Kamis, 12 Januari 2017

HUBUNGAN ETIKA, MORAL, NORMA DAN KESUSILAAN

HUBUNGAN ETIKA, MORAL, NORMA DAN KESUSILAAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah.
Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya, sedangkan moral pada dasarnya adalah petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia. Hasil-hasil kegiatan keilmuan memberikan alternative untuk membuat keputusan politik dengan berkiblat kepada pertimbangan moral.
Ilmuwan juga memikul tanggung jawab profesional, yang meliputi etika, moral, norma, dan kesusilaan. Ilmuwan dalam menyampaikan ilmu atau pengetahuan harus melihat sisi etika cara penyampaiannya. Norma tidak kalah pentingnya karena menyangkut pengetahuan kepada masyarakat harus melihat norma yang ada.
Untuk dari itu pembahasan ini difokuskan hanya membahas etika, moral, norma dan kesusilaan dalam keilmuwan. Komponen yang disebutkan diatas merupakan unsur yang saling berkaitan.
B.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk memahami etika, moral, norma dan kesusilaan dalam keilmuan di filsafat ilmu.
2.      Untuk menambah wawasan pengetahuan di dalam filsafat ilmu.
C.    Rumusan Masalah.
1.      Bagaimana pengertian etika, moral, norma, dan kesusilaan dalam filsafat ilmu.
2.      Bagaimana hubungan antara etika, moral, norma dan kesusilaan dalam etika keilmuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Etika
Secara bahasa etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti adat istiadat ( kebiasaan ), kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Secara terminologi etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik buruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaitu yang meyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata dan sebagainya. Adapun motif, watak, suara hati sulit untuk dinilai. Perbuatan atau tingkah laku yang dikerjakan dengan kesadaran sajalah yang dapat dinilai, sedangkan yang dikerjakan dengan tidak sadar tidak dapat dinilai baik buruk.
Menurut Sunoto (1982) etika dapat dibagi menjadi etika deskritif dan etika normatif. Etika deskritif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak memberikan penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Contohnya sejarah etika. Adapun etika normatif sudah memberikan penilaian yang baik dan yang buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak.
Etika normatif dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum membicarakan prinsip-prinsip umum, seperti apakah nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan sebagainya. Etika khusus adalah pelaksanaan prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam pekerjaan dan sebagainya. (Sunoto, 1982, hlm. 6)
1.      Etika Deskritif
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya. Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.
2.      Etika Normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika Normatif merupakan normanorma yang dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat.
Dari berbagai pembahasan definisi tentang etika tersebut di atas dapat diklasifikasikan menjadi tiga (3) jenis definisi, yaitu sebagai berikut:
a.       Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia.
b.      Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologik.
c.       Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup informasi, menganjurkan dan merefleksikan. Definisi etika ini lebih bersifat informatif, direktif dan reflektif.
B.     Moral
            Dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Dari segi istilah, moral adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.
Moral dan etika sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan moralitas dipakai untuk perbuatanyang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.
Frans Magnis Suseno (1987) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran, wejangan, khutbah, peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah berbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melaikan ajaran moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.
C.    Norma
Norma berasal dari bahasa latin yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat perkakas yang digunakan oleh tukang kayu. Dari sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan.
Jadi secara terminologi kiat dapat mengambil kesimpulan menjadi dua macam. Pertama, norma menunjuk suatu teknik. Kedua, norma menunjukan suatu keharusan. Kedua makna tersebut lebih kepada yang bersifat normatif. Sedangkan norma norma yang kita perlukan adalah norma yang bersifat prakatis, dimana norma yang dapat diterapkan pada perbuatan-perbuatan konkret
Dengan tidak adanya norma maka kiranya kehidupan manusia akan manjadi brutal. Pernyataan tersebut dilatar belakangi oleh keinginan manusia yang tidak ingin tingkah laku manusia bersifat senonoh. Maka dengan itu dibutuhkan sebuah norma yang lebih bersifat praktis. Memang secara bahasa norma agak bersifat normatif akan tetapi itu tidak menuntup kemungkinan pelaksanaannya harus bersifat praktis
Berikut ini adalah macam-macam norma:
a.       Norma agama, yaitu peraturan hidup yang diterima sebagai perintah, larangan, dan anjuran yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Para pemeluk agama mengakui dan mempunyai keyakinan bahwa peraturan-peraturan hidup berasal dari Tuhan dan merupakan tuntutan hidup ke arah jalan yang benar, oleh sebab itu harus ditaati oleh para pemeluknya. Pelanggaran terhadap norma agama akan mendapatkan hukuman di akhirat nanti.
b.      Norma hukum, yaitu peraturan yang dibuat oleh negara dengan hukuman tegas dan memaksa sehingga berfungsi mengatur ketertiban dalam masyarakat. Norma hukum digunakan sebagai pedoman hidup yang dibuat oleh badan berwenang untuk mengatur manusia dalam berbangsa dan bernegara. Hukuman yang dikenakan bagi pelanggarnya telah ditetapkan dengan kadar hukuman berdasarkan jenis pelanggaran yang telah dilakukan.
c.       Norma kesopanan, yaitu peraturan hidup yang timbul dari pergaulan manusia. Peraturan itu ditaati dan diikuti sebagai pedoman tingkah laku manusia terhadap manusia lain di sekitarnya. Hukuman terhadap norma kesopanan berasal dari masyarakat yaitu berupa celaan, makian, cemoohan, atau diasingkan dari pergaulan di masyarakat tersebut.
d.      Norma kesusilaan, yaitu peraturan hidup yang datang dari hati sanubari manusia. Peraturan tersebut berupa suara batin yang diakui dan diinsyafi oleh setiap orang sebagai pedoman sikap dan perbuatan. Hukuman bagi pelanggaran terhadap norma kesusilaan berupa penyesalan diri dan rasa bersalah.
D.    Kesusilaan.
Leibniz seorang filsuf pada zaman modern berpendapat bahwa kesusilaan adalah hasil suatu “menjadi” yang terjadi di dalam jiwa. Yang dinamakan kesusilaan ialah keseluruhan aturan, kaidah atau hukum yang mengambil bentuk amar dan larangan. Baik hukum sepuluh amar, maupun kitab hukum Hammurabi, serangkaian ajaran kesusilaan yang berasal dari Jaman Kuno, ajaran moral yang diberikan kepada anak, senantiasa mengatakan berbuatlah begini atau seharsnyalah berbuat begini atau hendalkah berbuat begini dan tidak berbuat begitu atau singkirkanlah hal itu. Dengan kata lain kesusilaan menanamkan wajib dan darma. Secara demikian kesusilaan mengatur perilaku manusia serta masyarakat, yang di dalamnya manusia tersebut ada. Behubung dengan itu manusia tidak boleh semaunya sendiri berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Perilakunya diatur atau ditentukan oleh norma kesusilaan.
Dapat juga dikatakan bahwa manusia dibentuk oleh kesusilaan. Ini berarti bahwa kehidupan alaminya, seperti nafsunya, kecenderungan, cita-cita, dan sebagainya, seolah-olah disalurkan atau tertuang ke dalam bentuk tertentu. Demikianlah, umpananya, perwujudan seksualitas, suatu keadaan alami, mendapatkan pembatasan, disalurkan atau dibentuk oleh aturan-aturan yang mengatakan bahwa bagaimana seharusnya seorang laki-laki dan perempuan yang sudah masak ditinjau dari segi seksual berperilaku terhadap seseorang dari lawan jenisnya, syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi yang membolehkan wanita dan pria bergaul dan sebagainya. Aturan-aturan ini secara keseluruhan dinamakan moral seksual.
Kumpulan aturan semacam ini berlaku juga dalam bidang-bidang kehidupan yang lain. Dengan demikian aturan-aturan tersebur sudah mengandaikan suatu kehidupan alami atau katakanlah kehidupan hewani, namun menetapkan syarat-syarat tertentu bagi perwujudannya. Manakala seseorang memenuhi syarat-syarat kesusilaan itu, maka perilakunya dan dia sendiri disebut baik (dari segi kesusilaan), dalam hal yang sebaliknya dikatakan buruk (dari segi kesusilaan).
Norma-norma kesusilaan kadang- kadang bersifat tertulis dan kadang- kadang tidak. Di atas telah diberikan contoh mengenai ketentuan-ketentuan moral yang dikodifikasikan dan yang tidak dikodifikasikan. Sistem-sistem kesusilaan yang berasal dari para pendiri agama yang besar atau para pembentuk hokum kesusilaan yang besar, biasanya bersifat tertulis. Lazimnya yang demikian itu bersangkutan dengan hal-hal pokok belaka, meskipun dapat saja terjadi bahwa kitab-kitab hukum keagamaan bersifat agak panjang lebar.
Norma-norma yang lebih terjabar misalnya tidak ditetapkan secara tertulis kecuali kadang-kadang dalam buku-buku pegangan mengenai moral. Bahkan karya tulis yang paling panjang lebar sekalipun tidak akan dapat memberikan segenap peraturan khusus. Dalam bidang kesusilaan banyak yang tetap dihayati di dalam keinsyafan kesusilaan manusai-manusia yang bersangkutan. Jelaslah kiranya tidak ada moral tunggal yang diterima oleh segenap manusia, melainkan terdapat banyak moral yang berbeda-beda menurut waktu, tempat dan keadaan
BAB III
KESIMPULAN
Etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik buruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaitu yang meyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata dan sebagainya.
Dengan tidak adanya norma maka kiranya kehidupan manusia akan manjadi brutal. Pernyataan tersebut dilatar belakangi oleh keinginan manusia yang tidak ingin tingkah laku manusia bersifat senonoh.
Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melaikan ajaran moral.
Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang praxis (tindakan) manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak.
Sistem-sistem kesusilaan yang berasal dari para pendiri agama yang besar atau para pembentuk hokum kesusilaan yang besar, biasanya bersifat tertulis. Lazimnya yang demikian itu bersangkutan dengan hal-hal pokok belaka, meskipun dapat saja terjadi bahwa kitab-kitab hukum keagamaan bersifat agak panjang lebar.

1 komentar: