Filsafat ketuhanan
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Filsafat
Ketuhanan adalah pemikiran tentang Tuhan dengan
pendekatan akal budi, yaitu memakai apa yang disebut sebagai pendekatan
filosofis. Bagi orang yang menganut agama tertentu (terutama agama Islam,
Kristen, Yahudi), akan menambahkan pendekatan wahyu di dalam usaha
memikirkannya. Jadi Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran para manusia dengan
pendekatan akal budi tentang Tuhan. Usaha yang dilakukan manusia ini bukanlah
untuk menemukan Tuhan secara absolut atau mutlak,
namun mencari pertimbangan kemungkinan-kemungkinan bagi manusia untuk sampai
pada kebenaran tentang Tuhan.
Penelitian tentang Allah dalam Ilmu Filsafat
Tuhan
dalam gambaran "kubus" dalam judul Tuhan tidak bermain dadu :
Tuhan menciptkan dunia penuh
Penelaahan
tentang Allah
dalam filsafat lazimnya disebut teologi filosofi. Hal ini bukan
menyelidiki tentang Allah sebagai obyek, namun eksistensi alam semesta, yakni
makhluk yang diciptakan, sebab Allah dipandang semata-mata sebagai kausa
pertama, tetapi bukan pada diri-Nya sendiri, Allah sebenarnya bukan materi
ilmu, bukan pula pada teodise. Jadi
pemahaman Allah di dalam agama harus dipisahkan Allah dalam filsafat. Namun
pendapat ini ditolak oleh para agamawan, sebab dapat menimbulkan kekacauan
berpikir pada orang beriman. Maka ditempuhlah cara ilmiah untuk membedakan dari
teologi dengan menyejajarkan filsafat ketuhanan dengan filsafat lainnya
(Filsafat manusia, filsafat alam dll). Maka para filsuf mendefinisikannya
sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai dengan lebih baik, dan secara refleksif, realitas
tertinggi yang dinamakan Allah itu, ide dan gambaran Allah melalui sekitar diri
kita.
Agama : Studi tentang tabiat Allah dan kepercayaan
Ide
tentang Allah pada orang beragama secara
umum biasanya dijelaskan dalam tabiat Allah; "Yang Maha
Tinggi" (Anselmus mengatakan: "Allah adalah sesuatu yang lebih besar
dari padanya tidak dapat dipikirkan manusia)Yang Maha Besar, Yang Maha Kuasa,
Yang Maha Baik dan sebagainya. Menurut Anselmus, ajaran-ajaran kristiani bisa
dikembangkan dengan rasional, jadi tanpa bantuan otoritas lain (Kitab Suci,
wahyu, ajaran Bapa Gereja). Bahkan ia bisa menjelaskan eksistensi Allah dengan
suatu argumen yang bisa diterima bahkan juga oleh mereka yang tidak beriman.
Eksistensi Allah dimulai dari pikiran manusia yang menerima begitu saja ajaran
agama, namun juga menanyakannya dari siapa dan mengapa dirinya ada, alam alam,
dan Allah sendiri bisa diterima adanya.
Beberapa sikap orang beriman dalam mencari pencerahan akan adanya Allah:
Beberapa sikap orang beriman dalam mencari pencerahan akan adanya Allah:
- Manusia yang menerima begitu saja dikarenakan ajaran turun-temurun dari para pendahulunya, manusia ditekankan harus percaya, bahkan tanpa bertanya.
- Manusia mulai bertanya mengapa dirinya ada? Mengapa alam ada?
- Kemudian menanyakan Allah terkait; siapa, isinya, dan mengapa Dia ada?
Semua
jawaban itu akan dijawab oleh para ahli dalam bidang yang disebut teologi; theos dan logos, ilmu tentang hubungan manusia dan
ciptaan dengan Allah. Jawaban-jawabannya bisa sangat beragam, tergantung agama
dan kepercayaan yang mana yang memberikan jawaban.[2] Namun setidaknya ada beberapa kesimpulan yang mereka
berikan sebagai jawaban:
- Allah ada, dan adanya Allah itu dapat dibuktikan secara rasional juga; - Allah ada, tetapi tidak dapat dibuktikan adanya; - tidak dapat diketahui apakah Allah benar-benar ada; - Allah tidak ada, dan ketentuan ini dapat dibuktikan juga.[2]
Oleh karena itu filsafat berusaha membuktikan keyakinan-keyakinan manusia itu melalui berbagai jalan; metafisika, empirisme, rasionalisme, positivisme, spiritualisme dll.
- Allah ada, dan adanya Allah itu dapat dibuktikan secara rasional juga; - Allah ada, tetapi tidak dapat dibuktikan adanya; - tidak dapat diketahui apakah Allah benar-benar ada; - Allah tidak ada, dan ketentuan ini dapat dibuktikan juga.[2]
Oleh karena itu filsafat berusaha membuktikan keyakinan-keyakinan manusia itu melalui berbagai jalan; metafisika, empirisme, rasionalisme, positivisme, spiritualisme dll.
Teisme
Teisme adalah faham yang mempercayai adanya Tuhan.[2] Berasal dari bahasa Yunani Θεός=Teos dan
νόμος=hukum=aturan=paham, jadi sebuah aturan atau paham tentang Tuhan atau
pengakuan adanya Tuhan.[2]
Di bawah ini beberapa pemikir yang mempercayai adanya Allah, maka dengan begitu mereka pasti orang beragama:
Di bawah ini beberapa pemikir yang mempercayai adanya Allah, maka dengan begitu mereka pasti orang beragama:
Santo Agustinus(354-430)
Santo Agustinus percaya bahwa Allah ada dengan melihat sejarah dari drama penciptaan, yang melibatkan Allah dan manusia. Allah
menciptakan daratan untuk manusia, menciptakan manusia (Adam) yang berdosa
melawan Allah. Lalu Adam dan Hawa diusir dari Taman Eden. Kemudian setelah manusia berkembang, mereka
berdosa lebih lagi dan dihukum dengan air bah dalam sejarah Nuh.
Orang-orang Yahudi yang diberikan perjanjian Allah ternyata tidak dapat
memeliharanya sehingga dihukum melalui bangsa-bangsa
lain. Lalu Allah yang maha kasih menebus manusia melalui Yesus Kristus. Dari
sejarah ini Allah dapat selalu ada di tengah-tengah manusia. Memang Agustinus
adalah Bapa gereja, Uskup dari Hippo yang membela eksistensi Allah dari pandangan-pandangan lain yang ingin
meruntuhkan paham teisme. Tuhan didefinisikan dari sifat-sifatnya; maha tahu,
maha hadir, kekal, pencipta segala sesuatu. Namun lebih lagi, Tuhan bukan ada
begitu saja, namun selalu terhubung dalam peristiwa-peristiwa besar manusia.
Thomas Aquinas (1225-1274)
Santo Thomas Aquinas
Thomas Aquinas menggabungkan pemikiran Aristoteles dengan Wahyu Kristen. Kebenaran iman dan rasa
pengalaman bukan hanya cocok, namun juga saling melengkapi; beberapa kebenaran, seperti misteri dan inkarnasi dapat diketahui melalui wahyu, sebagaimana pengetahuan
dari susunan benda-benda di dunia, dapan diketahui melalui rasa pengalaman;
seperti kesadaran manusia akan eksistensi Allah, baik wahyu maupun rasa
pengalaman dipakai untuk membentuk persepsi tentang adanya Allah.
Thomas Aquinas terkenal dengan lima jalan (dalam Bahasa Latin; quinque viae ad deum) untuk mengetahui bahwa Allah benar-benar ada.
Thomas Aquinas terkenal dengan lima jalan (dalam Bahasa Latin; quinque viae ad deum) untuk mengetahui bahwa Allah benar-benar ada.
- Jalan 1 adalah gerak, bahwa segala sesuatu bergerak, setiap gerakan pasti ada yang menggerakkan, namun pasti ada sesuatu yang menggerakkan sesuatu yang lain, namun tidak digerakkan oleh sesuatu yang lain, Dialah Allah.
- Jalan 2 adalah sebab akibat, bahwa setiap akibat mempunyai sebabnya, namun ada penyebab yang tidak diakibatkan, Dialah sebab pertaman, Allah.
- Jalan 3 adalah keniscayaan, bahwa di dunia ini ada hal-hal yang bisa ada dan ada yang bisa tidak ada (contohnya adalah benda-benda yang dahulu ada ternyata ada yang musnah, namun ada juga yang dulu tidak ada ternyata sekarang ada), namun ada yang selalu ada (niscaya) Dialah Allah.[4]
- Jalan 4 adalah pembuktian berdasarkan derajat atau gradus melalui perbandingan, bahwa dari sifat-sifat yang ada di dunia ( yang baik-baik) ternyata ada yang paling baik yang tidak ada tandingannya (sifat Allah yang serba maha) Dialah Allah.
Jalan 5
adalah penyelenggaraan, bahwa segala ciptaan berakal budi mempunyai
tujuan yang terarah menuju yang terbaik, semua itu pastilah ada yang
mengaturnya, Dialah Allah.
Descartes (1596-1650)
Rene Descartes memikirkan Tuhan bermula dari prinsip utamanya
yang merupakan “gabungan antara pietisme Katolik dan sains. Descartes adalah seorang filsuf rasionalis yang
terkenal dengan pemikiran ide Allah. Tantangan yang mendorong Descartes
adalah keragu-raguan radikalnya, The Methode of Doubt , bahkan
menurutnya,"indera bisa saja menipu, Yang Maha Kuasa dalam bayangan
kita juga bisa saja menipu, sebab kita yang membayangkan". Dalam menjawab skeptisisme orang-orang pada masanya, maka dalam tinggalnya di
Neubau, dekat kota Ulm - Jerman, disebut sebagai “perjalanan
menara”, kata lain dari meditasi yang dilakukan, dia menemukan Cogito,
ergo sum tahun 1618. Karena orang pada zamannya meragukan apa yang mereka
lihat, maka hal ini dipatahkan oleh Descartes bahwa apa yang dipikirkan saja
sebenarnya sudah ada, minimal di pikiran. Orang bisa menyangkal segala sesuatu,
namun ia tidak bisa menyangkal dirinya sendiri. Jadi Allah di sini juga
demikian, Allah sudah ada dengan sendirinya, bahkan lebih jauh Descartes
mencari bukti-bukti empiris yang dia warisi dari para pendahulunya. Keterbukaan
untuk mengemukakan ide dalam pikiran, maka segala sesuatu yang dapat dipikirkan
pasti bisa ada. Alkitab salah satu bukti eksistensi Allah, kemudian juga relasi
bahwa manusia, binatang, malaikat, dan obyek-obyek
lain ada karena natural light yang adalah Allah sendiri.
Filsafat Ketuhanan menurut Descartes adalah berawal dari fungsi iman, yang pada akhirnya berguna untuk menemukan Allah. Tanpa iman manusia cenderung menolak Allah. Ada dua hal yang bisa ditempuh agar Aku sampai pada Allah:
Filsafat Ketuhanan menurut Descartes adalah berawal dari fungsi iman, yang pada akhirnya berguna untuk menemukan Allah. Tanpa iman manusia cenderung menolak Allah. Ada dua hal yang bisa ditempuh agar Aku sampai pada Allah:
- Jalan yang pertama adalah sebab akibat, bahwa dirinya sendiri (manusia) pasti diakibatkan oleh penyebab pertama, yaitu Allah.
- Jalan yang kedua adalah secara ontologis, yang diwarisinya dari Anselmus. Allah yang ada itu tidak mungkin berdiri sendiri, tanpa ada kaitan dengan suatu entitas lain, maka Allah pasti ada dan bereksistensi. Maka Allah yang ada dalam ide Descartes sempurna sudah, bahwa Dia ada dan dapat diandalkan dalam relasi dengan entitas lainnya itu.
Imanuel Kant (1724-1804)
Immanuel Kant dengan kata-kata "Langit
berbintang di atasku dan hukum moral di batinku"
Ajaran Kant tentang Allah ditemui dalam hukum
moralnya melalui beberapa tahap: 1. Allah adalah suara hati, 2. Allah adalah
tujuan moralitas, 3. Allah adalah pribadi yang menjamin bahwa orang yang
bertindak baik demi kewajiban moral akan mengalami kebahagiaan sempurna. Menurut
Kant ada tiga jalan untuk membuktikan adanya Allah di luar spekulasi belaka,
dan hal ini dimungkinkan:
- dimulai dari menganalisa pengalaman kemudian menemui kualitas dari sense dunia kita, lalu meningkat menjadi bukum kausalitas mencapai penyebab di luar dunia.
- berdasar hal pertama, kita masih pada tataran pengalaman yang tidak bisa dijelaskan.
- di luar konsep-konsep itu, manusia memiliki a priori dalam rasionya, dan itu menjadi penyebab yang memang ada.
Lalu
dari usaha dari pengalaman dianalisa dengan a priori (pemikiran awal sebelum
membutktikan sesuatu) dalam otak kita, kita membagi tiga bentuk definisi atas
pengalaman; Psikologi-teologi, kosmologi dan ontologi. Dari hal yang dialami (empiris)
menuju transendensi;
bahwa manusia hanya akan berspekulasi saja.
Kritik Kant terhadap Thomas Aquinas juga mengenai hal-hal spekulatif, padahal
Allah nyata adanya. Di sini Kant kemudian mengakui bahwa Allah sebagai pemberi a priori dan pengalaman
itu sendiri tidak terdapat dalam baik pengalaman maupun a priori, namun
melampaui hal itu. Maka Kant sangat terkenal dengan kata-katanya '"Langit
berbintang di atasku dan hukum moral
di dalam batinku". Di sinilah iman diperlukan, sebab Allah pada
kenyataannya tidak bisa dibuktikan hanya dengan pengalaman inderawi
semata.[8] Allah melampaui hal-hal rasio murni.
Hegel (1770-1831)
Hegel juga disebut filsuf idealisme Jerman. Ajaran
yang terkenal dari Hegel adalah dialektika, di mana ada dua hal berbeda (bahkan
kontras) yang bertemu dan membentuk hal baru. Pertama-tama Hegel membedakan
antara rasio murni (dalam Kant) sebagai kesadaran manusia, namun ada yang lebih
dari itu yaitu intelek.
Intelek itu senantiasa mengerjakan kinerja rasio dan intelektualitas sehingga
dialektika terus terjadi. Roh Absolut yang adalah intelek itu bekerja dan
menyatakan dirinya dalam proses sejarah manusia. Pekerjaan Roh itu dapat
mencapai tujuannya dalam alam semesta ketika terjadi dialektika antara subjek
dan objek, antara yang terbatas dan tidak terbatas, dan yang paling bisa
dimengerti adalah antara yang imanen dan transenden.[1] Hegel berpendapat Allah di dalam agama Kristen juga
bekerja seperti peristiwa reformasi yang sebenarnya merupakan
peristiwa pemulih atau pengembali keadaan manusia menjadi baik kembali. Dari
peristiwa-peristiwa itu maka Allah menurut Hegel dapat diartikan dalam tiga
tahap: 1. Segala sesuatu yang terjadi dalam sejarah adalah proses perjalanan
Roh (Allah) yang menemukan dirinya sendiri 2. Melalui manusia dengan
kesadarannya, Roh itu menemukan dirinya (peristiwa revolusi oleh Napoleon
misalny) 3. Sehingga terjadi keselarasan arah gerak manusia dan arah gerak Roh
dalam emansipasi dan kebebasan manusia, untuk itu Roh akan memakai nama "Akal
budi".Namun Allah yang dinyatakan Hegel sebenarnya terikat pada manusia
yang berproses dalam sejarah.
Schleiermacher (1768-1834)
Schleiermacher adalah penganut Kant,
namun baginya Allah lebih baik tidak ditelusuri dengan metafisika belaka, namun perlu dihayati kehadirannya, yaitu
dengan kontemplasi.
Baginya, Allah yang tidak bisa ditangkap inderawi
tidak bisa juga dilacak dengan rasio murni. Istilah yang dipakai oleh Schleiermacher
untuk Allah adalah "Sang Universum". Jika Kant mengenal Allah sebagai
pemberi hukum moral
yang melampaui rasionya, Schleiermacher menganggap Allah
yang dimaksud Kant tidak memadai dalam kehidupan manusia, sebab Allah hanya
pemberi ganjaran kepada orang yang baik dan penghukum orang yang
kurang baik. Sebab Allah, bagi Schleiermacher tidak mungkin memberi hukuman
kekal kepada manusia lantaran ia tidak sempurna, hal ini dikarenakan bahwa
manusia diciptakan Allah bukan agar ia sempurna, melainkan agar ia berikhtiar
mencapai kesempurnaan itu.
Scleiermacher mendekati Allah bukan dari teori spekulatif, bukan dengan pendekatan moral-praktis, melainkan pendekatan intuitif-batin, dalam bahasanya melalui kontemplasi dan perasaan. "Di sinilah agama merenungkan Sang Universum, di dalam caranya mengekspresikan diri dan tindakannya, agama ingin mendegarkan bisikan suara Sang Universum itu dengan khidmat,... Dalam kepasifan anak-anak, agama ingin ditangkap dan dipenuhi oleh daya pengaruhnya"Agama adalah Sang Universum sendiri. Sang Universum ditangkap dari alam dunia yang mamanifestasikannya. Namun alam dunia bukanlah Sang Universum yang berdiri sendiri, namun tetap memanifestasikan alam. Pembedaan ini melaui dua tahap; 1. Alam adalah wahyu Allah, dan ditangkap oleh sanubari manusia, 2. wahyu yang lebih tinggi dan lebih baik adalah manusia yang menurut Schleiermacher tidak terbagi-bagi dan tidak terbatas, namun bereksistensi.[1] Dalam aktivitas umat manusia itulah Allah menyatakan diri, alam diresapi oleh Yang Ilahi.[1] Namun manusia bukanlah Allah sendiri.[1] Maka tugas agama adalah mencari menemukan Allah yang ada di luar dirinya.[1] Agama harus tinggal dengan pengalaman-pengalaman langsung untuk mencari Allah dan mencari keterhubungannya secara menyeluruh, bukan berfilosofi.[1]
Scleiermacher mendekati Allah bukan dari teori spekulatif, bukan dengan pendekatan moral-praktis, melainkan pendekatan intuitif-batin, dalam bahasanya melalui kontemplasi dan perasaan. "Di sinilah agama merenungkan Sang Universum, di dalam caranya mengekspresikan diri dan tindakannya, agama ingin mendegarkan bisikan suara Sang Universum itu dengan khidmat,... Dalam kepasifan anak-anak, agama ingin ditangkap dan dipenuhi oleh daya pengaruhnya"Agama adalah Sang Universum sendiri. Sang Universum ditangkap dari alam dunia yang mamanifestasikannya. Namun alam dunia bukanlah Sang Universum yang berdiri sendiri, namun tetap memanifestasikan alam. Pembedaan ini melaui dua tahap; 1. Alam adalah wahyu Allah, dan ditangkap oleh sanubari manusia, 2. wahyu yang lebih tinggi dan lebih baik adalah manusia yang menurut Schleiermacher tidak terbagi-bagi dan tidak terbatas, namun bereksistensi.[1] Dalam aktivitas umat manusia itulah Allah menyatakan diri, alam diresapi oleh Yang Ilahi.[1] Namun manusia bukanlah Allah sendiri.[1] Maka tugas agama adalah mencari menemukan Allah yang ada di luar dirinya.[1] Agama harus tinggal dengan pengalaman-pengalaman langsung untuk mencari Allah dan mencari keterhubungannya secara menyeluruh, bukan berfilosofi.[1]
Alfred North Whitehead (1861-1947)

Alfred North Whitehead
dijuluki sebagai bapak filsafat maupun teologi proses.[1] Pemikirannya tergolong abstrak karena pengaruh
bidang yang digelutinya, matematika dan pengetahuan empirisme mengenai alam
yang didapatkannya dari fisika terapan.[1] Dalam bukunya tentang Bagaimana Agama Terjadi
(1926) dia menyatakan;
“
|
"Dogma-dogma agama adalah upaya untuk
memformulasikan secara presis kebenaran-kebenaran yang tersibak di dalam
pengalaman religius umat manusia. Dengan cara yang sama dogma-dogma fisika (teori-teori, hukum,
dan postulat) merupakan upaya untuk memformulasikan secara presis
kebenaran-kebenaran yang tersingkap di dalam pencerapan inderawi
umat manusia. [1]
|
”
|
- Filsafat Proses Whitehead.
Filsafat
prosesnya memakai dua pendekatan; 1. Prinsip proses, dan 2. Prinsip
kreatifitas.[1]
Dari prinsip ini maka proses dibedakan dalam dua: 1. Prinsip bagi proses yang bersifat mikrokopis (konkresi) adalah asas yang memungkinkan lahirnya wujud aktual baru dari aktual-aktual lama yang sudah penuh.[1] 2. Prinsip bagi proses yang bersifat makrokopis (objektifikasi) yang memungkinkan sesuatu yang sudah penuh berubah dan menjadi datum lagi.[1]
Prinsip kreatifitas itu disimpulkan secara logis berdasarkan analisisnya atas satua aktual sebagai wujud ciptaannya.[1]
Dari prinsip ini maka proses dibedakan dalam dua: 1. Prinsip bagi proses yang bersifat mikrokopis (konkresi) adalah asas yang memungkinkan lahirnya wujud aktual baru dari aktual-aktual lama yang sudah penuh.[1] 2. Prinsip bagi proses yang bersifat makrokopis (objektifikasi) yang memungkinkan sesuatu yang sudah penuh berubah dan menjadi datum lagi.[1]
Prinsip kreatifitas itu disimpulkan secara logis berdasarkan analisisnya atas satua aktual sebagai wujud ciptaannya.[1]
- Allah dalam Filsafat proses Whitehead
Proses
kreatifitas dan pembaruan dari satuan aktual-aktual terus terjadi, salah satu
partisipannya adalah Allah, namun Dia yang paling menonjol karena dia adalah
yang awali dan yang akhiri.[1] 1. Yang awali : Allah memiliki dua peran sekaligus
yaitu sebagai dasar awali yangyk adanya tatanan dalam seluruh jagat raya dan
sebagai dasar munculnya kebaruan dalam perwujudan suatu peristiwa aktual.[1] 2. Yang akhiri: Allah sebagai penyerta yang tanggap dan
menyelamatkan.[1]
Jadi Tuhan (Allah) bagi Whitehead memiliki 3 peran yang disebut di atas, dengan begitu dia bisa mengendalikan setiap perubahan yang terjadi atas aktual-aktual lain dan mengakhirinya dengan baik.[1]
Jadi Tuhan (Allah) bagi Whitehead memiliki 3 peran yang disebut di atas, dengan begitu dia bisa mengendalikan setiap perubahan yang terjadi atas aktual-aktual lain dan mengakhirinya dengan baik.[1]
Deisme
Deisme dianalogikan seperti Tukang Jam, yang
menciptakan jam secara teratur dan membiarkannya berjalan sendiri
Deisme adalah pandangan khas tentang Allah di masa Pencerahan, berasal dari deus yang artinya Allah.[9] Namun pandangan ini berbeda dengan teisme, sebab
Allah dipercaya hanya pada waktu penciptaan, selanjutnya tidak berhubungan
dengan dunia lagi karena dunia yang sudah teratur dari semula.[9] Allah dianalogikan seperti pencipta arloji yang bisa
berjalan sangat teratur tanpa campur tangan penciptanya.[9] Jadi Deisme hanya percaya Tuhan pertama kali,
setelah itu dianggap tidak ada.[9] Paham ini dianggap sebagai benih dari munculnya
pandangan ateisme yang secara terbuka menyangkal adanya Tuhan.[9] Pandangan yang muncul pada abad 18 di Perancis.[9]
Agnostisisme

Agnostisisme adalah paham manusia yang tidak
mau tahu atau tidak tahu tentang adanya Tuhan.[9] Namun hal ini lebih disebabkan karena kebuntuan
pemikiran untuk mendefinisikan Tuhan.[9] Bagi para filsuf ini, Tuhan di berada di luar
Jangkauan pemikiran manusia.[9]
Ateisme

Ateisme berari penyangkalan adanya Allah.[2] Namun arti tentang Allah yang disangkal adanya,
tidak sama dengan pandagan semua orang, oleh karenanya arti ateisme
berbeda-beda juga.[2] Lima model ateisme yang diuraikan Magnis Suseno
adalah ateisme dalam diri Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud dan Jean Paul Sartre.[9]
Scientisme merupakan bagian dari Ateisme
Scientisme,
sesuai dengan dogma rasionalis, memandang inteligensi manusia sebgai ukuran
seluruh inteligibilitas, scientisme membatasi rasionalisme sendiri dalam batas-batas pengetahuan saja,
sehingga roh manusia sendiri direduksi sampai dimensi ilmiah saja.[3] Segala sesuatu dipandang sebagai obyek yang dapat
diukur, bahkan subyek pada akhirnya nanti dibendakan juga.[3] Maka pada akhirnya scientisme menolak metafisika,
sehingga apa yang dipikirkan secara metafisik dibendakan begitu saja, dan ini
adalah bentuk ateisme.[3] Problem lebih lanjut adalah scientisme melawan
pemikiran agama dan iman.[3] Hal ini terjadi pada masa Galilei yang mengemukakan tentang bumi yang diistilahkan geo-sentris.[3] Hal lain yang kemudian muncul juga pada Charles Darwin dengan teori evolusi yang menyangkal kisah penciptaan manusia dalam naskah
Alkitab.[3]
Ludwig Feuerbach
Ludwig Feuerbach
Ateisme menurut Feuerbach (1804-1872)
adalah memandang Tuhan dalam agama hanya sebagai proyeksi dari kehendak manusia
saja.[9] Dia menolak pandangan Hegel yang menyatakan Tuhan
mengungkapkan diri dalam kesadaran manusia.[9] Baginya, yang nyata bukan lah Tuhan, yang nyata
adalah manusia.[9] Tuhan hanyalah proyeksi manusia yang mendamba
sifat-sifat yang tidak dapat dicapainya.[9] Kehendak manusia untuk berkuasa, serba tahu, ada di
mana-mana, dan tidak terikat waktu itu kemudian dilemparkannya pada "hal
lain" yang adalah Tuhan.[9] Sebab kepastian yang nyata adalah yang dapat di
tangkap inderawi, yaitu realitas manusia.[9] Pandangan seperti ini nanti akan masuk dalam
filsafat meterialisme.[9] Kebaikan pandangan Feuerbach ini adalah menyatakan
hakekat manusia untuk kreatif, berbelas kasih, baik, saling menyelamatkan dsb.[9] Aneh bila manusia menyembah Tuhan yang adalah
dirinya sendiri, maka manusia seharusnya menarik agama ke dalam dirinya sendiri
supaya ia menjadi kuat, baik, adil dana maha tahu.[9]
Karl Marx
Karl Marx terkenal dengan Agama adalah
candu masyarakat
Menurut Karl Marx, agama adalah candu
masyarakat, karena agama, masyarakat menjadi tidak maju dan
bersikap rasional.[9]Agama yang dimaksud Marx adalah agama Kristen Ateisme yang diajarkan Marx adalah ateisme modern.[2]Agama yang mengajarkan Tuhan yang serba bisa hanya
menipu dan menyesatkan masyarakat.[9] Marx mengkritik Feuerbach yang hanya menyatakan
bahwa Tuhan adalah khayalan, namun tidak mencari sebabnya.[9] Bagi Marx sebab yang diberikan adalah manusia lari
kepada Tuhan karena penindasan yang mereka terima dari masyarakat kelas yang
dikritiknya.[9] Menurutnya agama hanya menjadi penghalang manusia
untuk menyangkal dan memperbaiki hidupnya yang sedang ditindas, seandainya
Tuhan dan agama tidak ada, maka manusia bisa hidup bebas dan bermartabat.[9] Di sinilah Tuhan sekiranya dicoret karena tidak
diperlukan.[9] Manusia seharusnya menolak kapitalisme yang sedang menindas mereka.[9]
Sigmund Freud
Sigmund Freud, mencari Tuhan dari psikoanalis
Filsafat Ketuhanan dalam pandangan Sigmund Freud dengan terori psikoanalisnya dimulai dengan
pertanyaan, "Apakah kepercayaan akan Allah dapat
dipertanggungjawabkan?"[2] Hal ini berawal dari analisanya tentang perkembangan
manusia yang mempercayai agama yang terkadang tidak mencari kebenaran-kebenaran
di dalamnya.[2] Manusia yang hanya menerima begitu saja agama-agama
yang diajarkan kepadanya.[2] Ide Allah hanyalah ilusi, namun begitu dibutuhkan
manusia seperti seorang manusia yang membutuhkan seorang bapak yang
melindunginya.[2] Namun Freud mengajukan pertanyaan selanjutnya, "Apakah
agama benar-benar baik bagi manusia?"[2] Jawabannya adalah ambigu.[2] Yang ditekankan olehnya adalah seharusnya manusia
bertanya akan imannya sehingga dia tidak terjebak dalam bentuk-bentuk infantil
dan neurotis.[2] Pendk kata, Freud tidak memperdebatkan realitas
Allah, namun lebih mengupas ilusi palsu kesadaran manusia.[2] Karena bertanya, maka sesungguhnya penjelasan yang
dikemukakan agama tidaklah memadai, Allah tidak bisa dijelaskan dalam
intelektual, sehingga perlu ditolak juga.[2] Terlebih lagi jika dicari manfaatnya, agama hanya
sebagai penghambat perkembangan pribadi, maka harus pula ditolak.[2]
Friedrich Nietzsche (1844-1899)
Friedrich Nietzsche sangat
terkenal dengan Sabda Zarathustra (1883) bahwa "Tuhan telah
mati".[4] Inilah awal mula penolakannya terhadap Tuhan.[4] Penolakannya terhadap Tuhan sebenarnya berasal dari
kebenciannya melihat orang Kristen yang tidak menunjukkan kekristenan yang
seharusnya menampilkan kasih.[4] Kebenaran bagi dia sangat subyektif, dipikirkan
manusia yang sangat super kekuasaannya terhadap
dirinya sendiri.[4] Subyektivitas
itu juga dalam hal kebenaran agama, apa yang disebut baik bisa saja sebenarnya
sangat buruk, apa yang disebut buruk bisa saja sebenarnya sangat baik.[4]Agama Kristen dianggap oleh Nietzsche sebagai bentuk
Platonisme baru yang memisahkan antara dunia, kosmologi, materi dan apa yang
dapat ditangkap oleh pancaindera.[3] Dari sini keburukan Kristen kata Nietzsche dipandang
meremehkan hal-hal duniawi, tampak seperti gnosis yang meremehkan hidup (tubuh,
dunia, hawa nafsu) sehingga merupakan hasrat akan kehampaan, kehendak akan
dekadensi, sebagai penyakit, kelesuah dan kepayahan hidup.[3] Hal ini ditujukan kepada agama [Kristen]] yang
memiliki label baik, sebenarnya sangatlah buruk, yaitu dengan ajaran-ajarannya
yang sebenarnya membelenggu manusia untuk berkembang.[4] Bagi dia, manusia adalah ukuran segala sesuatu,
bukan Tuhan yang disebut agama Kristen.[4] Manusialah tuhan atas ciptaan ini dan yang mampu
mengerjakan apa yang diinginkannya.[4] Maka penolakan akan Tuhan adalah hal yang paling
baik, sebab manusia menjadi tidak bergantung pada Allah (Kristen) yang hanya
membelenggu manusia itu, katanya.[4]
J. Paul Sartre (1905-1980)
Tuhan di mata Sartre kecil adalah sosok
penghukum yang mengawasinya di manapun dia berada, oleh karenanya dia tidak
suka kehadiran Tuhan.[10] Tuhan juga tidak hadir ketika dia ingin menemuinya.[10] Oleh karena itu Sartre sudah menolak Tuhan yang
tidak nyata semenjak umur 12 tahun.[10] Sartre yang tadi dididik secara Katolik berpindah
kepada kesusastraan, yang disebut sebagai agama baru baginya.[10] Namun secara sistematis, dan khas eksistesialis, penolakan atas Tuhan ini dilakukannya karena
pemisahan radikal dalam tulisannya Ada dan Ketiadaan terjemahan dari Being and
Nothingness.[10] Baginya, di dunia ini tidak ada grand design yang
mutlak, manusialah yang bisa mengatur dirinya sendiri dengan eksistensinya.[4] Eksistensi manusia mendahului esensinya; manusia ada
dan kemudian menentukan "siapa dirinya".[4] Dia menyangkal Descartes tentang Aku berpikir,
maka aku ada, yang benar adalah Aku ada lalu aku berpikir.[4] Dari sinilah dia meneruskannya dalam teori
eksistensial fenomenologisnya, bahwa segala sesuatu harus dipisahkan dalam dua
bagian; etre en soi / ada dalam dirinya sendiri atau etre-pour soi /
ada untuk dirinya sendiri.[10] Segala sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri
berarti tidak pasif, tidak aktif, tidak
afirmatif juga tidak negatif, ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa dapat
dirutunkan dari sesuatu lain, tidak berkembang.[10] Sedangkan ada untuk dirinya sendiri adalah
sebuah kesadaran], dan ini khas manusia.[10] Dari pemisahan inilah, dia melabel Tuhan orang
Kristen yang tidak berubah itu masuk dalam golongan ada dalam dirinya
sendiri, maka dari itu dia tidak lebih besar dari manusia yang memiliki
kesadaran untuk memilih esensinya sendiri.[10] Di sinilah penyangkalan Tuhan itu terjadi, dia
tidak mengakui Tuhan lebih tinggi dari manusia, maka Tuhan tidak diperlukan
lagi.[10] Karena Tuhan tidak lagi ada, maka manusia menjadi bebas dan bisa menentukan kondisi bangsanya.[10] Di sinilah nilai positif Sartre yang kemudian
menghabiskan seluruh kegiatan hidupnya untuk kebaikan manusia (gerakan sosial).[10] Bahkan dia pernah memenangi nobel
perdamaian karena pengabdiannya terhadap kemanusiaan, namun ditolaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar