Kamis, 12 Januari 2017

Cinta dan Filsafat



Cinta dan Filsafat

Apakah binatang memiliki cinta? Mungkin kita bisa melihat induk binatang yang menyusui dan merawat anaknya sebagai sebentuk cinta yang natural. Tapi benarkah itu adalah bentuk cinta? Apakah yang membentuk sebuah cinta: insting atau akal budinya? Kalau ada sepasang merpati yang sulit dan begitu sulit dipisahkan, apakah hal ini bisa dikatakan sebagai sepasang kekasih dengan cinta sejati? Merujuk pada pemikiran Aristoteles bahwa binatang disebut binatang karena adanya jiwa instingtif di dalamnya (jiwa sebagai pembentuk kehidupan. Pada tumbuhan disebut jiwa vegeter dan pada manusia jiwa rasional). Jadi, apa yang kita lihat sebagai fenomena cinta pada binatang sebenarnya bersifat instingtif dan non rasional. Menarik bahwa dalam pemikiran eksistensialisme, cinta dilihat sebagai sesuatu yang sangat positif, luhur, dan kuat namun sekaligus ada yang melihat dengan sangat skeptis.
Menurut Scheler ada tiga macam kegiatan manusia yang memberi ciri khas kemanusiaannya sebagai pribadi. Ketiga hal tersebut adalah:
a.                  Refleksi yaitu kegiatan membuat dirinya sebagai obyek pemikiran. Inilah yang menyebabkan manusia mengenali dirinya sebagai manusia, mempelajari bukan hanya tubuhnya sendiri tapi juga jiwanya. Ini khas pada manusia karena binatang hampir tidak bisa mengenali dirinya.
b.         Abstraksi atau ideasi, menangkap hakekat dari keberadaan di luar dirinya (eksistensi). Dengan pikirannya, manusia bisa mengenali yang berbeda dengan dirinya, mempelajarinya dan menguasainya. Ia bisa mengenal atau setidaknya merefleksikan adanya Tuhan, misalnya.
c.           Cinta. Cinta merupakan kegiatan paling penting sebagai pribadi. Cinta dan benci adalah tindakan primordial manusia yag mendasari tindakan lain. Pribadi seseorang dapat diukur dari cintanya. Cinta merupakan bagian pribadi manusia yang diarahkan kepada nilai absolut.
Cinta ini megarahkan pribadi melampaui keterbatasannya (unsur transendensi). Yang diperlukan adalah penyerahan diri, kesetiaan pada institusi dengan melepaskan segala a priori. Bukan kenginan untuk menguasai. Perlu kerendahan hati dan penguasaan diri.
Pemikiran tentang cinta sangat kuat dalam eksistensialismenya Gabriel Marcel. Menurutnya, cintalah yang memanggil manusia untuk mengadakan hubungan eksistensial. Cinta bukanlah perasaan emotif tapi menjadi inti kehidupan yang berproses dalam hubungan manusia. Dia merumuskan empat tahapan cinta sebagai berikut          :
1.                  Kerelaan (disponibilite): sebuah sikap kesediaan untuk terbuka, membiarkan agar orang lain masuk dalam hubungan denganku. Sifat semacam ini berlawanan dengan sikap kepemilikan yang menutup diri, mencari untung bagi diri sendiri dan menganggap yang lain sebagai objek.
2.                  Penerimaan (receptivite), sikap inisiatip, memulai aktivitas dalam hubungan dengan mempersilahkan yang lain memasuki duniaku, atau mendengarkan yang lain; menyediakan tempat dalam diriku untuk yang lain.
3.                  Keterlibatan (engagement) sikap yang lebih dalam lagi karena aku ikut ambil bagian yang lain dalam hubungan itu, memberikan perhatian khusus terhadap perencanaan-perencanaannya dan menanggapi secara positif sehingga kami dapat seiring sejalan.
4.              Kesetiaan (fidelite) merupakan sikap total dalam hubungan cinta. Kesetiaan bukanlah ikut-ikutan tanpa pendirian, melainkan kesediaan untuk terlibat dengan segala resiko yang ada. Setia bukanlah menjalankan yang rutin tapi membiarkan dirinya menjadi taruhan.
Dalam pemikiran itu, cinta menjadi sentral dalam sebuah relasi sehingga aku dan engkau menjadi satu komunio, aku dan kau menjadi berpadu hati sebagai kami. Cinta adalah sesuatu (entitas) yang transenden melampaui keakuan dan keengkauan. Dengan cinta manusia keluar dari dirinya dan memeluk yang transenden, yang terlampaui olehnya. Yang menarik dari pemikiran Gabriel Marchel adalah bahwa cinta dalam hubungan intersubjektif juga menunjukkan suatu kreativitas. Creatio, menjadikan sesuatu ada dari yang semula tidak ada. Cinta berdaya kreatif. Dalam hal inipun kemudian terbedakan dalam beberapa taraf. Yang paling sederhana kreativitas cinta dapat terlihat dalam karya-karya manusia. Seniman yang mencintai seninya menghasilkan karya seni, petani yang mencintai pekerjaannya menghasilkan panenan, dll. Kreativitas juga bisa menyangkut hubungan antar manusia. Misalnya mengangkat presiden, presiden mengangkat menteri, dll. Ini rakyat secara kreatif berkat daya cintanya menciptakan presiden dan menteri adalah ciptaan presiden. Kreativitas ini berkaitan dengan penciptaan kondisi, membuat keadaan yang baru yang berlaku pada orang itu dan mempengaruhi ‘ada’nya.
Maka, kreativitas semacam itu mengarah pada kreativitas yang sama sekali baru dengan menciptakan adanya kebebasan. Berkat cinta seseorang justru merasa bebas, mampu bergerak dan merealisasikan dirinya karena dia diterima, didukung, dan dipahami. Kreativitas cinta menumbuhkan kreativitas subjek yang dicintainya. Secara sangat berbeda, dalam pandangan eksistensialisme juga, sartre melihat cinta bukanlah suatu peleburan subjek justru sebagai bentuk objektifikasi tubuh. Jadi, kalau dalam dua pemikiran di atas manusia dilihat dalam mencintai yang melampaui kebertubuhannya, Sartre justru menunjukkan cinta secara dangkal ketika masing-masing hanya dilihat sebagai objek yang bertubuh. Menurut Sartre, cinta merupakan bentuk lain pengobjekkan terhadap orang lain maupun diri sendiri secara “pasrah” (dalam bahasa Gramsci: hagemoni).
Ia mendaulat cinta sebagai tanda “kegagalan” seseorang untuk mempertahankan dirinya sebagai “subyek”. Pada perkembangannya, cinta akan menstranformasi dirinya sebagai entitas yang penuh dengan motif “memiliki”. Hal tersebut tampak melalui berbagai harapan yang dimiliki seorang pecinta atas kekasihnya dan demikian pula sebaliknya. Dengan misal lain, seseorang akan berharap dirinya untuk terus dicintai dan begitu pula pada pasangannya dengan harapan serupa, sehingga yang terjadi kemudian adalah pengekangan atas kebebasan, orang yang saling mencintai pada hakekatnya “terpenjara”, hanya saja penjara tersebut sedemikian halusnya hingga tak kasat mata.
Dalam ranah yang lebih filosofis, Sartre menjelaskan bahwa orang yang mencintai pada hakekatnya hendak memiliki dunia orang yang dicintai, mengobjekkan berikut meminta menyerahkan dunia serta dirinya secara “bulat-bulat”. Menurut Sartre, kondisi demikian dapat diandaikan sebagai, “terjebak pada dunia orang lain”, atau “berada bagi orang lain”, dan hal tersebut merupakan sesuatu yang nausea ‘memuakkan’ baginya. Secara konkret, Sartre menjelaskan hal tersebut melalui “hasrat seksual” serta “hubungan seksual” yang lahir kemudian melalui cinta. Menurutnya, hasrat seksual merupakan upaya “mereduksi” orang lain sebagai “tubuh” atau “daging” semata. Namun demikian, pada akhirnya hasrat selalu gagal mengingat yang diubahnya menjadi daging bukanlah orang lain semata, melainkan pula “diri sendiri”. Hal tersebut tampak melalui tenggelamnya seseorang dalam kenikmatan hubungan seks sehingga melupakan motif dan tujuan semula: menguasai pihak lain. Oleh karenanya simpul Sartre, “Hasrat pun gagal untuk memulihkan diri saya yang hilang akibat orang lain”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar