Wujud Akulturasi
Masyarakat Muslim Cikoneng
A. Secara umum
Pengertian akulturasi
adalah proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan kebudayaan
tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing, sehingga
diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan kepribadian
kebudayaan itu sendiri. Proses akulturasi bisa terjadi pada budaya materi dan
nonmateri. Akulturasi pada budaya materi salah satu nya pada bangunan masjid
kuno. Bangunan masjid kuno memperlihatkan beragam budaya melalui bentuk dan
arsitekturnya. Salah satunya dapat dikenali dari ragam hias pada ornamen-ornamen
yang melekat pada bangunannya.
Bangunan masjid kuno
yang menjadi cultural heritage adalah masjid yang masih mempertahankan keaslian
bagian-bagian bangunannya. Beberapa bagian bangunan yang belum tersentuh
perubahan terutama apabila dilihat dari segi arsitektur. Wujud fisik berupa
bentuk dan arsitektur menunjukkan kekhasan budaya tertentu di suatu daerah
dengan komunitas manusia yang tertentu pula. Keberadaan masjid cikoneng anyer
dengan bentuk arsitektur, dan ragam hias yang beraneka ragam menunjukkan adanya
interaksi dua budaya atau lebih, sehingga menghasilkan budaya baru dengan tidak
menghilangkan dasar-dasar budaya aslinya. Dengan demikian telah terjadi
akulturasi budaya pada masyarakat muslim dikampung cikoneng.
B. Asal Usul Bangunan Masjid Cikoneng
Anyer Banten
Masjid cikoneng adalah
masjid kuno peninggalan zaman belanda, didirikan sekitar abad ke 16 atau awal
abad ke 17. Mesjid ini sebenarnya bernama masjid darul falah, tetapi
masysarakat setempat lebih mengenalnya dengan nama kampungnya. Secatra
administratif masjid cikoneng terletak di jalan raya anyer, kampung cikoneng,
desa cikoneng, kecamatan anyer, kabupaten serang, provinsi banten.
Pada awalnya masjid
cikoneng dibangun oleh masyarakat lampung yang datang dan menetap di anyer.
Bangunan inti masjid diperkirakan pada awalnya hanya satu bagian bangunan
berbentuk persegi empat dengan atap tumpang bersusun empat dan arah hadap ke
barat (kiblat). Terdapat dua buah mihrab sebagai tempat imam berdiri ketika
shalat berjamaah dan tempat khotib berkhutbah. Memiliki serambi depan sebelah
timur dan memiliki dua pintu masuk di kiri dan kanan yang mengapit satu jendela
dengarah arah hadap timur. Bangunan masjid ditinggikan dari permukaan tanah
sekitar satu meter. Di bagian serambi timur terdapat tempat wudhu yang terpisah
dari bangunan inti masjid. Sekarang ini bentuk denah bangunan masjid sudah
berubah dan ada beberapa bagian lainnya yang turut berubah, sesuai hasil
renovasi terakhir yang dilakukan tahun 2005.
Berdasarkan keterangan
yang diterima wilayah cikoneng terbagi menjadi empat, yaitu kampung tegal,
kampung bojong, kampung cikoneng dan kampung salatuhur. Keempatnya berada dalam
satu desa cikoneng. Menurut cerita sejarah yang disampaikan secara lisan,
gelombang perubahan memang terjadi di Cikoneng. Sebagian besar berasal dari
suku Jawa dan suku Sunda, meskipun proposinya masih didominasi oleh suku
lampung. Pada awalnya kedatangan rombongan warga lampung ke Cikoneng berjumlah
40 kepala keluarga dari sembilan marga. Keadaan ini membuat bahasa lampung di
Cikoneng terdengar sedikit aneh ditelinga. Sampai sekarang masyarakat kampung
Cikoneng masih menggunakan bahasa Lampung yang bercampur dengan bahasa Sunda,
Jawa dan Indonesia.
Cikal bakal Kampung
Cikoneng ditandai dengan ikrar saling membantu menjaga kedaulatan dan syiar
Islam antara Pangeran Saba Kingking dari Kesultanan Banten dengan Ratu Darah
Purih dari Keratuan Lampung pada abad ke-16. Ikrar itu tertulis dalam sejarah
Babat Kuripan dengan Dalung Kuripan (Prasasti Kuripan) yang ditulis dalam
bahasa Jawa Banten. Realisasi Dalung Kuripan berlanjut pada penaklukan Kerajaan
Pajajaran, Kedaung, Kandang Wesi, Kuningan dan terakhir daerah Parungkujang
oleh prajurit dari Keratuan Lampung. Penaklukan daerah Parungkujang (sekarang
Kabupaten Sukabumi) terjadi pada abad ke-17, satu abad sesudah peristiwa Dalung
Kuripan, menjadi janin keberadaan Cikoneng.
C. Analisis Masjid Cikoneng Anyer
Akulturasi
antara kebudayaan Islam dan kebudayaan Indonesia tampak pada seni arsitektur
bangunan masjid kuno, yang menunjukkan ciri-ciri khusus. Salah satunya masih
menonjolnya gaya arsitektur pra-Islam kekhususan gaya arsitektur ini terdapat
dalam bentuk atap bertingkat lebih dari satu, sebagai kelanjutan dari seni
bangunan tradisional Indonesia lama yang mendapat pengaruh Hindu-Buddha.
1. Tata Letak
Pada
umumnya masjid-masjid kuno yang dibangun pada zaman dahulu berada di pinggiran
aliran sungai atau dekat sumber air. Bangunan Masjid Cikoneng Anyer terletak
dekat sumber air, di tepian muara Cikoneng (sungai cikoneng) dan tidak jauh
dari pantai Anyer. Lokasi sekarang ini berada pada tengah-tengah perkampungan
cukup padat. Selain bangunan masjid kuno ini, juga ada beberapa bangunan
lainnya sebagai bangunan kolonial peninggalan zaman Belanda, yaitu Mercusuar
Cikoneng, pemutar lokomotif, Stasiun Anyer Kidul, Makam sang Hyang Hulubalang
dan bekas jalur rel kereta api.
2. Ruang Utama
Ruang
utama terdiri dari ruang shalat laki-laki dan ruang shalat perempuan. Berupa
bangunan berbentuk persegi dengan pondasi massif dan ditinggikan dari permukaan
tanah sekitar satu meter. Kedua ruangan ini dipisah kan oleh dinding permanen
dengan atap sendiri-sendiri secara terpisah tetapi berdampingan, dihubungkan
oleh dua pintu dengan satu jendela ditengah-tengahnya. Bangunan ini
diperkirakan dahulunya hanya terdiri dari satu bagian baungunan persegi dan
memiliki serambi depan. Serambi depan yang sekarang sebagai ruang shalat perempuan.
Dimungkinkan juga dahulunya pintu masuk utama menghadap ke arah timur dan
memiliki tempat wudhu terpisah dari bangunan inti. Bangunan ditinggikan dari
permukaan tanah tampak dari perbedaan ketinggian lanati ruang shalat perempuan
dengan tempat wudhu.
3. Mihrab
Masjid
ini mempunyai dua mihrab di bagian paling barat di ruang shalat laki-laki,
berbentuk seperti ceruk, dengan ukuran tinggi masing-masing dua meter dan lebar
setengah meter. Pada mihrab terdapat pilaster dengan hiasan dinding berupa pahatan
tulisan arab dan tempelan piring keramik/porselin berhias motif flora (bunga
dan daun). Mihrab di sebelah utara mempunyai undakan yang digunakan untuk
khotib berkhotbah, dan yang satunya lagi digunakan untuk imam memimpin shalat.
4. Atap
Bangunan
masjid ini memiliki dua atap, berbentuk atap tumpang bersusun dua dan bersusun
empat, makin ke atas makin kecil, dengan hiasan di puncaknya yang disebut
“mamolo” atau “mustaka”. Bentuk atap tumpang bersusun dua terletak pada bagian
ruang shalat perempuan (sisi timur). Bentuk atap tumpang bersusun empat
terletak pada bagian ruang shalat laki-laki (sisi barat).
5. Mustaka
Hiasan
kemuncak atap tumpang susun dua dan susun empat pada bagian inti bangunan
masjid berbentuk dua pasang naga (satu pasang ada empat naga), searah mata
angin di bagian bawah dan bagian tengahnya, sedangkan pada bagian atasnya
berbentuk pagoda atau kerucut (limas).
6. Pintu
Masjid
Cikoneng memiliki satu pintu masuk utama di sisi dinding sebelah kiri, terletak
di tengah-tengah dengan arah hadap ke utara. Pintu masuk ini langsung menuju
ruang shalat perempuan, sedangkan untuk menuju ruang shalat laki-laki melalui
pintu yang terhubung langsung dari ruang shalat perempuan. Bentuk pintu ini
masih mengikuti bentuk aslinya, yaitu berdaun ganda dengan bentuk melengkung
pada bagian atasnya. Pintu keluar lain terdapat di ruangan tempat wudhu dengan
arah hadap yang sama dengan pintu utama, berdaun tunggal dari bahan kayu. Di bagian dalam
terdapat empat pintu, sebagai penghubung anatr ruangan. Keempat pintu terletak
di sudut kiri dan kanan dinding, dua pintu sebagai penghubung ruangan shalat
laki-laki dan perempuan dan dua pintu lain penghubung ke tempat berwudhu.
7. Jendela
Bangunan
masjid memiliki 12 jendela yang terletak di bagian dinding kiri dan kanan
dengan arah hadap ke utara dan selatan. Memiliki bentuk yang sama dan simetris,
yaitu berbentuk melengkung setengah lingkaran di bagian atasnya, berdaun ganda
dengan bahan kaca, dan memiliki jeruji besi dibagian bentuk melengkungnya,
berfungsi sebagai ventelasi udara. Kemudian pada dinding bagian dalam yang
menghubungkan antar ruangan terdapat jendela dengan bentuk dan bahan sama
dengan jendela keluar, terletak masing-masing satu jendela pada tengah-tengah
dinding pemisah antar ruangan. Menurut pengurus masjid, jendela yang masih asli
adalah jendela yang terletak di dinding pemisah antara ruang shalat laki-laki
dan ruang shalat perempuan.
8. Tiang
Bangunan
masjid ini memiliki delapan tiang utama, empat tiang di dalam ruang shalat
laki-laki dan empat tiang lagi di ruang shalat perempuan. Berfungsi sebagai
penopang atap atau “soko guru”. Kedelapan tiang ini memiliki bentuk dan volume
yang sama, berbentuk persegi delapan dengan bulatan di bagain bawahnya seperti buah
labu penyet yang bersegi delapan juga dan terbuat dari bahan kayu. Bentuk
bagian bawah ini bisa juga sebagai gambaran dari bunga teratai atu lotus. Bunga
lotus atau teratai merupakan motif warisan dari ajaran buddha, merupakan
landasan atau tempat para buddha. Motif ini juga menggambarkan fungsi bunga
lotus yang menopang kehidupan di atasnya, serta melambangkan keabadian.
Pendapat alin menjelaskan bahwa bentuk bulatan delapan ini berasal dari bentuk
segi empat, sebagai bentuk transisi perlambangan dari sifat bumi ke sifat
langit atau yang duniawi menuju ke akhirat. Mengenai simbolik lotus pada masa
Islam sebenarnya bukan untuk mengingatkan pada ajaran buddha, melainkan
dikaitkan dengan lambang kesucian.
9. Ragam Hias
Dinding masjid
dilengkapi dengan beberapa hiasan. Demikian juga dengan bagian pintu, jendela,
dan tiang memiliki beberapa hiasan yang beranekaragam. Ragam hias di bagian
ruang shalat laki-laki terdapat di dinding mihrab dengan pilaster dan list-list
tembok yang menonjol keluar bernetuk vertikal, horisontal, dan melengkung
setengah lingkaran mengikuti bentuk mihrab. Pada pilaster di antara list-list
tersebut dipahatkan beberapa piring dan mangkuk keramik/kaca yang bercorak
flora (daun dan bunga). Corak flora berupa sulur atau tanaman merambat
merupakan simbolyang melambangkan keuletan dan kelenturan, serta rasa rendah
hati terhadap sesama. Kemudian pada sekeliling dinding di bagian atas terdapat
pahatan tulisan huruf arab, tetapi ada beberapa huruf dan kata yang tidak
jelas.
Masjid Cikoneng Anyer Banten sebagai
Wujud Akulturasi Budaya
Seperti telah
disebutkan masjid berfungsi sebagai tempat mengadakan hubungan dengan Allah swt
atau pusat ibadah langsung dan musyawarah antar sesama manusia atau pusat
pengembangan urusan-urusan keduniaan. Di masjid cikoneng Anyer ini juga
memiliki fungsi beragam seperti ini. Selain tempat melakukan shalat fardhu,
juga tempat belajar mengaji anak-anak dan pengajian orang dewasa (ibu-ibu dan
bapak-bapak), serta tempat musyawarah atau pertemuan yang membahas
masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan.
Berbagai faktor
menjelaskan akulturasi terjadi dalam masyarakat muslim cikoneng Banten. Di
antaranya segaian besar masyarakat yang ada di cikoneng masuk Islam dengan membawa
tradisinya ke dalam Islam. Faktor lain adalah keinginan beradaptasi dengan
lingkungan dan membaur dengan berbagai kelompokyang berbeda budaya karena
keyakinan yang sama, yaitu sebagai seorang muslim yang tidak membeda-bedakan
suku bangsa dan status sosial seseorang.
Interaksi antara suku
bangsa dengan budaya yang berbeda di
kalangan masyarakat muslim cikoneng, juga dilanjutkan dengan interaksi dengan
budaya baru dengan datangnya irang Eropa (Belanda) dengan budaya baratnya. Hal
ini berimplikasi terhadap terjadinya akulturasi budaya. Sebagaimana telah
disebutkan bangunan asli masjid cikoneng awalnya hanya terdiri dari satu bagain
saja, yaitu sebagai ruang shalat laki-laki. Kemudian mengalami penambahan
bagian bangunan dengan bentuk yang sama dengan teknologi yang berbeda dan
arsitekturnya yang bervariasi, sebagai pemenuhan kebutuhan akan ruangan
tambahan dan sebagai hasil adopsi dari berbagai pengaruh budaya luar.
Penambahan bagian bangunan, yaitu ruang shalat perempuan dan ruang tempat
wudhu. Pengaruh teknologi Eropa (Belanda) juga tampak dari bentuk jendela dan
pintu masjid, serta pembuatan dinding bangunan dengan bata yang dilepas.
Masjid kuno di cikoneng
dalam bahan bangunannya terdapat dalam penggunaan bahan kayu dan teknologi yang
mengikuti pembuatannya merupakan pengaruh dari orang-orang cina yang dikenal
sebagai ahli atau tukang kayu pada zamannya.demikian juga dengan adanya
mangkuk-mangkuk porselin dan kaca yang ditanam di dinding sebagai hiasan pada
mihrab, dimungkinkan juga sebagai pengaruh Cina. Orang-orang Cina adalah salah
satu suku bangsa yang menjadi pendatang di wilayah Cikoneng Anyer Banten.
Corak akulturasi budaya
yang tampak pada bentuk dan gaya arsitektur masjid cikoneng Anyer merupakan
salah satu bentuk strategi budaya para ulama, dalam menyebarkan dan
mengembangkan ajaran Islam. Selain itu, masjid cikoneng Anyer merupakan
peninggalan zaman dahulu, maka masyarakat kampung cikoneng masih selalu
merawatnya. Serta masyarakat setempat harus memberitahu jika ada masjid
cikoneng peninggalan pada zaman dahulu yang dekat dengan mercusuar bojong dan
seharusnya dimanfaatkan agar para wisatawan yang berwisata di sekitar pantai
Anyer harus mengetahui bahwa ada masjid kuno di daerah kampung Cikoneng. Dan
masjid tersebut bisa digunakan para wisatawan untuk sembahyang juga.
Pesan
penulis dalam laporan kearifan lokal tentang wujud akulturasi masyarakat muslim
cikoneng, masyarakat Indonesia harus mengetahui bahwa ada masjid kuno pada
peninggalan zaman dahulu di kampung Cikoneng Anyer yang harus dilestarikan dan
diakui oleh pemerintah. Bukan hanya masjid kuno yang ada di jawa dan khususnya
masjid agung banten saja, tetapi masyarakat Banten juga setidaknya mengetahui
masjid cikoneng Anyer Banten ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar