Kamis, 12 Januari 2017

Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten



Seni Rampak Bedug
Sebagai Media Dakwah di Banten


Abstract
Banten has many traditional arts that still exist until now, one of them is rampak bedug. It is a combined art; music, dance and singing, that at first appears from Pandeglang society in around 1950. The artist of rampak bedug believes that this art will exist for long time, because it is the very interesting and special art. Moreover, this art can be used as the media of da’wa to young generation. The values of Islam can be found in the performance of dance, music and its lyrics. This research of rampak bedug uses the dscriptive qualitative method by the six groups of rampak bedug as the unit of analysis; they are Bale Seni Ciwasiat, group of Haji Ilen, group of Kitapa, group of Putra Medal, group of Layung Sari, and group of Sentra Pulosari. The datasubmitted technique uses interview, observation, library research, and documentation. The writer found that rampak bedug is actually has the message of da’wa, because in the content of lyrics using the lyrics of shalawat Nabi and religious songs. Besides, in the performance he found the message of tauhid, shari’a dan akhlak. Those points are the main points of the da’wa in Islam.

Abstraksi
Banten memiliki banyak kesenian tradisional yang hingga kini masih terpelihara, salah satunya adalah kesenian rampak bedug. Kesenian ini merupakan perpaduan antara seni musik, tari dan suara, yang pada awalnya lahir dari masyarakat Pandeglang sekitar tahun 1950-an. Para penggeliat kesnian rampak bedug meyakini bahwa kesenian ini akan terus terpelihara untuk waktu lama, karena kesenian ini sangat menarik dan khas. Lebih dari itu, kesenian ini dapat digunakan sebagai media dakwah bagi kalangan anak muda. Nilai-nilai Islam dapat ditemukan dalam prtunjukan tariannya, musiknya, hingga liriknya. Penelitian tentang rampak bedug ini menggunakan metode deskriptif qualitatif dengan menjadikan enam kelompok seni rampak bedug sebagai unit analisinya, yakni Bale Seni Ciwasiat, kelompok Haji Ilen, kelompok Kitapa, kelompok Putra Medal, kelompok Layung Sari, dan kelompok Sentra Pulosari. Penulis menemukan bahwa rampak bedug sebenarnya mengandung pesan-pesan dakwah, sebab dalam isi lirik yang digunakan menggunakan lirik-lirik shalat Nabi dan lagulagu religi lainnya. Disamping itu, dalam pertunjukannya penulis juga menemukan pesan-pesan tauhid, syariat dan akhlak. Ketiga hal ini merupakan hal pokok dalam dakwah Islam.
Keyword: Art, Bedug, Da’wa, Banten













Pendahuluan

Dakwah merupakan bagian penting dalam ajaran Islam. Penyampaian ajaran Islam kepada orang lain tentu harus dilakukan dengan proses komunikasi yang baik, menarik dan tepat sasaran. Proses komunikasi itulah yang kemudian dikenal dalam Islam sebagai dakwah. Namun, pada prakteknya, proses komunikasi dalam dakwah Islam terkadang
terkendala banyak hal, disebabkan tidak sinkronnya antara apa yang disampaikan seorang da’i dengan orang yang mendengarkannya. Oleh karena itu, proses komunikasi harus menggunakan media yang selaras, komunikatif, dan memahami kecenderungan pendengarnya.
 Hingga saat ini ada banyak faktor yang menjadi penyebab tidak sinkronnya pesan dakwah. Salah satunya adalah karena dakwah yang selama ini dilakukan cenderung kering, impersonal, dan hanya bersifat informatif belaka, dan belum bahkan tidak menggunakan teknik-teknik komunikasi yang efektif.1 Situasi ini merupakan cermin wajah dakwah yang belum berpijak di atas realitas sosial yang ada. Dakwah yang terjadi di masyarakat tidak memiliki hubungan interdependensi yang sangat kuat,2 sehingga dakwah cenderung tidak tepat sasaran.
Dalam konteks ini, ada dua sisi dakwah yang tidak dapat dipisahkan, yaitu menyangkut isi dan bentuk, subtansi dan forma, pesan dan cara penyampaiannya, esensi dan metode. Dua sisi dari hal tersebut tentu tidak terpisahkan. Hanya saja, perlu disadari bahwa isi, substansi, pesan, dan esensi senantiasa mempunyai dimensi universal yang tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dalam hal ini subtansi dakwah adalah pesan keagamaan itu sendiri, itulah sisi pertama dalam dakwah. Sisi keduanya adalah bentuk, forma, cara penyampaian dan metode.3 Seorang da’i hendaklah memilih metode dan media yang dari masa ke masa terus berkembang. Yang tak kalah pentiingnya lagi adalah: media dakwah tersebut berpijak pada budaya dan kultur masyarakatnya. Salah satu media dakwah kultural yang mampu mendekatkan seorang da’i dengan jamaahnya adalah melalui seni dan budaya.
Seni merupakan media yang mempunyai peranan penting dalam melakukan pelaksanaan kegiatan religi, karena media tersebut memiliki daya tarik yang dapat mengesankan hati setiap pendengar dan penonton. Melalui kesenian tentunya tidak hanya sebagai hiburan belaka, namun orang mencipta kesenian mempunyai tujuan-tujuan tertentu, misalnya sebagai mata pencaharian, untuk propaganda atau bahkan untuk
berdakwah. Bagi mereka yang menikmati suatu karya seni tentunya akan tergerak untuk menghayati apa sebenarnya misi yang terkandung di dalamnya. Di dalam gempita dan persaingan kelompok kesenian di zaman modern ini, tidak menjadikan kesenian-kesenian tradisional merasa pesimis untuk mendapatkan simpatisan dari publik atau masyarakat, namun justru menjadi acuan untuk lebih meningkatkan mutu kesenian yang ditampilkan. Hal ini terbukti dengan masih hidup dengan suburnya kesenian-kesenian tradisional di daerah-daerah.
            Media dakwah lewat seni memiliki banyak keunggulan. Seni tidak lepas dari masalah keindahan, kesenangan dan segala sesuatu yang mempesona dan mengasyikkan. Hal ini karena pada dasanya seni diciptakan untuk melahirkan kesenangan. Sedangkan menikmati keindahan dan kesenangan adalah keinginan dan kegemaran manusia karena hal tersebut merupakan fitrah naluri manusia yang dianugerahkan Allah swt kepada manusia. Sepanjang sejarah kehidupan manusia belum pernah ditemukan umat yang menjauhkan diri dari berbagai macam seni, khususnya seni musik dan tari. Kedua kesenian ini bahkan digunakah oleh para pendakwah terdahulu (para wali) dalam menyiarkan agama Islam di Nusantara. Hasilnya tentu sangat efektif. Islam masuk ke nusantara tanpa peperangan, melainkan dengan aman, indah dan damai, yakni dengan seni dan budaya.
Sebelum Islam hadir di Tanah Arab, bangsa Arab sebenarnya sudah mengenal bahkan tergolong mahir dalam bersyair, bernyanyi dan berorasi. Bernyanyi dan bermain musik saat itu tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki, tetapi juga oleh kaum wanita. Mereka sangat mahir memainkan musik rumah, duff (tamborin), qusaba, dan mizmar (alat musik
sejenis seruling).4 Islam pun datang dan hadir dengan diturunkannya al-Qur’an, yang setiap ayatnya membuat para pencinta seni dan sastra terkagum-kagum, karena al-Qur’an memiliki gaya bahasa yang sangat indah.
Maka tak heran, kedatangan Rasulullah dan rombongan saat pertama kali tiba Yatrib disambut dengan untaian musik. Rasulullah pun merasa senang dengan sambutan tersebut, yang mengindikasikan bahwa Rasulullah tidak melarang umat Islam. Musik atau lagu religius (qasidah, al-handasah, al-shawt) dalam Islam kini tidak dipersoalkan, meskipun pada awalnya mungkin dipertentangkan.5 Hal ini mengingat bahwa
kesenian merupakan media paling efektif untuk berdakwah, karena para ulama zaman dulu pun melakoninya. Hal ini tak terkecuali dengan apa yang terjadi di Banten. Islam hadir di Banten melalui dakwah kultural yang persuasif dan komunikatif, sehingga mampu diterima.
            Para ulama Banten menanamkan nilai-nilai Islam lewat kesenian dan kebudayaan. Pola dakwah lewat kesenian ini kemudian dijadikan tokoh-tokoh Banten untuk turut serta melestarikan dan menciptakan kesenian baru. Salah satunya adalah rampak bedug. Meski tergolong usia kesenian ini baru sekitar setengah abad lalu, tapi nilai-nilai dakwah
yang ditanamkan masih mengikuti pola dakwah ulama zaman dulu di Banten. Di tengah pesatnya kemajuan kesenian, para penggeliat kesenian rudat tetap meyakini bahwa kesenian ini akan tetap bertahan di Banten, karena memiliki kekhasan tersendiri.
Penulis tertarik untuk melakukan penelitian pada kesenian rampak bedug karena kesenian ini mengandung pesan-pesan dakwah Islam di dalamnya. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan gambaran tentang pesan dakwah apa saja yang terkandung didalamnya. Dalam tulisan ini penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menjadikan
enam sanggar rampak bedug sebagai unit analisinya, yakni sanggar Bale Seni Ciwasiat, kelompok Haji Ilen, group seni rampak bedug Kitapa, group rampak bedug Putra Medal, group Layung Sari, dan group Sentra Pulosari. Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan wawancara, observasi, pustaka, dan dokumentasi.



Pembahasan

1.    Seni Islam Sebagai Media Dakwah
Seni adalah tata hubungan manusia dengan bentuk-bentuk pleasure yang menyenangkan.6 Seni merupakan hasil kreasi manusia yang mengedepankan estetika sehingga dapat diterima dan dinikmati oleh orang lain. Menurut Yusuf Qardhawi, seni adalah suatu kemajuan yang dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia dan tidak
menurunkan martabatnya. Ia merupakan ekspresi jiwa yang mengalir babas, memerdekakan manusia dari rutinitas dan kehidupan mesin produksi, berpikir, bekerja dan berproduksi.7 Menurut C. Isror, seni meliputi seluruh yang dapat menimbulkan kalbu rasa keindahan, sebab seni diciptakan untuk melahirkan gelombang kalbu rasa keindahan manusia.8 Dari beberapa definisi ini dapat diambil suatu gambaran yang jelas bahwa yang disebut seni adalah usaha manusia yang bertujuan untuk menjelmakan rasa indah yang ada dalam lubuk hati manusia dalam bentuk yang dapat menyenangkan orang yang sedang
menikmatinya. Bisa dikatakan bahwa seni adalah sesuatu yang bisa membuat hati manusia merasa senang, nyaman dan tenang tapi tetap mendapatkan nilai. Dalam konteks hubungan antar manusia, seni adalah media komunikasi antara yang melakukan kegiatan seni dengan yang menikmatinya.
Media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan.9 Jika seorang peraga atau pencipta seni menampilkan karya seninya, maka ia memerlukan media sebagai jembatan untuk menyampaikan pesan kepada penikmatnya. Begitu juga dengan seorang pendakwah. Ia memerlukan media untuk bisa menyampaikan pesanpesan
dakwahnya. Media dakwah yang bisa digunakan oleh seorang seniman dalam berdakwah adalah alat atau perantara untuk mengajak seseorang untuk ber-amar makrúf nahyi munkar, yakni berupa pertunjukan seni dan budaya sebagai media syi’ar Islam. Pertunjukan seni yang digunakan tentu saja harus mengikuti kehendak yang diinginkan orang penikmatnya. Semakin kesenian itu digandrungi, maka semakin kuat pesan yang bisa disampaikan kepada penikmatnya.
Kini, di tengah perkembangan zaman yang begitu mengglobal dan kegiatan informasi kian masif dan menyeluruh, maka media-media dakwah mau tak mau harus mengikuti zamannya pula. Sesuai dan seiring dengan lajunya perkembangan zaman, usaha penyelenggaraan dakwah semakin berat dan kompleks. Ini disebabkan karena masalah-masalah yang dihadapi dakwah semakin berkembang dan kian kompleks. Dakwah adalah ajakan atau seruan untuk mengajak kepada seseorang atau sekelompok orang untuk mengikuti dan mengamalkan ajaran dan nilai-nilai Islam.10
Seni sebenarnya mempunyai bentuk yang bermacam-macam tergantung penciptanya. Berdasarkan pengertian seni di atas, maka pembagian seni bila ditinjau dari segi penyampaiannya ada empat macam, yaitu; pertama, seni rupa, yaitu karya seni yang disampaikan dengan menggunakan media rupa seperti lukisan, patung dan
ukiran; kedua, seni suara, yaitu karya seni yang disampaikan dengan menggunakan media suara baik suara benda, suara musik, atau suara manusia seperti instrument italia, dan vocal; ketiga, seni gerak, yaitu karya yang disampaikan dengan menggunakan gerak seperti seni tari, senam dan sendra tari; dan keempat, seni sastra, yaitu karya seni yang
disampaikan dengan menggunakan media bahasa seperti puisi, cerpen dan pantun.11
Dalam agama Islam, seni tidaklah masuk ke dalam wilayah agama, akan tetapi masuk ke dalam wilayah kebudayaan, sebab seni merupakan hasil karya cipta manusia untuk menjelmakan rasa indah dalam hati untuk dinikmati orang. Islam membolehkan penganutnya untuk berseni, selama di dalam berseni itu tidak membawa ke arah yang menyesatkan atau dilarang oleh syari’at agama.
Salah satu kesenian yang sejak dulu menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam manusia modern saat ini adalah seni musik. Musik mempunyai arti penting dari sudut pandang spiritual tidak hanya bagi musik itu sendiri melainkan juga dalam hubungannya dengan syair sebagaimana telah diperlihatkan oleh Jalaluddin Rumi. Al-Qur’an sekalipun dalam prosodi tradisionalnya merupakan musik dan syair sekaligus, meskipun secara tradisional ia tidak diklasifikasikan sebagai keduanya, namun karena ia merupakan firman Tuhan, maka termasuk dalam kategori ’di atas’ seluruh kategori seni manusia.12 Artinya, secara bentuk, forma, maka kesenian musik sebenarnya tak terpisahkan dengan islam itu sendiri. Sebab, seni dalam mempunyai noktah dan tujuan yang jelas yaitu sebagai manifestasi beribadah kepada Allah. Menurut Islam, seni tidak boleh diklasifikasikan kepada subjek atau objek semata-mata. Ia harus dilihat sebagaimana Islam sendiri memandang sesuatu. Ia tidak dilihat pada satu sudut tertentu tetapi pada sesuatu yang menyeluruh, manakala kandungannya pun seiring dengan nilai-nilai Islam.
            Seni sebagai media dakwah artinya seni digunakan untuk untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan. Media dakwah ini dapat berupa barang (material), orang, tempat, kondisi tertentu, dan lain sebagainya. Media dakwah sangat penting sekali peranannya, sebab dakwah merupakan hal yang sangat komplek dan unik, artinya dalam
dakwah terdapat beberapa obyek dakwah yang berbagai macam perbedaan, seperti kebudayaan, ideologi, dan sebagainya, sehingga tujuan dakwah yang ingin dicapai oleh da’i dapat terlaksana secara efektif dan efisien.
Asmuni syukir menyebutkan bahwa media dakwah bisa dilakukan lewat enam macam cara atau alat, satu diantaranya adalah lewat seni dan budaya. Salah satunya adalah lewat seni musik.13 Artinya, seni rampak, yang merupakan penggabungan kesenian musik suara dan tari, dapat diidentifikasikan sebagai media dakwah yang efektif, karena penggabungan ketiga unsur dalam forma kesenian ini begitu estetis. Bagi masyarakat Islam Banten, seni rampak bedug merupakan kesenian yang memiliki keunikan, ketertarikan yang menyimpan nilai-nilai Islam yang agung.
Dalam dunia dakwah, ada tiga hal yang menjadi pesan pokok; yakni pesan akidah, pesan syariat dan pesan akhlak. Ketiga pesan ini termaktub dalam kegiatan kesenian rampak bedug. Sebagai kesenian warisan orang-orang terdahulu, rampak bedug menyimpan filosofi nilai yang diambil dari nilai-nilai Islam, mengingat Banten merupkan wilayah yang dibangun dari kerajaan Banten, yang dulu pernah berjaya.


2. Rampak Bedug di Banten
Banten adalah provinsi baru, yang sah berdiri pada tahun 2000. Menurut Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banten, terdapat beberapa kesenian khas daerah Banten, diantaranya: kesenian wayang garing, kesenian ubrug, kesenian terbang gede, kesenian tarian kreasi, rudat, kesenian pencak silat, pantun bambu, marawis, rampak bedug, kesenian pandingdang pandegangan, kesenian buaya putih, dzikir saman, kesenian dogdog lojor, debus, dan lain-lain.14 Semua jenis kesenian itu memiliki basis komunitas yang berbeda-beda. Kesnian rampak bedug sendiri berpusat di Kabupaten Pandeglang.
Istilah ‘rampak bedug’ diambil dari dua kata, yaitu ‘rampak’ dan ‘bedug’. Kata ‘bedug’ sendiri sangat familiar di telinga umat Islam, mengingat bentuk bedug memang sangat dekat dengan unsur-unsur dakwah Islam. Bedug juga biasa mudah dijumpai di masjid-masjid dan surau. Bedug merupakan alat bunyi yang dipergunakan sebagai petanda bahwa telah masuk waktu untuk melakukan ibadah shalat, selain itu juga bedug digunakan sebagai pemberitahuan terkait acara keagamaan. Bedug yang dimaksud dalam hal ini adalah bedug lojor,15 yaitu bedug berukuran sedang dan besar, yang bisa menghasilkan bunyi yang lumayan nyaring.
            Dari sisi sejarah keberadaan bedug di Nusantara, khususnya di Banten terdapat beberapa pendapat. Pendapat pertama menyebutkan bahwa bedug merupakan alat bunyi yang berasal dari Negeri Cina. Adanya Bedug dikaitkan dengan ekspedisi pasukan Cheng Ho abad ke- 15. Laksamana utusan kekaisaran Ming yang muslim itu menginginkan
suara bedug di masjid-masjid, seperti halnya penggunaan alat serupa di kuil-kuil Budha di Cina. Ada pula pendapat bedug berasal dari tradisi drum Cina yang menyebar ke Asia Timur, kemudian masuk Nusantara.16 Ada pula pendapat yang menyebutkan bahwa bedug merupakan peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia. M. Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang, berpendapat bahwa pada masa prasejarah, nenek moyang kita juga sudah mengenal nekara dan moko, sejenis genderang dari perunggu. Pemakaiannya berhubungan dengan religi minta hujan.17 Selain dua pendapat itu, ada pula pendapat lain yang menyebutkan bahwa penggunaan bedug mulai dilakukan pada
zaman Majapahit pada abad ke 14-16 Masehi. Cornelis De Houtman dalam catatan perjalanannya D’eerste Boek menjadi saksi keberadaan bedug yang sudah meluas pada abad ke-16. Ketika komandan ekspedisi Belanda itu tiba di Banten, ia menggambarkan di setiap perempatan jalan terdapat genderang yang digantung dan dibunyikan memakai tongkat pemukul yang ditempatkan di sebelahnya. Fungsinya sebagai tanda bahaya dan penanda waktu. Kesaksian ini jelas menunjuk pada bedug.
 Sementara kata ‘rampak’ mengandung arti ‘serempak’. Serempak artinya bersamaan, berbarengan, dan harmoni. Jadi, ‘rampak bedug’ dapat dikatakan sebagai kesenian yang menjadikan waditra berupa banyak bedug yang digunakan sebagai sarananya dan ditabuh secara ‘serempak’ sehingga menghasilkan irama khas yang enak untuk didengar. Rampak bedug hanya terdapat di daerah Banten sebagai ciri khas seni budaya di wilayah itu, tepatnya di Kabupaten Pandeglang.
            Seiring perkembangan waktu, kelompok-kelompok seni rampak bedug juga bertebaran di beberapa wilayah di Provinsi Banten. Salah satunya adalah di Kabupaten Serang. Di pandeglang sendiri ada sekitar sepuluh kelompok atau sanggar tari rampak bedug. Namun, dari jumlah tersebut hanya beberapa saja yang bisa sering dijumpai pentas
dalam event tertentu. Salah satunya sanggar Bale Seni Ciwasiat yang bermarkas di Jl. Ciwasiat belakang BRI Pandeglang pimpinan Bapak Rohaendi. Kelompok seni ini masih mampu bertahan di tengah terpaan modernisasi kesenian di wilayah Banten.
Dalam pementasannya, kelompok seni ini tidak setiap hari atau setiap minggu tampil. Kelompok seni rampak bedug merupakan pertunjukan seni yang masih bergantung pada musim. Artinya, kesenian ini masih terbatas pada pementasannya. Bahkan, pada awal-awalnya, kesenian ini hanya muncul pada momentum bulan suci Ramadhan dan Hari Raya
Idul Fitri, persis seperti seni ngabedug (menabuh bedug) atau ngadulag.
Kesenian rampak bedug merupakan perkembangan dari seni ngabedug, yang biasa dimainkan sebagai penyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Kesenian rampak bedug pada awalnya merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Pandeglang yang dikenal dengan ngadu bedug (lomba tabuh bedug) yang dilaksanakan pada Bulan puasa setelah selesai melaksanakan shalat Tarawih sampai menjelang sahur dalam rangka memeriahkan bulan suci Ramadhan. Lagu rampak bedug dulunya tercipta dari alam dan emosi masyarakat sekitar Pandeglang.
Menurut Rohaendi, ngadu bedug berawal dari kegiatan masyarakat dalam perkampungan. Kegiatan tersebut dilakukan oleh dua atau lebih warga kampung yang berbeda, dengan diawali oleh salah satu kampung yang menantang dengan menabuh bedug lagu tertentu (biasanya lagu Nangtang), yang kemudian dijawab oleh kampung lainnya. Selanjutnya terus bersahutan, saling bergantian lagu, motif dan pola tabuh sesuai
kraetivitas warga kampungnya masing-masing. Dalam kegiatan ngadu bedug, yang dinyatakan kalah adalah mereka yang berhenti terlebih dahulu atau tidak dapat menjawab lagu yang dimainkan lawan. Untuk menjaga harga diri atau kehormatan kampungnya, serta menghindari dari kekalahan, adakalanya kegiatan ngadu bedug ini dilakukan bersahutan hingga sehari semalam, bahkan lebih. Di Pandeglang, kampung-kampung
yang biasa melakukan Ngadu Bedug ini diantaranya: Ciaseum, Parung Sentul, Kabayan, Salabentar, Ciguludug, Kadu Gajah, Kadu Pandak, Juhut, Kampung Jambu, Cilaja, Cipacung, Nyoreang, Sarabaya, Ciinjuk, Cikondang, dan lain-lain.
Bisa dikatakan bahwa kesenian ini pertama kali mulai dipertandingkan sebagai k arya seni pada tahun 1950-an. Awalnya pementasan rampak bedug di Kecamatan Pandeglang. Selain Bale Seni Ciwasiat, ada pula kelompok rampak bedug yang sejak awal ikut andil dalam mengembangkan kesenian ini, yakni kelompok Haji Ilen di Kelurahan Juhut Kecamatan Pandeglang. Tahun 1960-1970 Haji Ilen menciptakan suatu tarian kreatif dalam seni rampak bedug. Rampak bedug yang berkembang saat ini dapat dikatakan sebagai hasil kreasi Haji Ilen. Pada perkembangan berikutnya, kelompok kesenian ini berkembang dan menyebar ke daerah Kabupatn Serang seperti Kecamatan Serang,Pamaraian dan Walantaka.
            Ada pula beberapa nama kelompok rampak bedug yang hingga kini masih eksis, seperti group seni rampak bedug Kitapa yang dipimpin oleh TB. Ruchayat Zaen yang terdapat di Kabupaten/Kecamatan Serang, Lopang, dan Gede, group rampak bedug Putra Medal yang dipimpin oleh Diding Sujai, group Layung Sari yang dipimpin oleh
Utom Bustomi di Kabupaten/Kecamatan Pandeglang, dan paguyuban Sentra Pulosari yang dipimpin oleh Hardi dengan yang bermarkas di Kabupaten/Kecamatan Pandeglang dan Kadu Hejo.
Pada perkembangan berikutnya, kesenian ini bisa dimainkan secara
profesional pada acara-acara hajatan (khitanan, pernikahan) dan hari peringatan kedaerahan bahkan nasional. Rampak bedug merupakan pengiring takbiran, pernikahan, marhabanan18, shalawatan, dan lagu-lagu bernuansa religi lainnya. Oleh karenanya, kesenian ini berubah menjadi suatu seni yang layak jual, sama dengan seni-seni musik komersial lainnya. Walau para pencetus dan pemainnya lebih didasari oleh motivasi religi, tapi masyarakat seniman dan pencipta seni memandang seni rampak bedug sebagai sebuah karya seni yang patut dihargai.
Dulu, pemain rampak bedug terdiri dari semuanya laki-laki. Tapi sekarang sama halnya dengan banyak seni lainnya terdiri dari laki-laki dan perempuan. Jumlah pemain sekitar 10 orang, laki-laki 5 orang dan perempuan 5 orang. Adapun fungsi masing-masing pemain adalah sebagai berikut: pemain laki-laki sebagai penabuh bedug dan sekaligus
kendang sedangkan pemain perempuan sebagai penabuh bedug, baik pemain laki-laki maupun perempuan sekaligus juga sebagai penari. Busana yang dipakai oleh pemain rampak bedug adalah pakaian muslim dan muslimah yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dan unsur kedaerahan. Pemain laki-laki misalnya mengenakan pakaian model pesilat lengkap dengan sorban khas Banten, tapi warna-warninya
menggambarkan kemoderenan: hijau, ungu, merah, dan lain-lain (bukan hitam atau putih saja). Adapun pemain perempuan mengenakan pakaian khas tari-tari tradisional, tapi bercorak kemoderenan dan relatif religius. Misalnya, menggunakan rok panjang bawah lutut dari bahan batik dengan warna dasar kuning dan di dalamnya mengenakan celana
panjang warna merah jenis celana panjang pesilat. Di Luarnya mengenakan kain merah tanpa dijahit yang bisa dililitkan dan digunakakan untuk semacam tarian selendang. Bajunya tangan panjang yang dikeluarkan dan diikat dengan memakai ikat pinggang besar. Adapun rambutnya mengenakan sejenis sanggul bungan yang terbuat dari rajutan benang semacam penutup kepala bagian belakang.
            Sebagai hasil karya anak manusia, kesenian rampak bedug tidak luput dari nilai-nilai luhur yang ingin disampaikan kepada penonton. Kesenian yang bersumber dari mayasrakat Pandeglang yang memiliki corak tradisi keagaaman kuat ini tentu saja mengandung nilai-nilai positif yang ingin dikembangkan dan dinikmati oleh penonton. Karena rampak bedug sendiri merupakan instrumen musik yang berasal dari alat yang lekat hubungannya dengan bangunan masjid, maka tentu saja di dalamnya mengandung nilai-nilai dakwah.
Alat bedug sendiri, bagi masyarakat Banten, memiliki fungsi yang penting. Umumnya masjid-masjid di Banten, terutama di Pandeglang, memiliki alat pukul bedug sebagai tanda datangnya waktu shalat. Selain bedug, alat lain yang umumnya terdapat di masjid adalah kentongan, yang terbuat dari kayu, yang memiliki suara yang nyaring. Keduanya,
baik bedug maupun kentongan, merupakan alat yang dikombinasikan pada setiap datangnya waktu shalat. Selain digunakan untuk petanda datang waktu shalat, bedug juga digunakan untuk momentum hari penting, seperti untuk takbir keliling, untuk membangunkan warga sahur di malah Bulan Puasa, dan lain-lain. Ketika bedug digunakan sebagai instrumen kesenian, maka ada pergeseran fungsi, yang semula untuk kegiatan keagamaan menjadi alat untuk kegiatan hiburan. Namun demikian, pada pertunjukan rampak bedug, meski digunakan untuk hiburan, tapi tidak meninggalkan pesanpesan
ajaran Islam di dalamnya. Karena, bagaimana pun juga, bedug tidak lepas dari perannya sebagai alat yang awalnya digunakan untuk kegiatan keagamaan.
Dalam kemasan penampilannya, kesenian rampak bedug memiliki tiga fungsi. pertama, kesenian ini ditampilkan untuk kegiatan yang bernilai religi. Biasanya dipentaskan untuk menyemarakan bulan suci Ramadhan dengan alat-alat yang memang dirancang para ulama pewaris Nabi pengiring takbiran dan marhabanan. Kedua, seni rampak bedug memiliki nilai liburan dan ajang santai. Hal ini biasanya dilakukan oleh
kalangan remaja di tengah-tengah waktu santai. Ketiga, nilai ekonomis, yakni seni rampak bedug pada dasarnya merupakan karya seni yang layak jual. Masyarakat pengguna sudah biasa mengundang seniman rampak bedug untuk memeriahkan acara-acara mereka.19
            Dalam konteks fungsinya sebagai penyemarak kegiatan keagamaan, kesenian rampak bedug biasanya menampilkan lagu-lagu shalawat Nabi. Salah satu lagu yang acapkali ditampilkan adalah lagu Shalawat Badar. Pementasan lagu shalawat Badar pada kesenian rampak bedug mengandung tiga pesan dakwah, yakni pesan dakwah tauhid, syariat dan
akhlak. Pesan tauhid yang terkandung dalam pementasan lagu ini terlihat pada gerakan para penari dan penabuh bedug, yang menggambarkan manifestasi ajaran ketauhidan kepada Allah swt. Menurut John L Esposito, budaya tari dalam masyarakat muslim merupakan manifestasi artistik yang disajikan dalam bentuk tertentu ajaran Islam tentang
tauhid, keesaan Allah, kemanusiaan, dan segala eksistensi.20 Tarian yang kemudian muncul di tengah masyarakat merupakan bentuk seni dalam budaya Islami berlandaskan gagasan ketunggalan dan transendensi Allah. Hal ini dapat kita lihat pada tarian rampak bedug yang memutar dan bergerak lincah seperti orang yang sedang mengalami ekstase
cinta. Menurut Jalaluddin Rumi, dalam diri manusia ada potensi atau hanif yang jika diberdayakan dengan benar dapat membahagiakan.
            Potensi itu disebut Cinta Ilahi, yakni jalan cinta kepada Yang Maha benar. Cinta adalah energi penggerak kehidupan dan perputaran alam semesta.21 Cinta adalah sarana utama untuk transendensi diri atau pembersihan diri (tazkiyat al-nafs). Orang yang menari akan memiliki jiwa yang lembut dan menafikan segala kebencian yang bersemayam dalam
hati. Lantunan zikir juga biasanya mengiring setiap pertunjukan rampak beduk seperti lafal lâ ilâha illa-allâh; sebagai ungkapan pincak ketauhidan seorang hamba. Sambil melafalkan lâ ilâha illa-allâh, para penari rampak bedug sambil menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan seraya memusatkan pikirannya kepada Sang Khalik.
Dalam pandangan dan perspektif Islam, ajaran tauhid atau persaksian dan pengakuan tiada Tuhan selain Allah, adalah sentral dan asasi. Semua ajaran Islam berpangkal dan berlandaskan pada doktrin tauhid ini. Tauhid mirip dengan titik pusat suatu lingkaran. Adanya lingkaran ditentukan dan hanya akan berbentuk dengan adanya titik pusat itu. Begitu pula dengan Islam, hanya ada karena ada tauhid. Tiadanya tauhid berarti tiadanya Islam. Rusaknya tauhid juga rusaknya Islam.22 Keimanan dan keislaman seseorang ditentukan oleh sejauh mana ia memegang doktrin ketauhidan tersebut. Prinsip tauhid merupakan inti dari semua ajaran para nabi sebelum datangnya risalah Nabi Muhammad saw. Semenjak Nabi Adam as hingga Nabi Muhammad saw, tauhid dijadikan sebagai
asa dan esensi ajaran. Semua Nabi mengemban misi utama yang sama, yakni tegaknya tauhid sebagai landasan hidup dan kehidupan umat manusia di muka bumi. Pesan ajaran tauhid juga terkandung dalam lirik syair lagu shalawat badar, yang berisi pujian-pujian kepada Rasulullah saw dan para sahabat yang syahid pada Perang Badar. Rasulullah harus diyakini sebagai Nabi terakhir yang bisa memberi syafaat di Hari Kiamat (QS. 33: 43). Untuk mendapatkan syafaat Rasulullah hendaknya umat Islam senantiasa melantunkan shalawat, pujian dan kecintaan kepada Rasulullah saw. Bershalawat kepada Rasulullah adalah perintah al-Quran (QS. 33: 56).
            Pesan syariat yang terkandung dalam pementasan lagu Shalawat badar pada kesenian rampak bedug dapat terlihat pada gerakan penabuh bedug dan penarinya. Syariat adalah norma (ketentuan) Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan tuhan (ibadah) dan
hubungan manusia dengan manusia (muamalat). Banyak gerakan atau tarian yang menirukan peragaan shalat dan berdoa. Ini menunjukkan bahwa pentingnya dua hal ini untuk dijalankan umat Islam dalam hidup ini. Bentuk adegan shalat diantaranya adalah gerakan takbir, meletakkan kedua tangan di dada dan duduk iftirasy. Lebih dari itu, instrumen utama yang digunakan dalam kesenian ini adalah bedug, yang secara pokok sebenarnya digunakan sebagai petanda datangnya waktu shalat.
Dengan kata lain, pesan syariat yang ingin disampaikan dalam kesenian ini adalah mengingat kewajiban shalat lima waktu. Karena, di Banten, khususnya di Pandeglang, suara bedug diperdengarkan ketika datang lima waktu shalat. Hal ini tentu penting dan fundamental, mengingat shalat merupakan ibadah paling utama dalam ajaran Islam. Tegaknya spiritualitas seseorang terlihat dari ia shalat atau tidak. Jika ia mendirikan
shalat, maka ia sebenarnya menegakkan (spiritualitas) agamanya. Tapi, jika ia meninggalkan shalat, maka itu artinya ia meruntuhkan (spiritualitas) agama dalam dirinya (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh karena, kesenian rampak bedug tentu sangat tepat dan relevan untuk dilestarikan dan dikembangkan mengingat kesenian ini memiliki pesan
yang fundamental.
Disamping itu, syair Shalawat Badar yang dilantunkan oleh penyanyi berisi pesan akhlak, yakni pentingnya menjunjung kemuliaan Rasulullah dan senantiasa meneladani perjuangannya. Lagu shalawat Badar juga dilantunkan dengan irama semangat tinggi karena untuk memberi pesan bahwa dalam hidup ini umat Islam tidak boleh putus asa dan senantiasa berjuang, tidak malas-malasan, dan berpangku tangan. Jika musibah, cobaan dan masalah menimpa seorang muslim, maka ia tidak boleh berputus asa (QS. 5:68, QS. 17:83 dan QS. 41:49). Kita dilarang putus asa dari rahmat Allah (QS. 39:53), sebab pertolongan Allah begitu dekat dan kapan pun akan datang (QS. 2:214). Yang putus asa hanyalah orangorang kafir (QS. 12:87) dan orang-orang yang sesat (QS. 15:56). Syair lirik
lain yang biasanya dinyanyikan dalam pementasan kesenian rampak bedug adalah Shalawat Yâ Nâr al-‘Aini, Thola’al Badru ‘Alainâ, Al-Shalătu ‘Ala Nabi, Thola’a al-Badru ’Alainâ, dan lain sebagainya.
Yang tak kalah penting dalam kesenian rampak bedug adalah pesan akhlak sosialnya. Dalam kesenian ini digambarkan perpaduan antara seni musik, suara, dan tari, yang dilakoni oleh tiga kelompok, yakni penabuh bedug (musik), vokalis (suara), dan penari. Ketiga unsur ini saling membahu dan melengkapi sehingga menghasilkan harmoni suara,
musik dan tarian yang apik. Ini tentu menggambarkan pesan al-Quran tentang perintah untuk saling tolong-menolong (QS.5:2). Masyarakat sebenarnya sudah terbiasa dengan tradisi gotong royong.
            Tarian dalam rampak bedug ada yang diberi judul Endahna Babarengan, yang berarti indahnya bersama-sama. Endahna Babarengan adalah menyampaikan informasi kepada orang lain, bahwa jika sesuatu dilakukan bersama-sama, maka akan menghasilkan sesuatu yang indah. Hal tersebut merupakan perwujudan dari keinginan untuk menabuh bedug secara bersama (rampak) sehingga akan menghasilkan harmonisasi yang indah. Konsep tarian ini tentu saja bersumber dari nilai-nilai Islam bahwa kebersamaan (berjamaah) adalah perintah al- Quran. Umat Islam hendaknya tetap bersatu, bergotong royong, dan
menghindari perpecahan (QS. 3:103).


Penutup

1.     Kesimpulan
Kesenian rampak bedug, meski berakar dari tradisi lokal, namun nilai-nilai yang ada di dalamnya mengandung pesan-pesan dakwah Islam, yakni soal ajaran tauhid, syariat dan akhlak. Hal ini disebabkan ada pengaruh dari kesenian-kesenian tradisional lainnya, seperti rudat, marawis, ubrud, zikir saman, yang memiliki pesan-pesan dakwah Islam, yang ditanamkan oleh para ulama pendahulu Banten. Para ulama tempo dulu menyebarkan Islam di Tanah Banten lewat dakwah kultural, diantaranya adalah lewat berkesenian.

DAFTAR PUSTAKA

Aam, Masduki dkk., Kesenian Tradisional Provinsi Banten.
Serang: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, 2005.

Al-Qardhawi, Yusuf, Seni dan Hiburan Dalam Islam, Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar