Rabu, 11 Januari 2017

Wujud Akulturasi Masyarakat Muslim Cikoneng (kearifan lokal filsafat)



Wujud Akulturasi Masyarakat Muslim Cikoneng

A.    Secara umum
Pengertian akulturasi adalah proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing, sehingga diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan itu sendiri. Proses akulturasi bisa terjadi pada budaya materi dan nonmateri. Akulturasi pada budaya materi salah satu nya pada bangunan masjid kuno. Bangunan masjid kuno memperlihatkan beragam budaya melalui bentuk dan arsitekturnya. Salah satunya dapat dikenali dari ragam hias pada ornamen-ornamen yang melekat pada bangunannya.
Bangunan masjid kuno yang menjadi cultural heritage adalah masjid yang masih mempertahankan keaslian bagian-bagian bangunannya. Beberapa bagian bangunan yang belum tersentuh perubahan terutama apabila dilihat dari segi arsitektur. Wujud fisik berupa bentuk dan arsitektur menunjukkan kekhasan budaya tertentu di suatu daerah dengan komunitas manusia yang tertentu pula. Keberadaan masjid cikoneng anyer dengan bentuk arsitektur, dan ragam hias yang beraneka ragam menunjukkan adanya interaksi dua budaya atau lebih, sehingga menghasilkan budaya baru dengan tidak menghilangkan dasar-dasar budaya aslinya. Dengan demikian telah terjadi akulturasi budaya pada masyarakat muslim dikampung cikoneng.

B.     Asal Usul Bangunan Masjid Cikoneng Anyer Banten
Masjid cikoneng adalah masjid kuno peninggalan zaman belanda, didirikan sekitar abad ke 16 atau awal abad ke 17. Mesjid ini sebenarnya bernama masjid darul falah, tetapi masysarakat setempat lebih mengenalnya dengan nama kampungnya. Secatra administratif masjid cikoneng terletak di jalan raya anyer, kampung cikoneng, desa cikoneng, kecamatan anyer, kabupaten serang, provinsi banten.
Pada awalnya masjid cikoneng dibangun oleh masyarakat lampung yang datang dan menetap di anyer. Bangunan inti masjid diperkirakan pada awalnya hanya satu bagian bangunan berbentuk persegi empat dengan atap tumpang bersusun empat dan arah hadap ke barat (kiblat). Terdapat dua buah mihrab sebagai tempat imam berdiri ketika shalat berjamaah dan tempat khotib berkhutbah. Memiliki serambi depan sebelah timur dan memiliki dua pintu masuk di kiri dan kanan yang mengapit satu jendela dengarah arah hadap timur. Bangunan masjid ditinggikan dari permukaan tanah sekitar satu meter. Di bagian serambi timur terdapat tempat wudhu yang terpisah dari bangunan inti masjid. Sekarang ini bentuk denah bangunan masjid sudah berubah dan ada beberapa bagian lainnya yang turut berubah, sesuai hasil renovasi terakhir yang dilakukan tahun 2005.
Berdasarkan keterangan yang diterima wilayah cikoneng terbagi menjadi empat, yaitu kampung tegal, kampung bojong, kampung cikoneng dan kampung salatuhur. Keempatnya berada dalam satu desa cikoneng. Menurut cerita sejarah yang disampaikan secara lisan, gelombang perubahan memang terjadi di Cikoneng. Sebagian besar berasal dari suku Jawa dan suku Sunda, meskipun proposinya masih didominasi oleh suku lampung. Pada awalnya kedatangan rombongan warga lampung ke Cikoneng berjumlah 40 kepala keluarga dari sembilan marga. Keadaan ini membuat bahasa lampung di Cikoneng terdengar sedikit aneh ditelinga. Sampai sekarang masyarakat kampung Cikoneng masih menggunakan bahasa Lampung yang bercampur dengan bahasa Sunda, Jawa dan Indonesia.
Cikal bakal Kampung Cikoneng ditandai dengan ikrar saling membantu menjaga kedaulatan dan syiar Islam antara Pangeran Saba Kingking dari Kesultanan Banten dengan Ratu Darah Purih dari Keratuan Lampung pada abad ke-16. Ikrar itu tertulis dalam sejarah Babat Kuripan dengan Dalung Kuripan (Prasasti Kuripan) yang ditulis dalam bahasa Jawa Banten. Realisasi Dalung Kuripan berlanjut pada penaklukan Kerajaan Pajajaran, Kedaung, Kandang Wesi, Kuningan dan terakhir daerah Parungkujang oleh prajurit dari Keratuan Lampung. Penaklukan daerah Parungkujang (sekarang Kabupaten Sukabumi) terjadi pada abad ke-17, satu abad sesudah peristiwa Dalung Kuripan, menjadi janin keberadaan Cikoneng.

C.     Analisis Masjid Cikoneng Anyer
Akulturasi antara kebudayaan Islam dan kebudayaan Indonesia tampak pada seni arsitektur bangunan masjid kuno, yang menunjukkan ciri-ciri khusus. Salah satunya masih menonjolnya gaya arsitektur pra-Islam kekhususan gaya arsitektur ini terdapat dalam bentuk atap bertingkat lebih dari satu, sebagai kelanjutan dari seni bangunan tradisional Indonesia lama yang mendapat pengaruh Hindu-Buddha.
1.      Tata Letak
Pada umumnya masjid-masjid kuno yang dibangun pada zaman dahulu berada di pinggiran aliran sungai atau dekat sumber air. Bangunan Masjid Cikoneng Anyer terletak dekat sumber air, di tepian muara Cikoneng (sungai cikoneng) dan tidak jauh dari pantai Anyer. Lokasi sekarang ini berada pada tengah-tengah perkampungan cukup padat. Selain bangunan masjid kuno ini, juga ada beberapa bangunan lainnya sebagai bangunan kolonial peninggalan zaman Belanda, yaitu Mercusuar Cikoneng, pemutar lokomotif, Stasiun Anyer Kidul, Makam sang Hyang Hulubalang dan bekas jalur rel kereta api.

2.      Ruang Utama
Ruang utama terdiri dari ruang shalat laki-laki dan ruang shalat perempuan. Berupa bangunan berbentuk persegi dengan pondasi massif dan ditinggikan dari permukaan tanah sekitar satu meter. Kedua ruangan ini dipisah kan oleh dinding permanen dengan atap sendiri-sendiri secara terpisah tetapi berdampingan, dihubungkan oleh dua pintu dengan satu jendela ditengah-tengahnya. Bangunan ini diperkirakan dahulunya hanya terdiri dari satu bagian baungunan persegi dan memiliki serambi depan. Serambi depan yang sekarang sebagai ruang shalat perempuan. Dimungkinkan juga dahulunya pintu masuk utama menghadap ke arah timur dan memiliki tempat wudhu terpisah dari bangunan inti. Bangunan ditinggikan dari permukaan tanah tampak dari perbedaan ketinggian lanati ruang shalat perempuan dengan tempat wudhu.

3.      Mihrab
Masjid ini mempunyai dua mihrab di bagian paling barat di ruang shalat laki-laki, berbentuk seperti ceruk, dengan ukuran tinggi masing-masing dua meter dan lebar setengah meter. Pada mihrab terdapat pilaster dengan hiasan dinding berupa pahatan tulisan arab dan tempelan piring keramik/porselin berhias motif flora (bunga dan daun). Mihrab di sebelah utara mempunyai undakan yang digunakan untuk khotib berkhotbah, dan yang satunya lagi digunakan untuk imam memimpin shalat.

4.      Atap
Bangunan masjid ini memiliki dua atap, berbentuk atap tumpang bersusun dua dan bersusun empat, makin ke atas makin kecil, dengan hiasan di puncaknya yang disebut “mamolo” atau “mustaka”. Bentuk atap tumpang bersusun dua terletak pada bagian ruang shalat perempuan (sisi timur). Bentuk atap tumpang bersusun empat terletak pada bagian ruang shalat laki-laki (sisi barat).
              
5.      Mustaka
Hiasan kemuncak atap tumpang susun dua dan susun empat pada bagian inti bangunan masjid berbentuk dua pasang naga (satu pasang ada empat naga), searah mata angin di bagian bawah dan bagian tengahnya, sedangkan pada bagian atasnya berbentuk pagoda atau kerucut (limas).

6.      Pintu
Masjid Cikoneng memiliki satu pintu masuk utama di sisi dinding sebelah kiri, terletak di tengah-tengah dengan arah hadap ke utara. Pintu masuk ini langsung menuju ruang shalat perempuan, sedangkan untuk menuju ruang shalat laki-laki melalui pintu yang terhubung langsung dari ruang shalat perempuan. Bentuk pintu ini masih mengikuti bentuk aslinya, yaitu berdaun ganda dengan bentuk melengkung pada bagian atasnya. Pintu keluar lain terdapat di ruangan tempat wudhu dengan arah hadap yang sama dengan pintu utama, berdaun  tunggal dari bahan kayu. Di bagian dalam terdapat empat pintu, sebagai penghubung anatr ruangan. Keempat pintu terletak di sudut kiri dan kanan dinding, dua pintu sebagai penghubung ruangan shalat laki-laki dan perempuan dan dua pintu lain penghubung ke tempat berwudhu.

7.      Jendela
Bangunan masjid memiliki 12 jendela yang terletak di bagian dinding kiri dan kanan dengan arah hadap ke utara dan selatan. Memiliki bentuk yang sama dan simetris, yaitu berbentuk melengkung setengah lingkaran di bagian atasnya, berdaun ganda dengan bahan kaca, dan memiliki jeruji besi dibagian bentuk melengkungnya, berfungsi sebagai ventelasi udara. Kemudian pada dinding bagian dalam yang menghubungkan antar ruangan terdapat jendela dengan bentuk dan bahan sama dengan jendela keluar, terletak masing-masing satu jendela pada tengah-tengah dinding pemisah antar ruangan. Menurut pengurus masjid, jendela yang masih asli adalah jendela yang terletak di dinding pemisah antara ruang shalat laki-laki dan ruang shalat perempuan.

8.      Tiang
Bangunan masjid ini memiliki delapan tiang utama, empat tiang di dalam ruang shalat laki-laki dan empat tiang lagi di ruang shalat perempuan. Berfungsi sebagai penopang atap atau “soko guru”. Kedelapan tiang ini memiliki bentuk dan volume yang sama, berbentuk persegi delapan dengan bulatan di bagain bawahnya seperti buah labu penyet yang bersegi delapan juga dan terbuat dari bahan kayu. Bentuk bagian bawah ini bisa juga sebagai gambaran dari bunga teratai atu lotus. Bunga lotus atau teratai merupakan motif warisan dari ajaran buddha, merupakan landasan atau tempat para buddha. Motif ini juga menggambarkan fungsi bunga lotus yang menopang kehidupan di atasnya, serta melambangkan keabadian. Pendapat alin menjelaskan bahwa bentuk bulatan delapan ini berasal dari bentuk segi empat, sebagai bentuk transisi perlambangan dari sifat bumi ke sifat langit atau yang duniawi menuju ke akhirat. Mengenai simbolik lotus pada masa Islam sebenarnya bukan untuk mengingatkan pada ajaran buddha, melainkan dikaitkan dengan lambang kesucian.
9.      Ragam Hias
Dinding masjid dilengkapi dengan beberapa hiasan. Demikian juga dengan bagian pintu, jendela, dan tiang memiliki beberapa hiasan yang beranekaragam. Ragam hias di bagian ruang shalat laki-laki terdapat di dinding mihrab dengan pilaster dan list-list tembok yang menonjol keluar bernetuk vertikal, horisontal, dan melengkung setengah lingkaran mengikuti bentuk mihrab. Pada pilaster di antara list-list tersebut dipahatkan beberapa piring dan mangkuk keramik/kaca yang bercorak flora (daun dan bunga). Corak flora berupa sulur atau tanaman merambat merupakan simbolyang melambangkan keuletan dan kelenturan, serta rasa rendah hati terhadap sesama. Kemudian pada sekeliling dinding di bagian atas terdapat pahatan tulisan huruf arab, tetapi ada beberapa huruf dan kata yang tidak jelas.
                 
Masjid Cikoneng Anyer Banten sebagai Wujud Akulturasi Budaya
Seperti telah disebutkan masjid berfungsi sebagai tempat mengadakan hubungan dengan Allah swt atau pusat ibadah langsung dan musyawarah antar sesama manusia atau pusat pengembangan urusan-urusan keduniaan. Di masjid cikoneng Anyer ini juga memiliki fungsi beragam seperti ini. Selain tempat melakukan shalat fardhu, juga tempat belajar mengaji anak-anak dan pengajian orang dewasa (ibu-ibu dan bapak-bapak), serta tempat musyawarah atau pertemuan yang membahas masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan.
Berbagai faktor menjelaskan akulturasi terjadi dalam masyarakat muslim cikoneng Banten. Di antaranya segaian besar masyarakat yang ada di cikoneng masuk Islam dengan membawa tradisinya ke dalam Islam. Faktor lain adalah keinginan beradaptasi dengan lingkungan dan membaur dengan berbagai kelompokyang berbeda budaya karena keyakinan yang sama, yaitu sebagai seorang muslim yang tidak membeda-bedakan suku bangsa dan status sosial seseorang.
Interaksi antara suku bangsa dengan budaya yang berbeda  di kalangan masyarakat muslim cikoneng, juga dilanjutkan dengan interaksi dengan budaya baru dengan datangnya irang Eropa (Belanda) dengan budaya baratnya. Hal ini berimplikasi terhadap terjadinya akulturasi budaya. Sebagaimana telah disebutkan bangunan asli masjid cikoneng awalnya hanya terdiri dari satu bagain saja, yaitu sebagai ruang shalat laki-laki. Kemudian mengalami penambahan bagian bangunan dengan bentuk yang sama dengan teknologi yang berbeda dan arsitekturnya yang bervariasi, sebagai pemenuhan kebutuhan akan ruangan tambahan dan sebagai hasil adopsi dari berbagai pengaruh budaya luar. Penambahan bagian bangunan, yaitu ruang shalat perempuan dan ruang tempat wudhu. Pengaruh teknologi Eropa (Belanda) juga tampak dari bentuk jendela dan pintu masjid, serta pembuatan dinding bangunan dengan bata yang dilepas.
Masjid kuno di cikoneng dalam bahan bangunannya terdapat dalam penggunaan bahan kayu dan teknologi yang mengikuti pembuatannya merupakan pengaruh dari orang-orang cina yang dikenal sebagai ahli atau tukang kayu pada zamannya.demikian juga dengan adanya mangkuk-mangkuk porselin dan kaca yang ditanam di dinding sebagai hiasan pada mihrab, dimungkinkan juga sebagai pengaruh Cina. Orang-orang Cina adalah salah satu suku bangsa yang menjadi pendatang di wilayah Cikoneng Anyer Banten.
Corak akulturasi budaya yang tampak pada bentuk dan gaya arsitektur masjid cikoneng Anyer merupakan salah satu bentuk strategi budaya para ulama, dalam menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam. Selain itu, masjid cikoneng Anyer merupakan peninggalan zaman dahulu, maka masyarakat kampung cikoneng masih selalu merawatnya. Serta masyarakat setempat harus memberitahu jika ada masjid cikoneng peninggalan pada zaman dahulu yang dekat dengan mercusuar bojong dan seharusnya dimanfaatkan agar para wisatawan yang berwisata di sekitar pantai Anyer harus mengetahui bahwa ada masjid kuno di daerah kampung Cikoneng. Dan masjid tersebut bisa digunakan para wisatawan untuk sembahyang juga.
Pesan penulis dalam laporan kearifan lokal tentang wujud akulturasi masyarakat muslim cikoneng, masyarakat Indonesia harus mengetahui bahwa ada masjid kuno pada peninggalan zaman dahulu di kampung Cikoneng Anyer yang harus dilestarikan dan diakui oleh pemerintah. Bukan hanya masjid kuno yang ada di jawa dan khususnya masjid agung banten saja, tetapi masyarakat Banten juga setidaknya mengetahui masjid cikoneng Anyer Banten ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar