FILSAFAT FENOMENOLOGI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Ilmu filsafat adalah ilmu yang
menjadi induk segala pengetahuan. Filsafat merupakan sebuah sistem yang
komprehensif dari ide-ide mengenai keadaan yang murni dan realitas yang terjadi
dalam hidup. Filsafat juga dapat dijadikan paduan dalam kehidupan karena
hal-hal yang berada di dalam lingkupnya selalu menyangkut sesuatu yang mendasar
dan membutuhkan penghayatan. Filsafat digunakan untuk menentukan jalan yang
akan diambil seseorang dalam kehidupannya. Filsafat juga memberi petunjuk
mengenai tata cara pergaulan antara sesama. Tak lepas dari semua ini, pada
dasarnya filsafat adalah bersumber dari pertumbuhannya pola pikir manusia.
Semua yang ada, atau yang telah ada bisa diperhatikan dan dipikirkan
secara rasional. Karena berpikir adalah aktifitas individu dan manusia
mempunyai kemerdekaan untuk berpikir. Berpikir secara mendalam untuk
menghasilkan suatu ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggung jawabkan
keabsahannya. Dengan demikian dapat dikata bahwa berfilsafat adalah mendalami
sesuatu secara mendalam berdasarkan penalaran yang dimiliki seseorang. Dan
akhirnya bisa melahirkan aliran fenomenologi yang akan dipaparkan dalam makalah
ini. Perlu kita ketahui sekilas bahwa Ilmu fenomenologi dalam filsafat biasa
dihubungkan dengan ilmu hermeneutik. Yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada
fenomena ini. Keduanya membicarakan manusia sebagai realita eksistensi
ditentukan oleh kondis-kondisi fisik dan budaya yang mempengaruhi. Fenomenologi
dan herneneutika saling bersentuhan, namun juga mempunyai perbedaan, kekuatan,
dan kelemahan masing-masing.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Filsafat
Secara etimologis kata filsafat
dalam bahasa Yunani adalah philosophia, yaitu gabungan dari dua kata philia
atau philen yang berarti cinta atau mencintai dan sophos yang berarti
kebijaksanaan. Sementara dalam bahasa Inggris, filsafat berasal dari kata
philosophy yang bisa diartikan sebagai mencintai kebajikan.
Secara terminologis, dalam Kamus
Filsafat (Loren Bagus, 1996:42) dijelaskan beberapa pengertian pokok tentang
filsafat menurut kalangan filosof, yaitu: Pertama, filsafat merupakan upaya
spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang
suatu realitas; Kedua, merupakan upaya melukiskan hakikat realitas akhir dan
dasar serta nyata; Ketiga, filsafat merupakan upaya menentukan batas-batas dan
jangkauan dari pengetahuan baik itu tentang sumber, hakikat,, keabsahan, dan
nilainya; Keempat, penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan
pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan; Keenam,
filsafat merupakan disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu melihat apa yang
dikatakan dan untuk mengatakan apa yang dilihat.
Endang Saifuddin Anshari
(1987: 83) mengutip pernyataan Al Farabi bahwa pengertian filsafat adalah ilmu
tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
Sedangkan Sumarno, Karimah, dan
Damayani dalam buku Filsafat dan Etika Komunikasi (2004: 13-14) pengertian
filsafat dapat dibedakan menjadi:
1. Filsafat sebagai suatu
sikap. Filsafat merupakan sikap terhadap kehidupan dan alam semesta.Bagaimana
manusia yang berfilsafat dalam menyikapi hidup dan alam sekitarnya.
2. Filsafat sebagai suatu
metoda. Berfilsafat artinya berpikir secara reflektif, yakni berpikir dengan
memerhatikan unsure di belakang objek yang menjadi pusat pemikirannya.
3. Filsafat sebagai kumpulan
persoalan. Befilsafat artinya berusaha untuk memecahkan persoalan-persoalan
hidup.
4. Filsafat merupakan sistem
pemikiran. Socrates, Plato, atau Aristoteles merupakan tokoh filsafat yang
menghasilkan sistem pemikiran yang menjadi acuan dalam menjawab persoalan,
sebagai metode, dan cara bersikap kenyataan.
5. Filsafat merupakan
analisis logis. Filsafat berarti berbicara tentang bahasa dan penjelasan
makna-makna yang terkandung dalam kata dan pengertian.Hampir setiap filsuf
memakai metode analisis untuk menjelaskan arti istilah dan pemakaian bahasa.
6. Filsafat merupakan suatu
usaha memperoleh pandangan secara menyeluruh. Filsafat mencoba menggabungkan
kesimpulan-kesimpulan dari berbagai macam ilmu serta pengalaman manusia menjadi
suatu pandangan dunia yang menyeluruh.
Sementara Muntasyir dan Munir
(2002: 3) memberikan klasifikasi pengertian tentang filsafat, sebagai berikut :
1. Filsafat adalah sekumpulan
sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara
tidak kritis (arti informal).
2. Filsafat adalah
suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat
kita junjung tinggi (arti formal).
3. Filsafat adalah
usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya filsafat berusaha untuk
mengombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan sehingga
menjadi pandangan yang konsisten tentang alam (arti spekulatif).
4. Filsafat adalah
analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Corak
filsafat yang demikian ini dinamakan juga logosentris.
5. Filsafat adalah
sekumpulan problema yang langsung, yang mendapat perhatian dari manusia dan
yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
2.2 Pengertian Fenomenologi
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam
bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena.
Ilmu fenomenologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari
arti dari pada fenomena ini. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728 - 1777),
seorang filsuf Jerman.Dalam bukunya Neues Organon (1764).ditulisnya
tentang ilmu yang tak nyata. Dalam pendekatan
sastra, fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena,
sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha
untuk mendapatkan fitur-hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita
alami. G.W.F. Hegel dan Edmund
Husserl adalah dua tokoh penting dalam pengembangan pendekatan filosofis ini.
Fenomenologi adalah studi tentang Phenomenon. Kata ini berasal dari bahasa
Yunani Phainein berarti menunjukkan. Dari
kata ini timbul kata Pheinomenon berarti
yang muncul dalam kesadaran manusia. Dalam fenomenologi, ditetapkan bahwa
setiap gambaran pikir dalam pikiran sadar manusia, menunjukkan pada suatu hal
keadaan yang disebut intentional (berdasarkan
niat atau keinginan).
Secara harfiah, fenomenologi atau fenomenalisme adalah
aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme adalah sumber pengetahuan
dan kebenaran. Fenomenalisme juga adalah suatu metode pemikiran. Fenomenologi
merupakan sebuah aliran yang berpendapat bahwa, hasrat yang kuat untuk mengerti
yang sebenarnya dapat dicapai melalui pengamatan terhadap fenomena atau
pertemuan kita dengan realita. Karenanya, sesuatu yang terdapat dalam diri kita
akan merangsang alat inderawi yang kemudian diterima oleh akal ( otak ) dalam
bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran.
Penalaran inilah yang dapat membuat manusia mampu berpikir secara kritis.
Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana
manusia sebagai subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Ketika berbicara
tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan, maka hermeneutik terlibat di
dalamnya. Pada intinya, bahwa aliran fenomenologi mempunyai pandangan bahwa
pengetahuan yang kita ketahui sekarang ini merupakan pengetahuan yang kita
ketahui sebelumnya melalui hal-hal yang pernah kita lihat, rasa, dengar oleh
alat indera kita. Fenomenologi merupakan suatu pengetahuan tentang kesadaran
murni yang dialami manusia.
2.3 Tokoh-tokoh Fenomenologi
1. Edmund
Husserl (1859-1938)
Menurut
Husserl, memahami fenomenologi sebagai suatu metode dan ajaran filsafat.
Sebagai metode, Husserl membentangkan langkah-langkah yang harus diambil agar
sampai pada fenomeno yang murni. Untuk melakukan itu, harus dimulai dengan
subjek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk kembali pada kesadaran
murni. Sedangkan sebagai filsafat, fenomenologi memberikan pengetahuan yang perlu
dan essensial tentang apa yang ada. Dengan kata lain, fenomenologi harus
dikembalikan kembali objek tersebut.
Metode fenomenologi menurut
Husserl, menekankan satu hal penting yaitu, penundaan keputusan. Penundaan
keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung
(bracketing) untuk memahami fenomena. Pengetahuan yang
kita miliki tentang fenomena itu harus kita tinggalkan atau lepaskan dulu, agar
fenomena itu dapat menampakkan dirinya sendiri.
Untuk memahami filsafat Husserl
ada beberapa kata kunci yang perlu diketahui. Diantaranya:
1. Fenomena adalah realitas esensi
atau dalam fenomena terkandung pula nomena(sesuatu yang
berada di balik fenomena)
2. Pengamatan adalah aktivitas
spiritual atau rohani.
3. Kesadaran adalah sesuatu yang intensional
(terbuka da terarah pada subjek
4. Substansi adalah kongkret yang
menggambarkan isi dan stuktur kenyataan dan sekaligus bisa terjangkau.
Usaha untuk mencapai segala sesuatu itu harus melalui
reduksi atau penyaringan yang terdiri dari :
1. Reduksi fenomenologi, yaitu harus
menyaring pengalaman-pengalaman dengan maksud mendapat fenomena dalam wujud
semurni-murninya. Dalam artian bahwa, kita harus melepaskan benda-benda itu
dari pandangan agama, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan ideologi.
2. Reduksi eidetis, yaitu dengan
menyaring atau penempatan dalam tanda kurung sebagai hal yang bukan eidos atau
intisari atau hakikat gejala atau fenomena.
3. Reduksi transcendental, yaitu
dalam penerapannya berdasarkan subjeknya sendiri perbuatannya dan kesadaran
yang murni.
Namun, menurut para pengikut
fenomenologi suatu fenomena tidak selalu harus dapat diamati dengan indera.
Sebab, fenomena dapat juga dilihat atau ditilik secara ruhani tanpa melewati
indera, fenomena tidak perlu suatu peristiwa.
2.
Max Scheller (1874-1928)
Scheller berpendapat bahwa metode
fenomenologi sama dengan cara tertentu untuk memandang realitas. Dalam hubungan
ini kita mengadakan hubungan langsung dengan realitas berdasarkan intuisi
(pengalaman fenomenologi).
Menurutnya ada 3 fakta yang
memegang peranan penting dalam pengalaman filsafat. Diantaranya :
1. Fakta natural, yaitu
berdasarkan pengalaman inderawi yang menyangkut benda-benda yang nampak dalam
pengalaman biasa.
2. Fakta ilmiah, yaitu
yang mulai melepas diri dari penerapan inderawi yang langsung dan semakin
abstrak.
3. Fakta fenomenologis,
merupakan isi intuitif yang merupakan hakikat dari pengalaman langsung.
3.
Martin Heidegger (1889-1976)
Menurut
Heidegger, manusia itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya. Kemampuan seseorang
untuk bereksistensi dengan hal-hal yang ada di luar dirinya karena memiliki
kemampuan seperti kepekaan, pengertian, pemahaman, perkataan atau pembicaraan.
Bagi heidegger untuk mencapai manusia utuh maka manusia harus merealisasikan
segala potensinya meski dalam kenyataannya seseorang itu tidak mampu
merealisasikannya. Ia tetap sekuat tenaga tidak pantang menyerah dan selalu
bertanggungjawab atas potensi yang belum teraktualisasikan.
Dalam persfektif yang lain
mengenai sesosok Heidegger menjadi salah satu filsafat yang fenomenal yaitu
bahwa ia mengemukakan tentang konsep suasana hati (mood). Seperti yang
kita ketahui bahwa dengan suasana hatilah kita diatur oleh dunia kita, bukan
dalam pendirian pengetahuan observasional yang berjarak. Biasanya, dengan
posisi kita yang sedang bersahabat dengan suasana hati, maka kita akan bisa
mengenali diri kita yang sesungguhnya. Karena suasana hati bisa menjadi tolak
ukur untuk mengetahui hakikat diri dengan banyaknya pertanyaan yang muncul
seperti pencarian jati diri siapa kita sesungguhnya, apa kemampuan kita, dan
apa kekurangan atau kelebihan yang kita miliki, bagaimanakah kehidupan kita
yang selanjutnya dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Konsep inilah yang
menguatkan pendapat banyak orang mengenai sesosok orang yang mampu
melihat noumena dan phenoumena.
4. Maurice Merlean-ponty
(1908-1961)
Sebagaimana halnya Husserl, ia
yakin seorang filosof benar-benar harus memulai kegiatannya dengan meneliti
pengalaman. Pengalamannya sendiri tentang realitas, dengan begitu ia menjauhkan
diri dari dua ekstrim yaitu :
Pertama hanya meneliti atau
mengulangi penelitian tentang apa yang telah dikatakan orang tentang realita,
dan Kedua hanya memperhatikan
segi-segi luar dari pengalaman tanpa menyebut-nyebut realitas sama sekali.
Walaupun Marlean-Ponty setuju dengan Husserl bahwa kitalah yang dapat
mengetahui dengan sesuatu dan kita hanya dapat mengetahui benda-benda yang
dapat dicapai oleh kesadaran manusia, namun ia mengatakan lebih jauh lagi,
yakni bahwa semua pengalaman perseptual membawa syarat yang essensial tentang
sesuatu alam di atas kesadaran.
Oleh karena itu deskripsi fenomenologi yang dilakukan Marlean-Ponty tidak
hanya berurusan dengan data rasa atau essensi saja, akan tetapi menurutnya,
kita melakukan perjumpaan perseptual dengan alam. Marlean-Porty menegaskan
sangat perlunya persepsi untuk mencapai yang real.
2.4 Jenis-Jenis Tradisi
Fenomenologi
Inti dari tradisi fenomenologi
adalah mengamati kehidupan dalam keseharian dalam suasana yang alamiah.Tradisi
memandang manusia secara aktif mengintrepretasikan pengalaman mereka sehingga
mereka dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung
dengan lingkungannya.Titik berat tradisi fenomenologi adalah Pada bagaimana
individu mempersepsi serta memberikan interpretasi pada pengalaman
subyektifnya. Adapun varian dari tradisi Fenomenologi ini adalah,:
1. Fenomena Klasik, percaya pada kebenaran hanya bisa
didapatkan melalui pengarahan pengalaman, artinya hanya mempercayai suatu
kebenaran dari sudut pandangnya tersendiri atau obyektif.
2. Fenomenologi Persepsi, percaya pada suatu
kebenaran bisa di dapatkan dari sudut pandang yang berbeda – beda, tidak hanya
membatasi fenomenologi pada obyektifitas, atau bisa dikatakan lebih subyektif.
3. Fenomenologi Hermeneutik, percaya pada suatu
kebenaran yang di tinjau baik dari aspek obyektifitas maupun subyektifitasnya,
dan juga disertai dengan analisis guna menarik suatu kesimpulan.
2.5 Prinsip Dasar
Fenomenologi
Stanley Deetz menyimpulkan tiga
prinsip dasar fenomenologis:
·
Pengetahuan ditemukan secara langsung dalam pengalaman
sadar. Kita akan mengetahui dunia ketika kita berhubungan dengan pengalaman itu
sendiri.
·
Makna benda terdiri dari kekuatan benda dalam
kehidupan seseorang. Bagaimana kita berhubungan dengan benda menentukan
maknanya bagi kita.
·
Bahasa merupakan kendaraan makna. Kita mengalami dunia
melalui bahasa yang digunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan dunia
itu.
2.6 Fenomenologi
Sebagai Metode Ilmu
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati
fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena di sini dipahami sebagai segala
sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik
berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang
berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode
yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti
penampilannya tanpa prasangka sama sekali.
Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori,
praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya:
“Zu den Sachen Selbst” (kembali kepada bendanya sendiri). Tugas utama
fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan
realitas.
Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari
manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan
Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan
keberadaan manusia”.
Filsafat fenomenologi berusaha
untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena
yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang
dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”. Untuk itu, Husserl
mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena,
yaitu metode epoche dan eidetich vision.
Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti:
“menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh
dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya
terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar
natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat
2.7 Konstribusi Fenomenologi Terhadap
Ilmu Pengetahuan
Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan
pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini penting
artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur
metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek
pengetahuan.
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology,
menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt )
merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan
yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik,
yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis
seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya ‘matematisasi
alam’, alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah
mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan
pengalaman manusia ke formula-formula impersonal.
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia
sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan
komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari
yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami
dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi
yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini
menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak
dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu
alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ).
Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang
niscaya.
Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya
adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu
dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara
tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia
jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya,
ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan
itu.
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah
deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan
‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun
pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran)
individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek
intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu
benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek
sama-sama terlibat dan menghayati.
Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan
sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem
simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang
membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan
dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan
metodelogisnya.
2.8 Kelebihan dan Kekurangan Filsafat Fenomenologi
Kelebihan filsafat fenomenoligi
diantaranya dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Fenomenologi sebagai suatu metode
keilmuan, dapat mendiskripsikan penomena dengan apa adanya dengan tidak
memanipulasi data, aneka macam teori dan pandangan.
2. Fenomenologi mengungkapkan ilmu
pengetahuan atau kebenaran dengan benar-benar yang objektif.
3. Fenomenologi memandang objek
kajian sebagai bulatan yang utuh tidak terpisah dari objek lainnya.
Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatanpartial, sehingga
diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati, hal ini lah yang
menjadi kelebihan filsafat ini sehingga banyak dipakai oleh ilmuan-ilmuan pada
saat ini terutama ilmuan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk
bidang kajian agama.
Dari berbagai kelebihan tersebut, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput
dari berbagai kelemahan, seperti :
1. Tujuan fenomenologi untuk
mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai
pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama ataupun ilmu pengetahuan, merupakan
suatu yang absurd.
2. Pengetahuan yang didapat tidak
bebas nilai (value-free), tapi bermuatan nilai (value-bound).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Fenomenologi merupakan sebuah aliran. Yang berpendapat
bahwa, hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya dapat dicapai melalui
pengamatan terhadap fenomena atau pertemuan kita dengan realita. Karenanya,
sesuatu yang terdapat dalam diri kita akan merangsang alat inderawi yang
kemudian diterima oleh akal ( otak ) dalam bentuk pengalaman dan disusun secara
sistematis dengan jalan penalaran. Aliran fenomenologi mempunyai beberapa
tokoh-tokoh yang menjadi acuan dasar yang mengemukakan tentang aliran
fenomenologi tersebut. Diantara tokoh-tokohnya yaitu Edmund Husserl, max
scheller, martin Heidegger, dan Maurice merlea-ponty.
Fenomenologi pun tentulah tidak luput dari kekurangan
dan kelebihan yang menjadi fitrah dalam semua kehidupan. Fenomenologi sebagai
ilmu yaitu bahwa Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang
sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju
kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai
“Hakikat segala sesuatu”.
Kontribusi fenomenologi terhadap
dunia ilmu pengetahuan yaitu Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini
adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk
menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Maksum, Ali. 2011. Pengantar Filsafat; dari Masa
klasik hingga Postmodernisme. Yogyakarta . AR-RUZZ MEDIA.
Achmadi, Asmoro. 2010. Filsafat umum. Jakarta.
PT. RAJAGRAFINDO PERSADA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar