Seni Rampak Bedug
Sebagai Media Dakwah di Banten
Abstract
Banten has many traditional arts
that still exist until now, one of them is rampak bedug. It is a combined art;
music, dance and singing, that at first appears from Pandeglang society in
around 1950. The artist of rampak bedug believes that this art will exist for
long time, because it is the very interesting and special art. Moreover, this
art can be used as the media of da’wa to young generation. The values of Islam
can be found in the performance of dance, music and its lyrics. This research
of rampak bedug uses the dscriptive qualitative method by the six groups of
rampak bedug as the unit of analysis; they are Bale Seni Ciwasiat, group of
Haji Ilen, group of Kitapa, group of Putra Medal, group of Layung Sari, and
group of Sentra Pulosari. The datasubmitted technique uses interview,
observation, library research, and documentation. The writer found that rampak
bedug is actually has the message of da’wa, because in the content of lyrics
using the lyrics of shalawat Nabi and religious songs. Besides, in the performance
he found the message of tauhid, shari’a dan akhlak. Those points are the main
points of the da’wa in Islam.
Abstraksi
Banten memiliki banyak kesenian
tradisional yang hingga kini masih terpelihara, salah satunya adalah kesenian
rampak bedug. Kesenian ini merupakan perpaduan antara seni musik, tari dan
suara, yang pada awalnya lahir dari masyarakat Pandeglang sekitar tahun
1950-an. Para penggeliat kesnian rampak bedug meyakini bahwa kesenian ini akan
terus terpelihara untuk waktu lama, karena kesenian ini sangat menarik dan
khas. Lebih dari itu, kesenian ini dapat digunakan sebagai media dakwah bagi
kalangan anak muda. Nilai-nilai Islam dapat ditemukan dalam prtunjukan
tariannya, musiknya, hingga liriknya. Penelitian tentang rampak bedug ini
menggunakan metode deskriptif qualitatif dengan menjadikan enam kelompok seni
rampak bedug sebagai unit analisinya, yakni Bale Seni Ciwasiat, kelompok Haji
Ilen, kelompok Kitapa, kelompok Putra Medal, kelompok Layung Sari, dan kelompok
Sentra Pulosari. Penulis menemukan bahwa rampak bedug sebenarnya mengandung
pesan-pesan dakwah, sebab dalam isi lirik yang digunakan menggunakan
lirik-lirik shalat Nabi dan lagulagu religi lainnya. Disamping itu, dalam
pertunjukannya penulis juga menemukan pesan-pesan tauhid, syariat dan akhlak.
Ketiga hal ini merupakan hal pokok dalam dakwah Islam.
Keyword: Art,
Bedug, Da’wa, Banten
Pendahuluan
Dakwah
merupakan bagian penting dalam ajaran Islam. Penyampaian ajaran Islam kepada
orang lain tentu harus dilakukan dengan proses komunikasi yang baik, menarik
dan tepat sasaran. Proses komunikasi itulah yang kemudian dikenal dalam Islam
sebagai dakwah. Namun, pada prakteknya, proses komunikasi dalam dakwah Islam
terkadang
terkendala banyak hal, disebabkan tidak sinkronnya antara
apa yang disampaikan seorang da’i dengan orang yang mendengarkannya. Oleh
karena itu, proses komunikasi harus menggunakan media yang selaras,
komunikatif, dan memahami kecenderungan pendengarnya.
Hingga saat ini ada banyak faktor yang menjadi
penyebab tidak sinkronnya pesan dakwah. Salah satunya adalah karena dakwah yang
selama ini dilakukan cenderung kering, impersonal, dan hanya bersifat
informatif belaka, dan belum bahkan tidak menggunakan teknik-teknik komunikasi
yang efektif.1 Situasi ini merupakan cermin wajah dakwah yang belum
berpijak di atas realitas sosial yang ada. Dakwah yang terjadi di masyarakat
tidak memiliki hubungan interdependensi yang sangat kuat,2 sehingga
dakwah cenderung tidak tepat sasaran.
Dalam konteks ini, ada dua sisi
dakwah yang tidak dapat dipisahkan, yaitu menyangkut isi dan bentuk, subtansi
dan forma, pesan dan cara penyampaiannya, esensi dan metode. Dua sisi dari hal
tersebut tentu tidak terpisahkan. Hanya saja, perlu disadari bahwa isi,
substansi, pesan, dan esensi senantiasa mempunyai dimensi universal yang tidak
terikat oleh ruang dan waktu. Dalam hal ini subtansi dakwah adalah pesan
keagamaan itu sendiri, itulah sisi pertama dalam dakwah. Sisi keduanya adalah
bentuk, forma, cara penyampaian dan metode.3 Seorang da’i hendaklah
memilih metode dan media yang dari masa ke masa terus berkembang. Yang tak
kalah pentiingnya lagi adalah: media dakwah tersebut berpijak pada budaya dan
kultur masyarakatnya. Salah satu media dakwah kultural yang mampu mendekatkan
seorang da’i dengan jamaahnya adalah melalui seni dan budaya.
Seni merupakan media yang mempunyai
peranan penting dalam melakukan pelaksanaan kegiatan religi, karena media
tersebut memiliki daya tarik yang dapat mengesankan hati setiap pendengar dan
penonton. Melalui kesenian tentunya tidak hanya sebagai hiburan belaka, namun
orang mencipta kesenian mempunyai tujuan-tujuan tertentu, misalnya sebagai mata
pencaharian, untuk propaganda atau bahkan untuk
berdakwah. Bagi mereka yang menikmati suatu karya seni
tentunya akan tergerak untuk menghayati apa sebenarnya misi yang terkandung di
dalamnya. Di dalam gempita dan persaingan kelompok kesenian di zaman modern
ini, tidak menjadikan kesenian-kesenian tradisional merasa pesimis untuk
mendapatkan simpatisan dari publik atau masyarakat, namun justru menjadi acuan
untuk lebih meningkatkan mutu kesenian yang ditampilkan. Hal ini terbukti
dengan masih hidup dengan suburnya kesenian-kesenian tradisional di
daerah-daerah.
Media dakwah
lewat seni memiliki banyak keunggulan. Seni tidak lepas dari masalah keindahan,
kesenangan dan segala sesuatu yang mempesona dan mengasyikkan. Hal ini karena
pada dasanya seni diciptakan untuk melahirkan kesenangan. Sedangkan menikmati
keindahan dan kesenangan adalah keinginan dan kegemaran manusia karena hal
tersebut merupakan fitrah naluri manusia yang dianugerahkan Allah swt kepada
manusia. Sepanjang sejarah kehidupan manusia belum pernah ditemukan umat yang
menjauhkan diri dari berbagai macam seni, khususnya seni musik dan tari. Kedua
kesenian ini bahkan digunakah oleh para pendakwah terdahulu (para wali) dalam
menyiarkan agama Islam di Nusantara. Hasilnya tentu sangat efektif. Islam masuk
ke nusantara tanpa peperangan, melainkan dengan aman, indah dan damai, yakni
dengan seni dan budaya.
Sebelum Islam hadir di Tanah Arab,
bangsa Arab sebenarnya sudah mengenal bahkan tergolong mahir dalam bersyair,
bernyanyi dan berorasi. Bernyanyi dan bermain musik saat itu tidak hanya
dilakukan oleh kaum laki-laki, tetapi juga oleh kaum wanita. Mereka sangat
mahir memainkan musik rumah, duff (tamborin), qusaba, dan mizmar
(alat musik
sejenis seruling).4 Islam pun datang dan hadir
dengan diturunkannya al-Qur’an, yang setiap ayatnya membuat para pencinta seni
dan sastra terkagum-kagum, karena al-Qur’an memiliki gaya bahasa yang sangat
indah.
Maka tak heran, kedatangan
Rasulullah dan rombongan saat pertama kali tiba Yatrib disambut dengan untaian
musik. Rasulullah pun merasa senang dengan sambutan tersebut, yang mengindikasikan
bahwa Rasulullah tidak melarang umat Islam. Musik atau lagu religius (qasidah,
al-handasah, al-shawt) dalam Islam kini tidak dipersoalkan, meskipun
pada awalnya mungkin dipertentangkan.5 Hal ini mengingat bahwa
kesenian merupakan media paling efektif untuk berdakwah,
karena para ulama zaman dulu pun melakoninya. Hal ini tak terkecuali dengan apa
yang terjadi di Banten. Islam hadir di Banten melalui dakwah kultural yang
persuasif dan komunikatif, sehingga mampu diterima.
Para ulama
Banten menanamkan nilai-nilai Islam lewat kesenian dan kebudayaan. Pola dakwah
lewat kesenian ini kemudian dijadikan tokoh-tokoh Banten untuk turut serta
melestarikan dan menciptakan kesenian baru. Salah satunya adalah rampak bedug.
Meski tergolong usia kesenian ini baru sekitar setengah abad lalu, tapi
nilai-nilai dakwah
yang ditanamkan masih mengikuti pola dakwah ulama zaman dulu
di Banten. Di tengah pesatnya kemajuan kesenian, para penggeliat kesenian rudat
tetap meyakini bahwa kesenian ini akan tetap bertahan di Banten, karena
memiliki kekhasan tersendiri.
Penulis tertarik untuk melakukan penelitian pada kesenian
rampak bedug karena kesenian ini mengandung pesan-pesan dakwah Islam di
dalamnya. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan gambaran tentang pesan dakwah
apa saja yang terkandung didalamnya. Dalam tulisan ini penulis menggunakan
metode deskriptif kualitatif dengan menjadikan
enam sanggar rampak bedug sebagai unit analisinya, yakni
sanggar Bale Seni Ciwasiat, kelompok Haji Ilen, group seni rampak bedug Kitapa,
group rampak bedug Putra Medal, group Layung Sari, dan group Sentra Pulosari.
Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan wawancara, observasi, pustaka, dan
dokumentasi.
Pembahasan
1. Seni
Islam Sebagai Media Dakwah
Seni adalah tata hubungan manusia
dengan bentuk-bentuk pleasure yang menyenangkan.6 Seni
merupakan hasil kreasi manusia yang mengedepankan estetika sehingga
dapat diterima dan dinikmati oleh orang lain. Menurut Yusuf Qardhawi,
seni adalah suatu kemajuan yang dapat meningkatkan harkat dan martabat
manusia dan tidak
menurunkan martabatnya. Ia merupakan ekspresi jiwa yang
mengalir babas, memerdekakan manusia dari rutinitas dan kehidupan mesin
produksi, berpikir, bekerja dan berproduksi.7 Menurut C. Isror, seni
meliputi seluruh yang dapat menimbulkan kalbu rasa keindahan, sebab seni
diciptakan untuk melahirkan gelombang kalbu rasa keindahan manusia.8
Dari beberapa definisi ini dapat diambil suatu gambaran yang jelas bahwa yang
disebut seni adalah usaha manusia yang bertujuan untuk menjelmakan rasa indah
yang ada dalam lubuk hati manusia dalam bentuk yang dapat menyenangkan orang
yang sedang
menikmatinya. Bisa dikatakan bahwa seni adalah sesuatu yang
bisa membuat hati manusia merasa senang, nyaman dan tenang tapi tetap
mendapatkan nilai. Dalam konteks hubungan antar manusia, seni adalah media
komunikasi antara yang melakukan kegiatan seni dengan yang menikmatinya.
Media adalah perantara atau
pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan.9 Jika seorang
peraga atau pencipta seni menampilkan karya seninya, maka ia memerlukan media
sebagai jembatan untuk menyampaikan pesan kepada penikmatnya. Begitu juga
dengan seorang pendakwah. Ia memerlukan media untuk bisa menyampaikan
pesanpesan
dakwahnya. Media dakwah yang bisa digunakan oleh seorang
seniman dalam berdakwah adalah alat atau perantara untuk mengajak seseorang
untuk ber-amar makrúf nahyi munkar, yakni berupa pertunjukan seni dan
budaya sebagai media syi’ar Islam. Pertunjukan seni yang digunakan tentu saja
harus mengikuti kehendak yang diinginkan orang penikmatnya. Semakin kesenian
itu digandrungi, maka semakin kuat pesan yang bisa disampaikan kepada
penikmatnya.
Kini, di tengah perkembangan zaman
yang begitu mengglobal dan kegiatan informasi kian masif dan menyeluruh, maka
media-media dakwah mau tak mau harus mengikuti zamannya pula. Sesuai dan
seiring dengan lajunya perkembangan zaman, usaha penyelenggaraan dakwah semakin
berat dan kompleks. Ini disebabkan karena masalah-masalah yang dihadapi dakwah
semakin berkembang dan kian kompleks. Dakwah adalah ajakan atau seruan untuk
mengajak kepada seseorang atau sekelompok orang untuk mengikuti dan mengamalkan
ajaran dan nilai-nilai Islam.10
Seni sebenarnya mempunyai bentuk
yang bermacam-macam tergantung penciptanya. Berdasarkan pengertian seni di
atas, maka pembagian seni bila ditinjau dari segi penyampaiannya ada empat
macam, yaitu; pertama, seni rupa, yaitu karya seni yang disampaikan
dengan menggunakan media rupa seperti lukisan, patung dan
ukiran; kedua, seni suara, yaitu karya seni yang
disampaikan dengan menggunakan media suara baik suara benda, suara musik, atau
suara manusia seperti instrument italia, dan vocal; ketiga, seni gerak,
yaitu karya yang disampaikan dengan menggunakan gerak seperti seni tari, senam
dan sendra tari; dan keempat, seni sastra, yaitu karya seni yang
disampaikan dengan menggunakan media bahasa seperti puisi,
cerpen dan pantun.11
Dalam agama Islam, seni tidaklah
masuk ke dalam wilayah agama, akan tetapi masuk ke dalam wilayah kebudayaan,
sebab seni merupakan hasil karya cipta manusia untuk menjelmakan rasa indah
dalam hati untuk dinikmati orang. Islam membolehkan penganutnya untuk berseni,
selama di dalam berseni itu tidak membawa ke arah yang menyesatkan atau
dilarang oleh syari’at agama.
Salah satu kesenian yang sejak dulu
menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam manusia modern saat ini adalah seni
musik. Musik mempunyai arti penting dari sudut pandang spiritual tidak hanya
bagi musik itu sendiri melainkan juga dalam hubungannya dengan syair sebagaimana
telah diperlihatkan oleh Jalaluddin Rumi. Al-Qur’an sekalipun dalam prosodi
tradisionalnya merupakan musik dan syair sekaligus, meskipun secara tradisional
ia tidak diklasifikasikan sebagai keduanya, namun karena ia merupakan firman
Tuhan, maka termasuk dalam kategori ’di atas’ seluruh kategori seni manusia.12
Artinya, secara bentuk, forma, maka kesenian musik sebenarnya tak terpisahkan
dengan islam itu sendiri. Sebab, seni dalam mempunyai noktah dan tujuan yang
jelas yaitu sebagai manifestasi beribadah kepada Allah. Menurut Islam, seni
tidak boleh diklasifikasikan kepada subjek atau objek semata-mata. Ia harus
dilihat sebagaimana Islam sendiri memandang sesuatu. Ia tidak dilihat pada satu
sudut tertentu tetapi pada sesuatu yang menyeluruh, manakala kandungannya pun
seiring dengan nilai-nilai Islam.
Seni
sebagai media dakwah artinya seni digunakan untuk untuk mencapai tujuan dakwah
yang telah ditentukan. Media dakwah ini dapat berupa barang (material), orang,
tempat, kondisi tertentu, dan lain sebagainya. Media dakwah sangat penting
sekali peranannya, sebab dakwah merupakan hal yang sangat komplek dan unik,
artinya dalam
dakwah terdapat beberapa obyek dakwah yang berbagai macam
perbedaan, seperti kebudayaan, ideologi, dan sebagainya, sehingga tujuan dakwah
yang ingin dicapai oleh da’i dapat terlaksana secara efektif dan efisien.
Asmuni syukir menyebutkan bahwa
media dakwah bisa dilakukan lewat enam macam cara atau alat, satu diantaranya
adalah lewat seni dan budaya. Salah satunya adalah lewat seni musik.13
Artinya, seni rampak, yang merupakan penggabungan kesenian musik suara dan
tari, dapat diidentifikasikan sebagai media dakwah yang efektif, karena
penggabungan ketiga unsur dalam forma kesenian ini begitu estetis. Bagi
masyarakat Islam Banten, seni rampak bedug merupakan kesenian yang memiliki
keunikan, ketertarikan yang menyimpan nilai-nilai Islam yang agung.
Dalam dunia dakwah, ada tiga hal
yang menjadi pesan pokok; yakni pesan akidah, pesan syariat dan pesan akhlak.
Ketiga pesan ini termaktub dalam kegiatan kesenian rampak bedug. Sebagai
kesenian warisan orang-orang terdahulu, rampak bedug menyimpan filosofi nilai
yang diambil dari nilai-nilai Islam, mengingat Banten merupkan wilayah yang
dibangun dari kerajaan Banten, yang dulu pernah berjaya.
2. Rampak Bedug di Banten
Banten adalah provinsi baru, yang
sah berdiri pada tahun 2000. Menurut Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banten,
terdapat beberapa kesenian khas daerah Banten, diantaranya: kesenian wayang
garing, kesenian ubrug, kesenian terbang gede, kesenian tarian kreasi, rudat,
kesenian pencak silat, pantun bambu, marawis, rampak bedug, kesenian
pandingdang pandegangan, kesenian buaya putih, dzikir saman, kesenian dogdog
lojor, debus, dan lain-lain.14 Semua jenis kesenian itu memiliki
basis komunitas yang berbeda-beda. Kesnian rampak bedug sendiri berpusat di
Kabupaten Pandeglang.
Istilah ‘rampak bedug’ diambil dari
dua kata, yaitu ‘rampak’ dan ‘bedug’. Kata ‘bedug’ sendiri sangat familiar di
telinga umat Islam, mengingat bentuk bedug memang sangat dekat dengan
unsur-unsur dakwah Islam. Bedug juga biasa mudah dijumpai di masjid-masjid dan
surau. Bedug merupakan alat bunyi yang dipergunakan sebagai petanda bahwa telah
masuk waktu untuk melakukan ibadah shalat, selain itu juga bedug digunakan sebagai
pemberitahuan terkait acara keagamaan. Bedug yang dimaksud dalam hal ini adalah
bedug lojor,15 yaitu bedug berukuran sedang dan besar, yang bisa
menghasilkan bunyi yang lumayan nyaring.
Dari sisi
sejarah keberadaan bedug di Nusantara, khususnya di Banten terdapat beberapa
pendapat. Pendapat pertama menyebutkan bahwa bedug merupakan alat bunyi yang
berasal dari Negeri Cina. Adanya Bedug dikaitkan dengan ekspedisi pasukan Cheng
Ho abad ke- 15. Laksamana utusan kekaisaran Ming yang muslim itu menginginkan
suara bedug di masjid-masjid, seperti halnya penggunaan alat
serupa di kuil-kuil Budha di Cina. Ada pula pendapat bedug berasal dari tradisi
drum Cina yang menyebar ke Asia Timur, kemudian masuk Nusantara.16
Ada pula pendapat yang menyebutkan bahwa bedug merupakan peninggalan nenek
moyang bangsa Indonesia. M. Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri
Malang, berpendapat bahwa pada masa prasejarah, nenek moyang kita juga sudah
mengenal nekara dan moko, sejenis genderang dari perunggu. Pemakaiannya berhubungan
dengan religi minta hujan.17 Selain dua pendapat itu, ada pula
pendapat lain yang menyebutkan bahwa penggunaan bedug mulai dilakukan pada
zaman Majapahit pada abad ke 14-16 Masehi. Cornelis De
Houtman dalam catatan perjalanannya D’eerste Boek menjadi saksi keberadaan
bedug yang sudah meluas pada abad ke-16. Ketika komandan ekspedisi Belanda itu
tiba di Banten, ia menggambarkan di setiap perempatan jalan terdapat genderang
yang digantung dan dibunyikan memakai tongkat pemukul yang ditempatkan di sebelahnya.
Fungsinya sebagai tanda bahaya dan penanda waktu. Kesaksian ini jelas menunjuk
pada bedug.
Sementara kata ‘rampak’ mengandung arti
‘serempak’. Serempak artinya bersamaan, berbarengan, dan harmoni. Jadi, ‘rampak
bedug’ dapat dikatakan sebagai kesenian yang menjadikan waditra berupa banyak
bedug yang digunakan sebagai sarananya dan ditabuh secara ‘serempak’ sehingga
menghasilkan irama khas yang enak untuk didengar. Rampak bedug hanya terdapat
di daerah Banten sebagai ciri khas seni budaya di wilayah itu, tepatnya di
Kabupaten Pandeglang.
Seiring
perkembangan waktu, kelompok-kelompok seni rampak bedug juga bertebaran di
beberapa wilayah di Provinsi Banten. Salah satunya adalah di Kabupaten Serang.
Di pandeglang sendiri ada sekitar sepuluh kelompok atau sanggar tari rampak
bedug. Namun, dari jumlah tersebut hanya beberapa saja yang bisa sering
dijumpai pentas
dalam event tertentu. Salah satunya sanggar Bale Seni
Ciwasiat yang bermarkas di Jl. Ciwasiat belakang BRI Pandeglang pimpinan Bapak
Rohaendi. Kelompok seni ini masih mampu bertahan di tengah terpaan modernisasi
kesenian di wilayah Banten.
Dalam pementasannya, kelompok seni
ini tidak setiap hari atau setiap minggu tampil. Kelompok seni rampak bedug
merupakan pertunjukan seni yang masih bergantung pada musim. Artinya, kesenian
ini masih terbatas pada pementasannya. Bahkan, pada awal-awalnya, kesenian ini
hanya muncul pada momentum bulan suci Ramadhan dan Hari Raya
Idul Fitri, persis seperti seni ngabedug (menabuh
bedug) atau ngadulag.
Kesenian rampak bedug merupakan
perkembangan dari seni ngabedug, yang biasa dimainkan sebagai penyambut
datangnya bulan suci Ramadhan. Kesenian rampak bedug pada awalnya merupakan
suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Pandeglang yang dikenal dengan ngadu
bedug (lomba tabuh bedug) yang dilaksanakan pada Bulan puasa setelah
selesai melaksanakan shalat Tarawih sampai menjelang sahur dalam rangka
memeriahkan bulan suci Ramadhan. Lagu rampak bedug dulunya tercipta dari alam
dan emosi masyarakat sekitar Pandeglang.
Menurut Rohaendi, ngadu bedug berawal
dari kegiatan masyarakat dalam perkampungan. Kegiatan tersebut dilakukan oleh
dua atau lebih warga kampung yang berbeda, dengan diawali oleh salah satu
kampung yang menantang dengan menabuh bedug lagu tertentu (biasanya lagu
Nangtang), yang kemudian dijawab oleh kampung lainnya. Selanjutnya terus
bersahutan, saling bergantian lagu, motif dan pola tabuh sesuai
kraetivitas warga kampungnya masing-masing. Dalam kegiatan ngadu
bedug, yang dinyatakan kalah adalah mereka yang berhenti terlebih dahulu
atau tidak dapat menjawab lagu yang dimainkan lawan. Untuk menjaga harga
diri atau kehormatan kampungnya, serta menghindari dari kekalahan,
adakalanya kegiatan ngadu bedug ini dilakukan bersahutan hingga sehari
semalam, bahkan lebih. Di Pandeglang, kampung-kampung
yang biasa melakukan Ngadu Bedug ini diantaranya: Ciaseum,
Parung Sentul, Kabayan, Salabentar, Ciguludug, Kadu Gajah, Kadu Pandak, Juhut,
Kampung Jambu, Cilaja, Cipacung, Nyoreang, Sarabaya, Ciinjuk, Cikondang, dan
lain-lain.
Bisa dikatakan bahwa kesenian ini
pertama kali mulai dipertandingkan sebagai k arya seni pada tahun 1950-an.
Awalnya pementasan rampak bedug di Kecamatan Pandeglang. Selain Bale Seni
Ciwasiat, ada pula kelompok rampak bedug yang sejak awal ikut andil dalam
mengembangkan kesenian ini, yakni kelompok Haji Ilen di Kelurahan Juhut
Kecamatan Pandeglang. Tahun 1960-1970 Haji Ilen menciptakan suatu tarian
kreatif dalam seni rampak bedug. Rampak bedug yang berkembang saat ini dapat
dikatakan sebagai hasil kreasi Haji Ilen. Pada perkembangan berikutnya,
kelompok kesenian ini berkembang dan menyebar ke daerah Kabupatn Serang seperti
Kecamatan Serang,Pamaraian dan Walantaka.
Ada pula
beberapa nama kelompok rampak bedug yang hingga kini masih eksis, seperti group
seni rampak bedug Kitapa yang dipimpin oleh TB. Ruchayat Zaen yang terdapat di
Kabupaten/Kecamatan Serang, Lopang, dan Gede, group rampak bedug Putra Medal
yang dipimpin oleh Diding Sujai, group Layung Sari yang dipimpin oleh
Utom Bustomi di Kabupaten/Kecamatan Pandeglang, dan
paguyuban Sentra Pulosari yang dipimpin oleh Hardi dengan yang bermarkas di
Kabupaten/Kecamatan Pandeglang dan Kadu Hejo.
Pada perkembangan berikutnya,
kesenian ini bisa dimainkan secara
profesional pada acara-acara hajatan (khitanan, pernikahan)
dan hari peringatan kedaerahan bahkan nasional. Rampak bedug merupakan
pengiring takbiran, pernikahan, marhabanan18, shalawatan, dan
lagu-lagu bernuansa religi lainnya. Oleh karenanya, kesenian ini berubah
menjadi suatu seni yang layak jual, sama dengan seni-seni musik komersial
lainnya. Walau para pencetus dan pemainnya lebih didasari oleh motivasi religi,
tapi masyarakat seniman dan pencipta seni memandang seni rampak bedug sebagai
sebuah karya seni yang patut dihargai.
Dulu, pemain rampak bedug terdiri
dari semuanya laki-laki. Tapi sekarang sama halnya dengan banyak seni lainnya
terdiri dari laki-laki dan perempuan. Jumlah pemain sekitar 10 orang, laki-laki
5 orang dan perempuan 5 orang. Adapun fungsi masing-masing pemain adalah
sebagai berikut: pemain laki-laki sebagai penabuh bedug dan sekaligus
kendang sedangkan pemain perempuan sebagai penabuh bedug,
baik pemain laki-laki maupun perempuan sekaligus juga sebagai penari. Busana
yang dipakai oleh pemain rampak bedug adalah pakaian muslim dan muslimah yang
disesuaikan dengan perkembangan zaman dan unsur kedaerahan. Pemain laki-laki
misalnya mengenakan pakaian model pesilat lengkap dengan sorban khas Banten,
tapi warna-warninya
menggambarkan kemoderenan: hijau, ungu, merah, dan lain-lain
(bukan hitam atau putih saja). Adapun pemain perempuan mengenakan pakaian khas
tari-tari tradisional, tapi bercorak kemoderenan dan relatif religius.
Misalnya, menggunakan rok panjang bawah lutut dari bahan batik dengan warna
dasar kuning dan di dalamnya mengenakan celana
panjang warna merah jenis celana panjang pesilat. Di Luarnya
mengenakan kain merah tanpa dijahit yang bisa dililitkan dan digunakakan untuk
semacam tarian selendang. Bajunya tangan panjang yang dikeluarkan dan diikat
dengan memakai ikat pinggang besar. Adapun rambutnya mengenakan sejenis sanggul
bungan yang terbuat dari rajutan benang semacam penutup kepala bagian belakang.
Sebagai
hasil karya anak manusia, kesenian rampak bedug tidak luput dari nilai-nilai
luhur yang ingin disampaikan kepada penonton. Kesenian yang bersumber dari
mayasrakat Pandeglang yang memiliki corak tradisi keagaaman kuat ini tentu saja
mengandung nilai-nilai positif yang ingin dikembangkan dan dinikmati oleh
penonton. Karena rampak bedug sendiri merupakan instrumen musik yang berasal
dari alat yang lekat hubungannya dengan bangunan masjid, maka tentu saja di
dalamnya mengandung nilai-nilai dakwah.
Alat bedug sendiri, bagi masyarakat
Banten, memiliki fungsi yang penting. Umumnya masjid-masjid di Banten, terutama
di Pandeglang, memiliki alat pukul bedug sebagai tanda datangnya waktu shalat.
Selain bedug, alat lain yang umumnya terdapat di masjid adalah kentongan, yang
terbuat dari kayu, yang memiliki suara yang nyaring. Keduanya,
baik bedug maupun kentongan, merupakan alat yang
dikombinasikan pada setiap datangnya waktu shalat. Selain digunakan untuk
petanda datang waktu shalat, bedug juga digunakan untuk momentum hari penting,
seperti untuk takbir keliling, untuk membangunkan warga sahur di malah Bulan
Puasa, dan lain-lain. Ketika bedug digunakan sebagai instrumen kesenian, maka
ada pergeseran fungsi, yang semula untuk kegiatan keagamaan menjadi alat untuk
kegiatan hiburan. Namun demikian, pada pertunjukan rampak bedug, meski
digunakan untuk hiburan, tapi tidak meninggalkan pesanpesan
ajaran Islam di dalamnya. Karena, bagaimana pun juga, bedug
tidak lepas dari perannya sebagai alat yang awalnya digunakan untuk kegiatan
keagamaan.
Dalam kemasan penampilannya,
kesenian rampak bedug memiliki tiga fungsi. pertama, kesenian ini
ditampilkan untuk kegiatan yang bernilai religi. Biasanya dipentaskan untuk
menyemarakan bulan suci Ramadhan dengan alat-alat yang memang dirancang para
ulama pewaris Nabi pengiring takbiran dan marhabanan. Kedua,
seni rampak bedug memiliki nilai liburan dan ajang santai. Hal ini biasanya
dilakukan oleh
kalangan remaja di tengah-tengah waktu santai. Ketiga,
nilai ekonomis, yakni seni rampak bedug pada dasarnya merupakan karya seni yang
layak jual. Masyarakat pengguna sudah biasa mengundang seniman rampak bedug
untuk memeriahkan acara-acara mereka.19
Dalam
konteks fungsinya sebagai penyemarak kegiatan keagamaan, kesenian rampak bedug
biasanya menampilkan lagu-lagu shalawat Nabi. Salah satu lagu yang acapkali
ditampilkan adalah lagu Shalawat Badar. Pementasan lagu shalawat Badar pada
kesenian rampak bedug mengandung tiga pesan dakwah, yakni pesan dakwah tauhid,
syariat dan
akhlak. Pesan tauhid yang terkandung dalam pementasan lagu
ini terlihat pada gerakan para penari dan penabuh bedug, yang menggambarkan manifestasi
ajaran ketauhidan kepada Allah swt. Menurut John L Esposito, budaya tari dalam
masyarakat muslim merupakan manifestasi artistik yang disajikan dalam bentuk
tertentu ajaran Islam tentang
tauhid, keesaan Allah, kemanusiaan, dan segala eksistensi.20
Tarian yang kemudian muncul di tengah masyarakat merupakan bentuk seni dalam
budaya Islami berlandaskan gagasan ketunggalan dan transendensi Allah. Hal ini
dapat kita lihat pada tarian rampak bedug yang memutar dan bergerak lincah
seperti orang yang sedang mengalami ekstase
cinta. Menurut Jalaluddin Rumi, dalam diri manusia ada
potensi atau hanif yang jika diberdayakan dengan benar dapat membahagiakan.
Potensi itu
disebut Cinta Ilahi, yakni jalan cinta kepada Yang Maha benar. Cinta adalah
energi penggerak kehidupan dan perputaran alam semesta.21 Cinta
adalah sarana utama untuk transendensi diri atau pembersihan diri (tazkiyat
al-nafs). Orang yang menari akan memiliki jiwa yang lembut dan menafikan
segala kebencian yang bersemayam dalam
hati. Lantunan zikir juga biasanya mengiring setiap
pertunjukan rampak beduk seperti lafal lâ ilâha illa-allâh;
sebagai ungkapan pincak ketauhidan seorang hamba. Sambil melafalkan lâ ilâha
illa-allâh, para penari rampak bedug sambil menggerakkan kepalanya
ke kiri dan ke kanan seraya memusatkan pikirannya kepada Sang Khalik.
Dalam pandangan dan perspektif
Islam, ajaran tauhid atau persaksian dan pengakuan tiada Tuhan selain Allah,
adalah sentral dan asasi. Semua ajaran Islam berpangkal dan berlandaskan pada
doktrin tauhid ini. Tauhid mirip dengan titik pusat suatu lingkaran. Adanya
lingkaran ditentukan dan hanya akan berbentuk dengan adanya titik pusat itu.
Begitu pula dengan Islam, hanya ada karena ada tauhid. Tiadanya tauhid berarti
tiadanya Islam. Rusaknya tauhid juga rusaknya Islam.22 Keimanan dan
keislaman seseorang ditentukan oleh sejauh mana ia memegang doktrin ketauhidan
tersebut. Prinsip tauhid merupakan inti dari semua ajaran para nabi sebelum
datangnya risalah Nabi Muhammad saw. Semenjak Nabi Adam as hingga Nabi Muhammad
saw, tauhid dijadikan sebagai
asa dan esensi ajaran. Semua Nabi mengemban misi utama yang
sama, yakni tegaknya tauhid sebagai landasan hidup dan kehidupan umat manusia
di muka bumi. Pesan ajaran tauhid juga terkandung dalam lirik syair lagu
shalawat badar, yang berisi pujian-pujian kepada Rasulullah saw dan para
sahabat yang syahid pada Perang Badar. Rasulullah harus diyakini sebagai Nabi
terakhir yang bisa memberi syafaat di Hari Kiamat (QS. 33: 43). Untuk
mendapatkan syafaat Rasulullah hendaknya umat Islam senantiasa melantunkan
shalawat, pujian dan kecintaan kepada Rasulullah saw. Bershalawat kepada
Rasulullah adalah perintah al-Quran (QS. 33: 56).
Pesan
syariat yang terkandung dalam pementasan lagu Shalawat badar pada kesenian
rampak bedug dapat terlihat pada gerakan penabuh bedug dan penarinya. Syariat
adalah norma (ketentuan) Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan tuhan
(ibadah) dan
hubungan manusia dengan manusia (muamalat). Banyak gerakan
atau tarian yang menirukan peragaan shalat dan berdoa. Ini menunjukkan bahwa
pentingnya dua hal ini untuk dijalankan umat Islam dalam hidup ini. Bentuk
adegan shalat diantaranya adalah gerakan takbir, meletakkan kedua tangan di
dada dan duduk iftirasy. Lebih dari itu, instrumen utama yang digunakan
dalam kesenian ini adalah bedug, yang secara pokok sebenarnya digunakan sebagai
petanda datangnya waktu shalat.
Dengan kata lain, pesan syariat yang
ingin disampaikan dalam kesenian ini adalah mengingat kewajiban shalat lima
waktu. Karena, di Banten, khususnya di Pandeglang, suara bedug diperdengarkan
ketika datang lima waktu shalat. Hal ini tentu penting dan fundamental,
mengingat shalat merupakan ibadah paling utama dalam ajaran Islam. Tegaknya
spiritualitas seseorang terlihat dari ia shalat atau tidak. Jika ia mendirikan
shalat, maka ia sebenarnya menegakkan (spiritualitas)
agamanya. Tapi, jika ia meninggalkan shalat, maka itu artinya ia meruntuhkan
(spiritualitas) agama dalam dirinya (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh karena,
kesenian rampak bedug tentu sangat tepat dan relevan untuk dilestarikan dan
dikembangkan mengingat kesenian ini memiliki pesan
yang fundamental.
Disamping itu, syair Shalawat Badar
yang dilantunkan oleh penyanyi berisi pesan akhlak, yakni pentingnya menjunjung
kemuliaan Rasulullah dan senantiasa meneladani perjuangannya. Lagu shalawat
Badar juga dilantunkan dengan irama semangat tinggi karena untuk memberi pesan
bahwa dalam hidup ini umat Islam tidak boleh putus asa dan senantiasa berjuang,
tidak malas-malasan, dan berpangku tangan. Jika musibah, cobaan dan masalah
menimpa seorang muslim, maka ia tidak boleh berputus asa (QS. 5:68, QS. 17:83
dan QS. 41:49). Kita dilarang putus asa dari rahmat Allah (QS. 39:53), sebab
pertolongan Allah begitu dekat dan kapan pun akan datang (QS. 2:214). Yang putus
asa hanyalah orangorang kafir (QS. 12:87) dan orang-orang yang sesat (QS.
15:56). Syair lirik
lain yang biasanya dinyanyikan dalam pementasan kesenian
rampak bedug adalah Shalawat Yâ Nâr al-‘Aini, Thola’al Badru
‘Alainâ, Al-Shalătu ‘Ala Nabi, Thola’a al-Badru ’Alainâ, dan
lain sebagainya.
Yang tak kalah penting dalam
kesenian rampak bedug adalah pesan akhlak sosialnya. Dalam kesenian ini
digambarkan perpaduan antara seni musik, suara, dan tari, yang dilakoni oleh
tiga kelompok, yakni penabuh bedug (musik), vokalis (suara), dan penari. Ketiga
unsur ini saling membahu dan melengkapi sehingga menghasilkan harmoni suara,
musik dan tarian yang apik. Ini tentu menggambarkan pesan
al-Quran tentang perintah untuk saling tolong-menolong (QS.5:2). Masyarakat
sebenarnya sudah terbiasa dengan tradisi gotong royong.
Tarian
dalam rampak bedug ada yang diberi judul Endahna Babarengan, yang
berarti indahnya bersama-sama. Endahna Babarengan adalah menyampaikan
informasi kepada orang lain, bahwa jika sesuatu dilakukan bersama-sama,
maka akan menghasilkan sesuatu yang indah. Hal tersebut merupakan
perwujudan dari keinginan untuk menabuh bedug secara bersama (rampak)
sehingga akan menghasilkan harmonisasi yang indah. Konsep tarian ini
tentu saja bersumber dari nilai-nilai Islam bahwa kebersamaan
(berjamaah) adalah perintah al- Quran. Umat Islam hendaknya tetap
bersatu, bergotong royong, dan
menghindari perpecahan (QS. 3:103).
Penutup
1. Kesimpulan
Kesenian rampak bedug, meski berakar dari tradisi lokal,
namun nilai-nilai yang ada di dalamnya mengandung pesan-pesan dakwah Islam,
yakni soal ajaran tauhid, syariat dan akhlak. Hal ini disebabkan ada pengaruh
dari kesenian-kesenian tradisional lainnya, seperti rudat, marawis, ubrud,
zikir saman, yang memiliki pesan-pesan dakwah Islam, yang ditanamkan oleh para
ulama pendahulu Banten. Para ulama tempo dulu menyebarkan Islam di Tanah Banten
lewat dakwah kultural, diantaranya adalah lewat berkesenian.
DAFTAR PUSTAKA
Aam, Masduki dkk., Kesenian Tradisional Provinsi Banten.
Serang: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, 2005.
Al-Qardhawi, Yusuf, Seni dan Hiburan Dalam Islam,
Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar