetahuan, namun tidak akan pernah sampai pada
kepastian. Di dalam pandangan yang lebih radikal, pengetahuan manusia tidak
pernah bisa didasarkan pada argumen yang masuk akal. Dengan kata lain
pengetahuan manusia itu irasional. Argumentasi adalah sekumpulan kata-kata
kosong untuk membuktikan sesuatu yang memang tidak bisa dibuktikan.
Pada
level yang lebih luas, skeptisisme adalah suatu bentuk ketidakpercayaan pada cara
mengetahui manusia. Misalnya ketidakpercayaan pada ingatan sebagai sumber
ingatan, karena ingatan sifatnya sangat rapuh dan subyektif.Ada juga para
pemikir skeptis yang tidak percaya pada kepastian pengetahuan manusia tentang
dunia di luar dirinya. Bagi mereka pengetahuan tentang dunia di luar diri
manusia (external world) hanya sebentuk sensasi-sensasi saraf otak
semata, dan bukan pengetahuan yang asli. Ada satu bentuk skeptisisme lainnya
yang disebut sebagai solipsisme. Paham ini berpendapat bahwa yang ada hanyalah
diri manusia dan keyakinan-keyakinan subyektifnya. Segala sesuatu di luar diri
manusia tidak ada. Misalnya dunia di luar diri manusia itu sungguh ada, namun
itu pun tetap tidak bisa diketahui.
Skeptisisme
di dalam Sejarah
Menurut
Richard H. Popkin di dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy,
skeptisisme memiliki akar yang panjang dalam sejarah. Pada jaman Romawi Kuno,
teks-teks Cicero, Sextus Empiricus, dan Diogenes sudah memuat argumen-argumen
skeptisisme. Setidaknya ada dua bentuk skeptisisme, yakni ketidakpercayaan pada
pada persepsi inderawi (sense perception) manusia untuk
memperoleh pengetahuan, dan ketidakpercayaan pada kemampuan akal budi
(reason) manusia untuk mencapai pengetahuan yang universal.
Jika akal budi dan persepsi inderawi tidak bisa membawa
manusia pada pengetahuan, maka manusia tidak memiliki lagi alat untuk bisa
mengetahui sesuatu. Pengetahuan pun menjadi sesuatu yang tidak mungkin. Cara
pandang ini memiliki implikasi moral tertentu. Jika manusia tidak bisa sampai
pada pengetahuan, maka satu-satunya harapan adalah menyandarkan diri pada cara
hidup dan aturan yang sudah mapan di dalam masyarakat. Daya dorong untuk
mencapai kebenaran absolut menghilang, dan orang pun ‘dipaksa’ untuk hidup
dalam harmoni dengan lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan penelitian Popkin kelahiran skeptisisme sebagai
metode di abad pertengahan disebabkan oleh ditemukannya kembali teks-teks kuno.
Teks-teks tersebut pertama kali ditemukan dan dikembangkan oleh para pemikir
Humanis di Italia. Kemudian teks-teks tersebut tersebar dan semakin berkembang
di Eropa Barat dan Eropa Utara. Seperti sudah disinggung sebelumnya, teks-teks
yang berpengaruh adalah tulisan Cicero, Diogenes, dan, yang terpenting, adalah
tulisan Sextus Empiricus.
Pada awalnya teks-teks tulisan Empiricus lebih dikenal
sebagai teks-teks sejarah dan literatur biasa. Namun setelah terbit dua teks
terjemahan milik Empiricus, yakni Outlines of Pyrrhonism dan Against
the Professors, para filsuf pada waktu itu mulai menempatkan teks-teks itu
sebagai teks yang memiliki problem filosofis. Dari penelitian Popkin ini
dapatlah disimpulkan, bahwa konsep skeptisisme berkembang dari ditemukannya
teks-teks kuno, yang kemudian membuka problem-problem filosofis baru pada abad
ke 14 dan 15.
Konsep skeptisisme juga berkembang dalam konteks tegangan
dengan agama pada abad ke-14. Tokoh yang terkait adalah Girolamo Savonarola dan
muridnya yang bernama Pico della Mirandola. Savonarola sendiri adalah seorang
biarawan Dominikan sekaligus seorang guru filsafat di Florence. Ia menyarankan
dilakukannya reformasi besar-besaran terhadap Gereja Katolik Roma pada waktu
itu. Ia bahkan menyarankan orang membaca tulisan Sextus Empiricus sebagai
perkenalan kepada iman Kristiani. Ia juga meminta teman-teman biarawannya untuk
menerjemahkan teks-teks Empiricus, sehingga bisa dibaca oleh banyak orang.
Akan tetapi tulisan-tulisan Empiricus, berlawanan dengan
cita-cita Savonarola, tidak pernah dijadikan salah satu teks Kristiani. Bahkan
ia kemudian dituduh bidaah, dan dibakar pada 1498. Menurut penelitian Popkin
cita-cita Savonarola sebenarnya sesuai dengan ajaran Kristiani. Dia dan
muridnya yang bernama Pico sebenarnya hendak menyerang semua bentuk pengetahuan
yang ada dengan teori skeptisisme, supaya orang tidak lagi menyandarkan diri
pada akal budinya, melainkan bersandar hanya sepenuhnya pada iman. Hal ini nantinya
juga dipergunakan oleh para Rabi Yahudi untuk menjadikan Torah sebagai
satu-satunya sumber kebenaran. Melanjutkan cita-cita gurunya, Pico menyerang
Filsafat Yunani Kuno dan pemikiran Aristoteles. Argumen Pico memiliki pengaruh
sangat besar para para pemikir Renaissance nantinya.
Pada masa reformasi Erasmus pernah melakukan debat keras
melawan Martin Luther. Masa itu adalah masa yang penuh gejolak, akibat
gelombang reformasi yang deras melada Eropa. Pada 1511 dalam salah satu
tulisannya yang berjudul In Praise of Folly, Erasmus menyerang semua
bentuk pandangan skeptik. Baginya skeptisisme adalah sikap dogmatik untuk tidak
mengatakan apapun tentang apapun juga. Artinya skeptisisme adalah ajaran yang
kosong belaka. Pada bukunya yang berjudul Philosophia Christi, Erasmus
menyetujui sepenuhnya ajaran Kristus sebagai satu-satunya kebenaran. Walaupun
begitu ia tidak membangun sistem pemikiran apapun untuk mendasari argumennya
itu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Popkin, Erasmus awalnya
setuju dengan kritik tajam yang dilontarkan oleh Luther pada Gereja Katolik.
Namun dalam perjalanan Erasmus melihat sikap yang semakin lama semakin keras
pada argumen dan tindakan Luther. Ia pun menarik dukungannya, dan tetap memilih
untuk menjadi bagian dari Gereja Katolik. Ia kini berada pada posisi yang
bertentangan Luther. Yang menarik adalah menurut Popkin, Erasmus justru
menggunakan argumen skeptik untuk melawan Luther. Ia berpendapat bahwa tema
perdebatannya dengan Luther terlalu sulit untuk dipahami oleh akal budi manusia.
Kitab suci pun tidak bisa dijadikan acuan mutlak untuk soal-soal iman dan
teologi yang mereka perdebatkan. Berdasar pada argumen skeptik, bahwa manusia
tidak mungkin bisa memahami sepenuhnya misteri Tuhan dan iman, Erasmus mengajak
Luther untuk kembali pada pandangan tradisional, yakni pandangan Gereja
Katolik, dengan penuh keterbukaan hati.
Terlihat bahwa Erasmus menerapkan metode skeptisisme untuk
membela pendiriannya. Popkin bahkan menyebutnya sebagai skeptisisme lembut (gentle
scepticism). Namun Luther sama sekali tidak bisa menerima argumen itu.
Baginya seorang Kristen tidak bisa sekaligus adalah seorang skeptik. Orang yang
beragama Kristen, atau agama apapun, haruslah meyakini kebenaran yang terdapat
di dalam agamanya. Jika tidak maka mereka akan terancam hukuman Tuhan, seperti
yang dipercaya di dalam agamanya. “Iman dan skeptisisme sama sekali tidak
cocok,” demikian tulis Popkin, “karena seorang Kristen haruslah bahagia di
dalam ketegasannya.” Luther bahkan mengatakan bahwa Roh Kudus sama sekali tidak
skeptik (Spiritus Sanctus non est scepticus).
Di hari pengadilan akhir (judgment day), Erasmus harus
mempertanggungjawabkan keraguannya di hadapan Tuhan.
Menurut Popkin perdebatan antara Luther dan Erasmus
meninggalkan kita satu pertanyaan filosofis yang penting, bagaimana menciptakan
kriteria untuk menentukan kebenaran dalam konteks kebenaran religius? Di dalam
sejarah Luther menantang kebenaran tradisi yang diajarkan oleh Gereja Katolik.
Ia menolak mengakui otoritas iman dari Paus dan tradisi Gereja Katolik yang
sudah berusia ratusan tahun. Sebagai gantinya ia ingin kembali mengacu pada
Kitab Suci. Akan tetapi menurut Popkin, bukankah setiap orang membaca Kitab
Suci dengan tafsiran dan gayanya masing-masing? Menjawab ini Luther mengatakan,
bahwa tafsirannya langsung didasarkan dari inspirasi roh kudus. Akan tetapi
bagaimana memastikan itu? Pada akhirnya Luther hanya mengacu pada keyakinan
subyektifnya semata. Keyakinan subyektif yang dipercayainya sebagai bisikan roh
kudus.
Dari kisah di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa skeptisisme
seringkali berperan besar di dalam perdebatan religius. Argumen yang ditawarkan
biasanya begini, jika tidak ada yang dapat diketahui sepenuhnya oleh manusia,
maka ia hanya perlu mempercayainya. Para pemikir reformis Protestan menggunakan
argumen ini untuk melawan tradisi Gereja Katolik. Dan Gereja Katolik
menggunakan argumen yang kurang lebih serupa melawan Calvinisme. Semua pihak
kemudian menganjurkan fideisme, yakni iman merupakan sumber utama dari
pengetahuan manusia. “Jika sikap skeptis terhadap pengetahuan tidak bisa
diselesaikan dengan akal budi”, demikian Popkin, “maka ajaran agama haruslah
diterima hanya dengan berdasar pada iman semata.”
Tentu saja pandangan ini memiliki banyak kelemahan. Bagaimana
mungkin orang bisa beriman tanpa menggunakan akal budinya? Jika itu terjadi
bukankah agama lebih menjadi ilusi irasionil semata yang justru memperbodoh
manusia? Bukankah orang akan begitu mudah menjadi fanatik terhadap agamanya
sendiri, dan menutup mata atau bahkan menindas perbedaan yang ada? Pada hemat
saya skeptisisme mengajarkan orang untuk bersikap kritis terhadap semua bentuk
pengetahuan. Sikap kritis itu tidak bertujuan untuk membawa orang pada
kebingungan, melainkan justru untuk menjernihkan pengetahuan orang tersebut.
Inilah yang menjadi inti dari skeptisisme di dalam filsafat modern, yakni
mengajarkan orang untuk berpikir kritis, sehingga ia bisa menemukan kebenaran
yang sesungguhnya, dan tidak berpuas diri dengan kebenaran-kebenaran palsu.
Skeptisisme
sebagai Metode
Bapak
dari filsafat modern adalah Rene Descartes. Ciri utama filsafatnya adalah
refleksi yang mendalam dan berkelanjutan tentang tema kesadaran. Para filsuf
setelah Descartes juga pada akhirnya menjadikan tema kesadaran sebagai tema
refleksi filosofis mereka. Berdasarkan penelitian Budi Hardiman, Descartes
memberikan suatu bentuk metode baru di dalam berfilsafat, yakni yang disebutnya
sebagai metode skeptisisme, atau bisa juga disebut sebagai skeptisisme metodis.
Tujuan dari metode ini adalah untuk mendapatkan kepastian dasariah dan
kebenaran yang kokoh. Inilah tujuan utama filsafat menurut Descartes.
Untuk
mendapatkan kepastian dasariah dan kebenaran yang kokoh itu, Descartes mulai
dengan meragukan segala sesuatu. Ia meragukan kepastian benda-benda material
yang ada di sekitarnya, dan bahkan sampai meragukan keberadaan dirinya sendiri.
Jika semua hal di dunia ini bisa diragukan, lalu apakah yang bisa dijadikan
sebagai pegangan kokoh? Pada hemat Descartes satu hal setidaknya yang tidak
bisa diragukan, yakni fakta bahwa saya sedang meragukan. Jadi walaupun seluruh
dunia adalah hasil penipuan, namun fakta bahwa aku sedang meragukan seluruh
dunia bukanlah sebuah penipuan. Inti dari sikap meragukan adalah berpikir, maka
berpikir juga adalah sebuah kepastian dasariah yang tidak terbantahkan.
Jelaslah bahwa keraguan Descartes tidak mengantarkannya pada kekosongan,
melainkan justru membawanya pada kepastian yang tidak terbantahkan. Skeptisisme
Descartes bisa juga disebut sebagai skeptisisme yang konstruktif.
Cara
berpikir skeptik yang lebih radikal dapat ditemukan pada seorang filsuf Inggris
yang bernama David Hume. Dengan membaca tulisan-tulisan Hume, orang akan
mendapatkan kesan, bahwa ia hendak menghancurkan filsafat. Namun menurut Budi
Hardiman, tujuan dasar Hume bukanlah menghancurkan filsafat, melainkan mau
melengkapi filsafat dengan sebuah metode berpikir yang ketat dan sistematis.
Untuk itu Hume kemudian menggunakan cara berpikir skeptisisme.[9] Yang menjadi obyek utama
kritik Hume adalah metafisika tradisional. Baginya metafisika bersifat sangat
tidak pasti, dan melebih-lebihkan kemampuan akal budi manusia. Dalam arti ini
metafisika bukan lagi sekedar merupakan penyelidikan terhadap realitas dengan
menggunakan akal budi manusia, tetapi sudah menjadi mirip dengan mitos dan
takhayul.
Berdasarkan
penelitian Budi Hardiman dapatlah disimpulkan, bahwa Huma ingin melakukan
kritik tajam terhadap tiga bentuk pemikiran, yakni pandangan rasionalisme bahwa
seluruh realitas terdiri dari unsur-unsur yang saling berhubungan,
pemikiran-pemikiran religius, konsep sebab akibat yang berada di dalam ilmu
pengetahuan, dan konsep substansi yang dianut oleh para pemikir empiris
(meyakini bahwa sumber utama pengetahuan adalah pengalaman inderawi). Coba kita
bahas tiga bentuk kritik ini satu per satu.
Yang
pertama, para pemikir rasionalis yakin bahwa realitas itu adalah suatu
substansi. Artinya realitas adalah satu kesatuan yang bersifat utuh dan mutlak.
Ide kesatuan itu biasanya muncul dari pengamatan. Jadi kesatuan adalah kesan
yang muncul, ketika orang mulai secara detil mengamati sesuatu. Karena hanya
didasarkan pada kesan, maka kesatuan, atau substansi, tidak lebih dari sekedar
khayalan manusia semata. Substansi adalah kumpulan persepsi semata. Jadi
seluruh realitas adalah kumpulan persepsi (a bundle of perceptions)
manusia semata.
Kritik
kedua Hume yang sampai sekarang masih relevan adalah kritiknya terhadap
kausalitas (sebab akibat). Konsep kausalitas mengandaikan bahwa jika peristiwa
B terjadi tepat setelah peristiwa A, maka A pasti yang menyebabkan terjadinya
B. Bagi Hume konsep sebab akibat di dalam kasus itu sama sekali tidak bisa
dipastikan. Konsep kausalitas lebih didasarkan pada kebingungan daripada
kejernihan. Hume sendiri mengakui bahwa setiap peristiwa memiliki hubungan yang
satu dengan yang lainnya. Namun hubungan itu tidak langsung bisa disimpulkan
sebagai kausalitas. Yang bisa dilihat oleh manusia adalah urutan dari
peristiwa, dan bukan kausalitas itu sendiri. Sedangkan konsep kausalitas tidak
bisa dipastikan, terutama karena tidak bisa diamati secara langsung. Ungkapan
terkenal Hume untuk kepercayaan manusia terhadap kausalitas adalah kausalitas
sebagai kepercayaan naif (animal faith).
Kritik
ketiga Hume difokuskan pada agama. Baginya orang beragama haruslah menggunakan
cara berpikir skeptisisme sehat, yakni cara berpikir yang meragukan berbagai
aspek mitologis dan takhayul dari agama. Agama harus dikembalikan kepada
karakternya yang rasional dan empiris. Di sisi lain Hume juga bersikap sangat
kritis terhadap mukjizat. Ada beberapa argumen yang ditawarkannya. Yang pertama
adalah bahwa mukjizat tidak pernah disaksikan oleh sekelompok orang-orang
cerdas. Yang kedua, Hume meyakini bahwa orang memang suka pada
peristiwa-peristiwa yang sensasional. Mukjizat adalah salah satunya. Namun hal
itu sama sekali tidak membuktikan, bahwa mukjizat itu ada.
Yang
ketiga bagi Hume, mayoritas mukjizat terjadi, ketika ilmu pengetahuan belum
berkembang. Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa mukjizat hanya menjadi obyek
pikiran orang-orang yang sempit dan picik. Yang keempat bagi Hume, mukjizat
terdapat di setiap agama, dan setiap agama mengklaim bahwa mukjizat merekalah
yang paling benar. Hal ini sulitnya menemukan titik temu yang obyektif tentang
konsep mukjizat. Dan yang kelima bagi Hume, banyak sejarahwan yang meragukan
peristiwa-peristiwa di dalam sejarah yang dianggap mukjizat. Semakin mereka
terlibat dalam penelitian yang semakin intensif, maka keraguan itu semakin
besar. Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa mukjizat lebih merupakan tafsiran
subyektif dari orang-orang yang ingin memperkenalkan ajaran agama baru.
Hume
mengajak orang untuk kembali berpijak pada rasionalitas dan cara berpikir
kritis. Kedua hal itu membuat orang tidak mudah percaya pada segala bentuk
klaim-klaim kebenaran yang ada di masyarakat, termasuk klaim yang
mengatasnamakan Tuhan. Metode skeptisisme yang ditawarkan Hume memang terdengar
radikal. Namun niat dibaliknyalah yang harus kita hayati bersama, yakni
pencarian kebenaran terus menerus, tanpa pernah terjebak pada klaim-klaim yang
seringkali tidak memiliki dasar yang kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar