Filsafat Pendidikan Pancasila Dan Implikasinya
Terhadap Pendidikan Nasional
1. Petunjuk khusus
Pada dasarnya pendidikan merupakan upaya manusia untuk
memperbaiki kehidupan manusia, dalam masyarakat dan interelasi kemanusiaan.
Disadari atau tidak, setiap pendidik memiliki seperangkat dasar pemikiran untuk
melaksanakan tugasnya tersebut. Dasar pemikiran tersebut, berkaitan dengan
pandangan hidup, pandangan tentang manusia dan pandangan tentang bagaimana
melaksanakan tugasnya itu. Untuk itulah para pendidik perlu mengkaji landasan
filsafi yang membahas persoalan hidup dan tujuan hidup, masalah hakikat manusia
dan pengembangan- nya, masalah nilai baik dan buruk, serta masalah tujuan
pendidikan.
Di Indonesia, Pancasila merupakan falsafah negara dan
pandangan hidup bangsa, dan oleh karena itu seharusnya menjadi bahan kajian dasar
yang seksama, agar mendapatkan gambaran jelas mengenai manusia Indonesia serta
tujuan hidup yang berlaku, yang keduanya merupakan landasan pemikiran bagi
pendidikan di Indonesia.
2. Bahan Acuan
Banyak bahan dan sumber bacaan yang dapat menjadi referensi
dan bahan pengayaan bagi mahasiswa dalam rangka memahami landasan filsafat
pendidikan dan tujuan pendidikan, antara lain:
A. Hakikat
Manusia dan Pendidikan Menurut Pancasila
Amanat dari Pembukaan UUD 1945 menyatakan, “
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial, maka.....” Amanat ini memberikan inspirasi bahwa
Pancasila mengandung nilai-nilai yang luhur dalam menempatkan kepentingan umat
baik melalui peningkatan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ketertiban dunia.
Nilai kesejahteraan, kecerdasan dan ketertiban,
merupakan cita-cita yang perlu dikembangkan melalui proses yang kompleks yang
mempunyai kaitan erat antara satu aspek dengan aspek-aspek kehidupan lainnya.
Pandangan ini memberi makna, bahwa segala permasalahan yang menyangkut aspek
dunia perlu dipecahkan melalui perangkat ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sedangkan aspek kesejahteraan, kecerdasan dan ketertiban yang juga mengandung
makna rohaniah (batiniah) dipecahkan bukan hanya dengan ilmu dan teknologi,
tetapi juga dengan pendekatan filsafiah dan agama. Hal tersebut mengandung
makna, bahwa manusia mempunyai potensi yang luar biasa yang berbeda dengan
jenis makhluk apapun yaitu potensi akal (homo sapien).
Dengan potensi akal inilah alam telah mampu
ditaklukan, kehidupan telah begitu merambah ke berbagai lapangan yang tadinya
dianggap tidak mungkin, sekarang menjadi mungkin. Banyak hasil pemikiran
manusia yang berupa ilmu pengetahuan dan teknologi modern, termasuk ilmu
cybernetic yang menjelajah alam maya pada, sehingga berbagai informasi di
seluruh penjuru dunia bisa dideteksi dan diantisipasi perkembangannya. Semua
kemampuan ini adalah berkat perkembangan akal manusia yang dikembangkan melalui
pendidikan.
Dengan dasar pemikiran tersebut, maka keutamaan
hakikat manusia ditempatkan pada derajat yang paling tinggi oleh pandangan
Pancasila, karena manusia sebagai subyek yang menentukan maju dan mundurnya
kehidupan baik sebagai individu, sebagai anggota masyarakat ataupun sebagai
khalifah di bumi yang harus bertanggung jawab kepada Sang Khalik, Tuhan Yang
Maha Esa. Untuk mencapai derajat manusia yang berkualitas tersebut, pendidikan
adalah wahana yang dapat mengantarkan dan membimbing manusia ke tingkat martabat
manusiawi.
Keutamaan hakikat manusia bisa berkembang apabila
potensi-potensi lain yang ada pada diri manusia juga dikembangkan secara
optimal. Perkembangan pribadi yang optimal hanya mungkin apabila dalam diri
seseorang tidak ada tekanan dan intervensi yang jauh dalam mengendalikan
kehidupannya. Sekaitan dengan itu, Ki Hajar Dewantara (1983; 35-40) menggagas
pendidikan yang berbasis pada lima dasar (Panca Darma) yaitu: Kemerdekaan,
kodarat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Prinsip tersebut
menggambarkan betapa keunggulan manusia dihargai dan dikembangkan sesuai dengan
hak azasi yang ada pada manusia, bukan hanya sebagai slogan yang disebarkan
negara adikuasa agar menjunjung tinggi hak azasi manusia, sementara mereka
mengintervensi negara lain dengan dalih menegakkan demokrasi.
Manusia, menurut pandangan Pancasila adalah sebagai
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, makhluk individual dan sekaligus sosial,
dan dari ketiga potensi tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh sebagai
subtansi manusia Indonesia dari wujud jasmani dan rohaninya. Pancasila
menghargai terhadap nilai-nilai dan hak-hak pribadi (individual), selama
nilai-nilai tadi tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat atau negara.
Pancasila juga tidak mengutamakan nilai-nilai masyarakat atau golongan, apabila
nilai-nilai itu bertentangan dengan nilai-nilai martabat kemanusiaan secara
hakiki maupun secara yuridis. Pancasila lebih mendukung terhadap nilai-nilai
individual yang memberikan kemaslahatan bagi kehidupan bermasyarakat, dan
nilai-nilai kemasyarakatan yang mendukung terhadap perbaikan nilai/mutu
kehidupan para anggotanya dan masyarakat sebagai kesatuan. Dengan demikian,
Pancasila menempatkan manusia dalam keluhuran martabatnya sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa. Manusialah yang menjadi titik tolak usaha kita untuk memahami
manusia itu sendiri, manusia dan masyarakat, serta manusia dengan lingkungan
hidupnya (BP7; 1996, hal. 46)
Pandangan Pancasila terhadap hakekat manusia sebagai
makhluk ciptaan yang paling sempurna dari Tuhan Yang Maha Esa, adalah bahwa
manusia mempunyai potensi yang dibawa sejak lahir, yang perlu dikembangkan
dalam kehidupan melalui proses pendidikan. Potensi ini yang diyakini bahwa
manusia disamping memiliki kekuatan juga ada sisi kelemahannya, di samping ada
kebaikan ada juga sisi kurang baiknya. Oleh karena itu, Pancasila bertolak dari
nilai-nilai kemanusiaan, yaitu menempatkan manusia dalam keluhuran harkat dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Manusialah yang menjadi titik
tolak usaha kita untuk memahami manusia itu sendiri, manusia dan martabatnya,
serta manusia dengan lingkungan hidupnya. Implikasi dari pernyataan tersebut
adalah bahwa seluruh upaya dalam rangka membangun manusia Indonesia harus
bertolak dan bermuara pada hakikat manusianya, terlebih dalam upaya pendidikan
yang tidak mungkin melepaskan permasalahan manusia.
Manusia Indonesia dalam pandangan Pancasila tidak
diartikan sebagai makhluk individual yang menyendiri, terasing dan terlepas
dari yang lainnya, tetapi sebagai makhluk yang hidup “sesama manusia” dan
bersama manusia lainnya. Pemikiran ini juga pernah dikemukan oleh M. Heidegger
yang dikutip oleh MI.Soelaeman (1984, hal. 101) yaitu bahwa “menjadi manusia
adalah menjadi sesama manusia”. Maksudnya ialah bahwa setiap kita memikirkan
dan menentukan manusia, kita selalu menjumpainya bersama manusia lain, bersama
sesama manusia, sehingga menurut pandangan ini bahwa manusia tidak terbayangkan
jika tanpa lingkungan manusia dan pendidikan. Hal ini mengandung makna, bahwa
manusia yang hidup dengan manusia lain tidak selalu meningkatkan harkat dan
martabat kemanusiawiannya, apabila tanpa dibarengi dengan pendidikan.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa keutamaan manusia hanya bisa dikembangkan
melalui pendidik-an, baik pendidikan umum maupun pendidikan profesional.
Uraian tersebut memberikan pemahaman kepada kita,
bahwa titik tolak untuk melaksanakan pendidikan adalah memahami terhadap konsep
hakikat manusia dan usaha-usaha pemberian bantuannya dengan kerjasama dalam
mencapai tujuan pendidikan. Demikian pula, Soeprapto, dkk. (1996; 45)
menjelaskan tentang pentingnya pemahaman terhadap hakikat pendidikan, bahwa
Pancasila mengakui manusia sejak lahir sampai meninggal dunia memerlukan
bantuan dan kerjasama dengan orang lain. Manusia sebagai makhluk berperasaan,
memerlukan tanggapan emosional dari orang lain, memerlukan pengertian, kasih
sayang, harga diri, dan pengakuan untuk pergaulan dan kesejahteraan hidup yang
sehat. Makna yang terkandung dalam penjelasan tersebut, adalah bahwa untuk
mengembangkan manusia Indonesia ke derajat yang lebih unggul diperlukan
pendidikan yang berbasis pada pemahaman hakikat manusia yang memiliki
potensi-potensi psikologis, sosiologis, kultural, biologis, dan potensi-potensi
lainnya. Konsep hakikat pendidikan Pancasila, sebagaimana Soeprapto, dkk.
(1996), menyatakan bahwa:
Pancasila menampilkan pandangan bahwa manusia pada
hakikatnya adalah kesatuan pribadi yang memiliki dimensi individual dan
sekaligus sosial. Oleh karena itu, pembentukan kepribadiannya harus terjadi
dengan merealisasikan kedua dimensi itu secara integral dan seimbang.
Pengembangan pribadi hanya terjadi dengan baik sejauh dilakukan dalam konteks
kemasyarakatannya, sedangkan masyarakat hanya akan bermakna dan meningkat
kualitasnya sejauh mampu mendukung proses pendewasaan pribadi-pribadi
warganya.
Konsep tersebut, secara tegas memandang manusia
sebagai kesatuan yang utuh antara berbagai aspek yang ada pada diri manusia,
baik antara dimensi individual dan sosial, maupun antara dimensi keragawian dan
kejiwaan serta keruhanian.
Apabila manusia itu dipandang dari aspek fisiknya
belaka, maka manusia hanya dianggap sebagai mesin belaka, sehingga
menggerakkkan dan menghidupkan manusia tidak ada ubahnya dengan menggerakkan
dan menghidupkan mesin. Maka gerak dan hidup manusia akan tunduk pada hukum
yang sifatnya mekanistik, seperti mesin, yang penting mesin itu dapat
berfungsi, sedangkan yang merupakan tujuan dari segala gerak berada di luar
jangkauan mesin. Dengan perkataan lain, dari manusia yang hidup dan bergerak
seperti mesin itu tidak dapat diharapkan bahwa ia dapat bersifat aktif dan
kreatif serta bertanggung jawab, tidak dapat dari padanya “menumbuhkan
manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya serta bersama-sama bertanggungjawab
atas pembangunan bangsa”.
Apabila pandangan yang menganggap bahwa manusia hidup
secara mekanistis dapat dikendalikan segalanya oleh kekuatan atau otoritas,
apakah manusia yang demikian dapat dipertinggi budi pekertinya dan diperkuat
kepribadiannya ? Oleh karena itu, Pancasila mengakui hakikat manusia tidak
dilihat dari aspek raganya belaka, namun raga/badan manusia yang hidup mencakup
aspek jiwani, merupakan realisasi kejiwaan. Hal ini dapat kita lihat bagaimana
orang gembira, akan memancarkan sinar di wajah yang berseri-seri atau
meneteskan air mata karena bahagia, atau tertawa gembira atau dengan sujud
syukur yang tercermin dari gerak dan laku badan.
Dengan demikian, pandangan Pancasila terhadap hakikat
manusia yang didasarkan pada keyakinan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan sesuai dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, membuka perspektif yang jauh
terhadap pandangan tentang hakikat manusia (antropologis) serta memiliki
dampaknya terhadap pengertian serta pelaksanaan pendidikan. Permasalahannya
adalah belum semua guru memahami bagaimana bertindak pedagogis yang sesuai
dengan pandangan bahwa hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan.
Pemahaman terhadap hakikat manusia sebagai makhluk
Tuhan, mengimplikasikan pandangan bahwa manusia memiliki kekuatan dan potensi
yang jika dididik dengan benar, maka ia akan memiliki ruh ilahiah yang
mempunyai kecenderungan selalu ingin berbuat baik dan benar. Tetapi disisi
lain, manusia memiliki raga yang selalu berkorespondensi dengan dunia empirik yang
memiliki kecenderungan bertindak faktual, operasional, dan pragmatik. Terlebih
manusia memiliki dorongan-dorongan emosional, dan instinktif, yang memungkinkan
manusia cenderung ingin memuaskan hawa nafsunya. Dorongan-dorongan ini perlu
diarahkan ke perbuatan-perbuatan yang lebih rasional, positif, dan etis. Upaya
ini merupakan perbuatan pendidikan yang pada satu sisi membimbing ke jalan
tujuan hidup setelah kehidupan di dunia, dan mengarahkan dan melatih
dorongan-dorongan untuk menjadi kegiatan-kegiatan yang rasional, positif dan
berdaya guna bagi kehidupannya.
Rumusan hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan, tidak
sekedar menjadi rumusan yang tanpa arti apapun, sehingga kurikulum tidak mampu
membunyikan apa tujuan yang ingin dicapai setelah anak menyelesaikan pendidikan
formalnya. Oleh karena itu, diperlukan rumusan yang tegas tentang hakikat
manusia menurut Pancasila dengan penjabarannya secara rinci, untuk dapat
disusun rumusan tujuan pendidikan yang akan dicapai. Hasil rumusan ini akan
memberikan penafsiran tentang konsepsi pendidikan yang berbasis pada landasan
filsafat Pancasila.
Pendidikan, dikonsepsikan sebagai usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
(UURI, No. 20/2003, Pasal 1 ayat 1, hal, 2). Selanjutnya, pada Pasal 1 ayat 2
(UURI, No. 20/2003), dinyatakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia,
dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Selaras dengan pandangan manusia sebagai makhluk
Tuhan, maka dalam menggali nilai-nilai yang melandasi pendidikan itu hendaknya
diperhatikan pula nilai-nilai yang bersumber pada Tuhan. Namun demikian,
sebagai manusia yang hidup di dunia yang riil sekarang ini, dalam mengabdikan
diri kepada Tuhan itu, hendaknya tidak mengabaikan kehidupan dan permasalahan
hidup di dunia. Antara kehidupan di dunia dengan kehidupan di akhirat hendaknya
terdapat keseimbangan, keseimbangan antara kebutuhan material dan spiritual,
individual dan sosial, dan keseimbangan kebutuhan jasmani dan rohani.
Untuk mampu berbuat yang selaras dengan nilai-nilai
keseimbangan, baik yang didasarkan pada nilai keagamaan, maupun nilai-nilai
yang ada dalam kehidupan sosial/masyarakat dan negara, diperlukan suatu proses
pendidikan yang panjang yang dimulai dari kehidupan keluarga, sekolah dan
masyarakat. Pendidikan yang demikian tidak membatasi hanya pada pendidikan
sekolah, tetapi pendidikan di semua jenjang, jenis dan jalur, yang
mengimplementasikan prinsip pendidikan sepanjang hayat, dan hakikat pendidikan
sepanjang hayat adalah pendidikan umum. Dengan demikian, pendidikan umum adalah
pendidikan yang berorientasi pada terbentuknya kepribadian manusia secara utuh,
yang di dalam prosesnya terjadi internalisasi nilai-nilai, baik nilai
ketuhanan, nilai kemasyarakatan/kesosialan, nilai kemanusiaan, nilai hak dan
kewajiban, nilai keadilan dan kebenaran, nilai kejujuran dan kedisiplinan dan
nilai-nilai lain yang berbasis pada etika dan estetika pergaulan.
Prinsip pendidikan sepanjang hayat, merupakan teori
pendidikan yang penting dan perlu diimplementasikan pada perencanaan dan
pelaksanaan pendidikan di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan, sehingga
pendidikan mempunyai makna kehidupan yang dimulai dari sejak usia dini sampai
ke liang lahat. Prinsip ini walaupun bukan dilahirkan oleh Pancasila, namun
nilai-nilai yang ada dalam sila-sila Pancasila telah mendasari dan memayungi
prinsip pendidikan sepanjang hayat.
Menurut Waini Rasyidin (1982, hal 149-157) pendidikan
sepanjang hayat adalah “sebuah konsep yang menerangkan tentang bagaimana
seharusnya pendidikan dalam kehidupan kita ini diselenggarakan”. Konsep ini
adalah konsep pendidikan semesta, dimana melihat pendidikan sebagai sebuah
keseluruhan yang terpadu dari semua kegiatan pendidikan atau pengalaman belajar
yang terdapat dalam kehidupan manusia.
Apabila prinsip pendidikan sepanjang hayat ini
difahami sebagai prinsip pengembangan pada manusia, maka ada tiga ciri konsep
pendidikan sepanjang hayat, yaitu:
- Keterpaduan vertikal, yaitu bahwa pendidikan berlangsung pada seluruh tahap perkembangan seseorang, sejak lahir sampai mati. Hal ini berarti bahwa kegiatan pendidikan dan belajar harus berlangsung dalam semua tahap perkembangan hidup seseorang sejak lahir sampai mati. Setiap tahap perkembangan hidup berlangsung kegiatan belajar yang tertuju kepada pencapaian pertumbuhan optimal dan penyempurnaan hidup dalam setiap tahap tersebut, dan persiapan belajar untuk tahap berikutnya, sehingga akhirnya tercapai tingkat hidup pribadi, sosial, dan profesional yang optimal. Dengan demikian, perlu kesinambunagn antara kegiatan belajar pada satu tahap dengan tahap berikutnya. Keterpaduan vertikal, mempunyai makna bahwa pendidikan tidaklah berakhir setelah pendidikan sekolah selesai, tetapi ada pendidikan pengembangan diri sampai seseorang menemui ajalnya.
- Keterpaduan horizontal, yaitu bahwa pendidikan mencakup pengembangan semua aspek kehidupan dan kepribadian seseorang. Hal ini berarti bahwa pendidikan yang berlangsung pada setiap tahap perkembangan hidup seseorang, harus mampu mengembangkan secara terpadu aspek-aspek fisik, intelektual, afektif, dan spiritual, yang pada akhirnya tercapai perkembangan kepribadian yang lengkap. Makna lain dari perpaduan horizontal adalah bahwa pendidikan seumur hidup mencakup pendidikan umum dan pendidikan profesional.
- Keterpaduan ekologis, yaitu prinsip bahwa pendidikan berlangsung dalam lingkungan kehidupan manusia. Hal ini mengandung makna bahwa pendidikan tidaklah terbatas pada pengalaman belajar di sekolah, tetapi juga terjadi melalui pengalaman belajar yang tidak terencana dan insidental. Pengalaman belajar di keluarga tidak terpisahkan dari pendidikan sekolah dan masyarakat sepanjang hayat.
- Keragaman dan kelugasan dalam pendidikan, adalah konsep yang menuntut adanya keragaman dan kelugasan program dan kegiatan yang dirancang dalam pendidikan. Pendidikan tidak bersifat satu jalur pengalaman belajar (monolitik), tetapi pengalaman belajar yang diselaraskan kepada kesempatan dan minat seseorang. Program dan kegiatan pendidikan hendaknya memberi peluang pada seseorang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang berbeda-beda, sehingga kegiatan belajar mengarah kepada belajar sendiri dan pembinaan diri sendiri.
Dengan demikian, konsep pendidikan
sepanjang hayat menghendaki agar masyarakat dan dunia modern lebih menekankan
pada fungsi pendidikan yang bersifat inovatif dari pada adaptif. Demikian pula
pendidikan bukan merupakan hak prerogratif dari sekelompok orang tertentu.
Kesamaan kesempatan pendidikan untuk semua orang dalam setiap tahap hidupnya
hendaknya diberikan, sehingga mengarah pada proses demokratisasi dalam
pendidikan, di mana setiap orang dapat mewujudkan hak asasinya, yaitu
mengembangkan seluruh potensinya secara optimal.
B. Pancasila
dan Aplikasinya dalam Pendidikan
a. Tujuan
Pendidikan.
Tujuan Pendidikan yang dirumuskan dalam Undang-Undang
No. 20/ 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan penjabaran dari
landasan ideal dan konstitusional, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Nilai-nilai
dari Pancasila sebagai hasil pemikiran kritis, komprehensif dan kontemplatif,
serta pengalaman sejarah yang penting, mempunyai nilai yang tidak hanya
bersifat universal dari masing-masing silanya, tetapi juga mempunyai makna
integral yang lebih dalam bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung
dari Pancasila, secara integral memberi makna, arah dan tujuan pendidikan bangsa
Indonesia yang isinya mencakup; ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan
dan keadilan sosial. Secara keseluruhan, tujuan pendidikan ingin mencapai taraf
kualitas manusia seutuhnya. Maksud manusia seutuhnya, memiliki cakupan kualitas
material dan spiritual, jasmani, mental, sosial dan rohani, yang dikembangkan
secara selaras, serasi dan seimbang. Tujuan pendidikan yang dijabarkan dari
Pancasila dan UUD 1945, dirumuskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional No.20/2003, pada Bab II pasal 2, yang berbunyi sebagai berikut :
Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Tujuan pendidikan tersebut secara essensial
dimanifestasikan dalam segala bentuk tujuan pendidikan, baik tujuan pendidikan
institusional (kelembagaan), tujuan pendidikan kurikuler (kurikulum untuk
jenjang dan jenis pendidikan) dan tujuan pendidikan pembelajaran (instruksional
di sekolah/di kelas). Tujuan pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan
kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia
dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional.
Tujuan Pendidikan institusional berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan dan keterampilan peserta didik, sesuai dengan jenis
pendidikan yang dialaminya. Jenis pendidikan ada tiga jalur, yaitu jalur
pendidikan informal, jalur nonformal dan jalur pendidikan sekolah. Jalur
pendidikan sekolah mempunyai jenis-jenis pendidikan: umum, kejuruan, luar
biasa, kedinasan., keagamaan, akademik, dan pendidikan professional. Jalur
Pendidikan nonformal, mempunyai jenis-jenis pendidikan; Kursus, pendidikan
masyarakat, pendidikan politik, pendidikan keorganisasian, dan lain-lain.
Tujuan pendidikan kurikuler mempunyai fungsi
mengembangkan kemampuan akademik dan keterampilan professional/vokasional dari
jenjang dan jenis pendidikan yang ditempuhnya. Rumusan lain dari tujuan
pendidikan kurikuler adalah tujuan yang ingin dicapai oleh peserta didik
melalui penguasaan baik secara akademik maupun profesional dari satuan
kurikulum yang dibebankan.
Tujuan instruksional (tujuan pembelajaran) adalah
tujuan yang akan dicapai setelah kegiatan belajar mengajar selesai. Tujuan ini
erat kaitannya dengan proses perubahan tingkah laku, khususnya perubahan
kognitif yang secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan tujuan
pembelajaran yang direncanakan (instructional effect) maupun perubahan tingkah
laku peserta didik sebagai akibat tidak langsung dari pembelajaran yang
direncanakan (nurturance effect).
Dengan demikian, hakikat pendidikan menurut konsep
filsafat pendidikan Pancasila adalah proses pengembangan potensi kemanusiaan
untuk meningkatkan derajat martabat manusia ke arah yang lebih tinggi. Adapun
potensi-potensi kemanusiaan mencakup potensi biologis, fisis, psikologis,
sosiologis, antropologis, dan teologis. Potensi-potensi tersebut dikembangkan
melalui pendidikan, sehingga potensi-potensi tersebut berkembang ke arah
kehidupan manusia yang bermartabat.
b. Peranan
Pendidik dan Peserta Didik.
1) Peranan
Pendidik.
Peranan
pendidik berkaitan erat dengan bentuk/pola tingkah laku guru (pendidik) yang
diharapkan dapat dilakukan oleh guru/pendidik.
Ada tiga pola
tingkah laku guru yang diharapkan yaitu:
- Ing ngarso sung tulada
- Ing madya mangun karsa
- Tut wuri handayani.
Ing ngarso
sung tulada mempunyai makna tidak sekedar bahwa guru harus memberi contoh
apabila ada di depan, tetapi lebih dalam dari pengertian tersebut, adalah
sebagai pemimpin, yaitu mampu menjadi suri tauladan, patut digugu dan ditiru,
memiliki kemampuan dan kepribadian yang utuh dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan. Seorang pendidik/guru mampu mengambil keputusan yang adil dan
dirasakan keadilannya oleh semua pihak, mampu memberi kepercayaan yang
melahirkan kewibawaan pendidik, mampu memahami perbedaan individual anak,
sehingga dapat melahirkan kasih sayang dan hubungan interpersonal yang kukuh
antara pendidik dan anak didik. Ing madya mangun karsa, mempunyai arti bila
guru ada di antara atau bersama-sama siswa ia hendaknya berpartisipasi aktif
secara konstruktif. Mangun karsa tidak hanya berarti membangun kehendak, tetapi
guru lebih berperan sebagai mitra kerja dalam mencapai tujuan. Guru mampu
menempatkan diri sebagai anggota grup belajar, dan ia mungkin dapat lebih
banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencipta dan mengembangkan
sendiri hasil studinya.
Tut wuri
handayani, mempunyai arti dari belakang guru berperan sebagai tenaga pendorong
yang memberi kekuatan kepada siswa dalam mecapai tujuan. Guru bukan hanya
sebagai motivator, tetapi juga sebagai fasilitator, supervisor, dan moderator.
Sebagai motivator, guru/pendidik memberikan dorongan yang memungkinkan anak
tambah semangat dan senang dalam belajar. Sebagai fasilitator, guru/pendidik
berperan sebagai orang yang menyediakan kemudahan atau memfasilitasi terjadinya
aktivitas belajar, dan menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif terhadap
anak dalam kegiatan belajar. Sebagai moderator, guru/pendidik berperan sebagai
pengatur lalu lintas yang memudahkan anak belajar, anak tahu arah kemana tujuan
yang akan dicapai.
2) Peranan
peserta didik
Mengacu pada
prinsip-prinsip di atas, menunjukkan bahwa pendidikan nasional lebih berorientasi
pada pengembangan potensi anak yang berbasis pada nilai-nilai hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Demikian pula,
pendidikan nasional diselenggarakan dalam rangka proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Dengan demikian,
peranan peserta didik baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat
dalam kegiatan pendidikan, adalah sebagai seorang pelajar yang secara bebas
dapat mengembangkan potensinya dan mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan
masyarakat, melalui aktivitasaktivitas program pendidikan di sekolahnya.
Peranan-peranan anak sebagai peserta didik di sekolah
akan mendukung terhadap pencapaian tujuan pendidikan secara efektif, apabila
peranan tersebut diperkenalkan dan diberikan kesempatan kepada anak untuk
melakukan sendiri sebagai proses pendidikan kemandirian, menciptakan
kreativitas, belajar hidup berdemokrasi, dan proses belajar bertanggung jawab.
Masih banyak pendidikan sekolah (khususnya dari pendidikan dasar sampai
menengah) yang belum memberikan peluang yang lebih luas kepada anak untuk
melakukan perananperanannya sebagai seorang yang akan dewasa, dan sebagai calon
anggota masyarakat atau warga negara yang bertanggung jawab. Hal ini hanya mungkin
dilakukan, apabila para pendidik atau guru memahami hakikat upaya pendidikan
yang mereka lakukan dan memahami hakikat manusia yang dihadapinya.
Permasalahan tersebut mengimplikasikan perlunya
pendidikan prajabatan guru yang berorientasi pada pendidikan yang berbasis
kemanusiaan, kebudayaan, dan agama dengan semangat keintelektualan dan
profesionalisme kependidikan.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa landasan filsafat pendidikan Pancasila merupakan azas pendidikan
nasional yang menjadi basis pendidikan tenaga kependidikan. Oleh karena itu,
pemahaman terhadap aspek ontologi, epistemologi, antropologi, dan aksiologi
Pancasila bagi mahasiswa kependidikan merupakan kewajiban yang mempunyai dampak
langsung atau tidak langsung terhadap wawasan teoritik dan praktek pendidikan
di sekolah atau di luar sekolah kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar