FILSAFAT
KONTEMPORER
“There is No Perfectness in the
World”, ungkapan ini adalah yang paling tepat dan perlu untuk mengawali
pembahasan dalam makalah ini. Sebab, bila kita menelusuri jejak pemikiran
filsafat mulai abad klasik, pertengahan, dan modern, ternyata ada kelemahan dan
kekurangan di satu sisi serta kelebihan dan kesempurnaan di sisi yang lain.
Filsafat modern yang konon katanya, sudah lebih sempurna ternyata masih ada
sisi kurangnya sehingga muncul pemikiran baru dalam asas pemikiran yang disebut
Fisafat Kontemporer.
Segi kekurangan tersebut bisa
diperlihatkan dengan banyaknya filosof dan pemikirannya yang gagal mencapai
kebijaksanaan sebagai inti diskursus filsafat. Kegagalan tersebut disebabkan
atas dua alasan. Yang pertama, merasa bahwa penilaian terhadap apa yang
digolongkan sebagai kebijaksanaan lebih didasari perasaan (feelings) dan
keinginan atau gairah (desires) ketimbang pengetahuan (knowledge). Kedua,
penilaian itu didasari oleh intuisi yang sulit dipertahankan dengan argumentasi
logis.
Disebabkan karena tuntutan logis
atau rasionalitas, filsafat mengalami beberapa penggeseran yang khas. Penggeseran
pertama, adalah dari paradigma yang kosmosentris lewat paradigma teosentris ke
paradigma antroposentris. Wawasan kosmosentris adalah paradigma filsafat Yunani
yang berarti kosmos atau alam raya, berada di pusat perhatian para filosof.
Lewat paradigma teosentris dalam filsafat Islam dan Kristiani abad pertengahan,
Allah ada di pusat perhatian, segala-galanya mau dilihat seakan-akan dari sudut
pandang Allah. Dalam paradigma antroposentris manusia menempati center court.
Paradigma antroposentris itu muncul dengan terang benderang di panggung
filsafat dalam abad ke-17.
Penggeseran yang lain, adalah dari
filsafat substansial-dengan pertanyaan dasar “Ada apa? Dan apa yang ada itu
apa?”, filsafat ini membahas tentang masalah-masalah seperti hakikat alam,
Allah, dan manusia-ke filsafat epistemologis dan metodis yang bertanya tentang:
“Apa yang dapat diketahui dan apa yang dikatakan?”, ke filsafat kritis yang mau
membebaskan.
Namum dalam faktanya, pedoman para
filosof kepada rasio dan menghindari intuisi mengalami pengalaman buruk
sebagaimana yang telah dijelaskan pada beberapa buku sejarah filsafat Barat.
Gejala postmodernisme yang menginterupsi keabsolutan rasio merupakan bukti
mengenai ketidakberdayaan rasio dalam menghadapi kebenaran. Karena dunia yang
luas dan mozaik ini hampir tak mungkin bisa ditangkap dengan wadah rasio dan
indra saja. Selanjutnya akan disimpulkan secara singkat urutan beberapa
perkembangan filsafat pada abad setelahnya.
Pada abad ke-20 kita dapat
menyaksikan empat aliran besar dalam filsafat. Pertama, filsafat fenomenologis
dan eksistensialisme dengan tokoh-tokohnya: Husserl, Heidegger, dan Sartre,
filsafat ini merupakan aliran yang paling subur di Eropa kontinental terutama
di Jerman dan Prancis. Aliran kedua, meskipun bermula dari “Lingkaran Wiena”,
Austria, menjadi filsafat yang dominan untuk waktu yang lama di wilayah
Anglo-Saxon, jadi di Inggris dan Amerika Utara, itulah filsafat analitis dan
bahasa, dengan tokohnya Ludwig Wittgenstein, di mana aliran yang paling
terkenal adalah Positivisme Logis. Aliran ketiga bertitik berat di Jerman dan
Prancis, yaitu filsafat kritis yang memahami pemikiran filosofis sebagai
praksis pembebasan. Di sini termasuk Teori Kritis Horkheimer dan Adorno
kemudian Habermas, serta segala filsafat yang mendapat inspirasi dasar dari
pemikiran Karl Marx dan Foucalt, misalnya teori keadilan John Rawls. Aliran
keempat yang sangat tidak homogen adalah medan pemikiran postmodernistik yang
terutama dikembangkan di Prancis, dengan tokoh-tokohnya, seperti: Derrida dan
Lyotard. Dan di Amerika Serikat dengan Komunitarisme (yang dengan sendirinya
menolak dimasukkan ke dalam postmodernisme). “Postmodernisme” itu menolak
segala usaha untuk memahami seluruh kekayaan gejala kehidupan manusia melalui
satu pola teoretis. Pemahaman satu pola itu memaksa dan menjadi sarana
penindasan dalam realitas. Di samping empat aliran besar tersebut, tentu masih
ada sekian banyak aliran lain, teutama Neo-Thomisme dan banyak filosof yang
tidak mudah dapat ditempatkan ke dalam salah satu dari aliran itu.
Mengenai beberapa aliran filsafat
yang berkembang di Barat, menurut sumber yang lain, dinyatakan bahwa pada abad
ke-17 dan ke-18 sejarah filsafat Barat memperlihatkan aliran-aliran yang besar,
yang bertahan lama dalam wilayah-wilayah luas, rasionalisme, empirisme, dan
idealisme. Dibandingkan dengan itu, filsafat Barat dalam abad ke-19 dan 20
kelihatan terpecah-pecah. Macam-macam aliran baru bermunculan, dan yang menarik
aliran-aliran ini sering terikat hanya pada satu negara atau satu lingkungan
bahasa. Aliran-aliran yang paling berpengaruh pada abad kini diantaranya adalah
positivisme, marxisme, eksistensialisme, pragmatisme dan lainnya.
B.
ALIRAN-ALIRAN
FILSAFAT KONTEMPORER
Beberapa aliran-aliran dalam
filsafat kontemporer adalah sebagai berikut:
1. Eksistensialisme
Eksistensi berasal dari kata ex yang
berarti keluar dan sister berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas
eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri dengan keluar dari diri sendiri.
Filsafat eksistensialisme tidak sama dengan eksistensi tetapi ada kesepakatan
diantara keduanya yaitu sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema
pokok.
Secara umum eksistensialisme
merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena ketidakpuasan beberapa
filosof yang memandang bahwa filsafat pada masa Yunani hingga modern, seperti
protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan tentang spekulatif
tentang manusia. Intinya adalah penolakan untuk mengikuti suatu aliran,
penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan
sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal,
akademik dan jauh dari kehidupan, juga pemberontakan terhadap alam yang
impersonal yang memandang manusia terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang
membuat manusia kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia yang bereksistensi.
Eksistensialisme merupakan suatu
aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab
atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan
mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan
mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran
bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu
yang menurutnya benar. Manusia juga dipandang sebagai suatu mahluk yang harus
bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi
dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.
Ada beberapa ciri eksistensialisme,
yaitu, selalu melihat cara manusia berada, eksistensi diartikan secara dinamis
sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, manusia dipandang sebagai suatu
realitas yang terbuka dan belum selesai, dan berdasarkan pengalaman yang
konkret.
Jadi dapat disimpulkan bahwa eksistensialisme
memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu
ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang
sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya. Adapun
ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan eksistensialisme adalah ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan manusia seperti sosiologi (berkaitan dengan manusia dan
keberadaannya di dalam lingkungan sosial), antropologi (berkaitan antar manusia
dengan lingkungan budaya). Eksistensialisme mempersoalkan keberadaan manusia,
dan keberadaan itu dihadirkan lewat kebebasan.
Namun, menjadi eksistensialis bukan
selalu harus menjadi seorang yang lain dari pada yang lain, sadar bahwa
keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi
bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari
eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan
sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme.
Tokoh-tokoh Eksistensialisme:
1) Soren Aabye
Kiekeegaard
Inti pemikiran dari tokoh ini adalah
eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi,
manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita
menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari
manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap
kemungkinan.
2) Friedrich
Nietzsche
Menurutnya manusia yang
bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to
power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh)
yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat
dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih
aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
3) Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan
mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai
dengan pemikiran yang menggunakan dan mengatasi semua pengetahuan obyektif,
sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri.
4) Martin
Heidegger
Inti pemikirannya adalah keberadaan
manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar
manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada
diluar manusia, baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena
benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap
tindakan dan tujuan mereka.
5) Jean Paul
Sartre
Menekankan pada kebebasan manusia,
manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur
dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada
dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.
2. Fenomonologi
Edmun Husserl (1859-1938) menjadi
pelopor filsafat fenomenologi. Ia adalah seorang filosof dan matematikus
mengenai intensionalisme atau pengarahan melahirkan filsafat fenomenologi
berdasarkan pemikiran Brentano. Ia selalu berupaya ingin mendekati realitas
tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep atau teori umum. “Zuruck zu den
sachen selbst”- kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari
pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya.
Setiap objek memiliki hakikat, dan hakikat itu berbicara kepada kita jika kita
membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita “mengambil
jarak” dari objek itu melepaskan objek itu dari pandangan-pandangan lain, dan
gejala-gejala itu kita cermati, maka objek itu berbicara sendiri mengenai
hakikatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita.
Fenomen atau fenomenon memiliki
berbagai arti, yaitu: gejala semu atau lawan bendanya sendiri (penampakan).
Menurut para pengikut fenomenologi, suatu fenomen tidak perlu harus dapat
diamati dengan indera, sebab fenomen dapat juga di lihat secara rohani, tanpa
melewati indera. Untuk sementara dapat dikatakan, bahwa menurut para pengikut
filsafat fenomenologi, fenomen adalah “apa yang menampakkan diri dalam dirinya
sendiri”, apa yang menampakkan diri seperti apa adanya, apa yang jelas di
hadapan kita.
Secara harfiah fenomenologi atau
fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme
(gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme bergerak di
bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan
bidang evidensi yang langsung. Fenomenalisme adalah suatu metode pemikiran, “a
way of looking at things”. Fenomenalisme adalah tambahan pada pendapat Brentano
bahwa subjek dan objek menjadi satu secara dialektis. Tidak mungkin ada hal
yang melihat. Inti dari fenomenalisme adalah tesis dari “intensionalisme” yaitu
hal yang disebut konstitusi.
Filsafat Fenomenologi berusaha untuk
mencapai pengertian yang sebenarnya yang dinamakan untuk mencapai “hakikat segala
sesuatu”. Untuk mencapai hakikat segala sesuatu itu melalui reduksi.
Para ahli tertentu mengartikan
Fenomenologi sebagai suatu metode dalam mengamati, memahami, mengartikan, dan
memaknakan sesuatu sebagai pendirian atau suatu aliran filsafat.
Dalam pengertian suatu metode, Kant
dan Husserl, mengatakan bahwa apa yang diamati hanyalah fenomena, bukan sumber
gejala itu sendiri. Dengan demikian, terhadap sesuatu yang diamati terdapat
hal-hal yang membuat pengamatannya tidak murni. Tiga hal yang perlu disisihkan
dari usaha menginginkan kebenaran yang murni, yaitu:
a.
Membebaskan
diri dari anasir atau unsur subjektif,
b.
Membebaskan
diri dari kungkungan teori, dan hipotesis, serta
c.
Membebaskan
diri dari doktrin-doktrin tradisional.
Setelah mengalami reduksi yang
pertama tingkat pertama, yaitu reduksi fenomenologi atau reduksi epochal,
fenomena yang dihadapi menjadi fenomena yang murni, tetapi belum mencapai hal
yang mendasar atau makna sebenarnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan reduksi
kedua yang disebut reduksi eiditis. Melalui reduksi kedua, fenomena yang kita
hadapi mampu mencapai inti atau esensi. Kedua reduksi tersebut adalah mutlak.
Selain kedua reduksi tersebut terdapat reduksi ketiga dan yang berikutnya
dengan maksud mendapatkan pengamatan yang murni, tidak terkotori oleh unsur apa
pun, serta dalam usaha mencari kebenaran yang tertinggi.
Tokoh-tokoh fenomenologi yang lain
adalah, Max Scheller (1874-1928), Maurice Merleau-Ponty (1908-1961).
3. Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma
yang artinya guna. Pragma berasal dari bahasa Yunani. Maka Pragmatisme adalah
suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan
dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis.
Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran mistik, asalkan dapat
membawa kepraktisan dan bermanfaat. Artinya, segala sesuatu dapat diterima
asalkan bermanfaat bagi kehidupan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu,
asal saja membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran
mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa
akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme
adalah “manfaat bagi hidup praktis”
William James (1842-1910 M),
mengemukakan, bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang
bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab
pengalaman kia berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam
perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa
yang benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Menurutnya, pengertian
atau putusan itu benar, jika pada praktek dapat dipergunakan. Putusan yang tak
dapat dipergunakan itu keliru.
John Dewey (1859-1952 M), menyatakan
bahwa, manusia itu bergerak dalam kesunguhan yang selalu berubah. Jika Ia
sedang menghadapi kesulitan, maka mulailah ia berpikir untuk mengatasi
kesulitan itu. Jadi, berpikir tidaklah lain daripada alat untuk bertindak.
Pengertian itu lahir dari pengalaman. Pandangannya mengenai filsafat sangat
jelas bahwa filsafat memberi pengaruh global bagi tindakan dalam kehidupan
secara riil. Filsafat harus bertitik tolak pada pada pengalaman, penyelidikan,
dan mengolah pengalaman secara aktif dan kritis.
4. Sosialisme-Komunisme
(Marxisme)
Teori Marxist dikemukakan oleh Karl
Marx (1818-1883). Idea dasar daripada teori ini adalah penentangan terhadap
adanya sistem hirarki kelas, karena ianya adalah penyebab yang paling utama
didalam sosial problem dan ianya mesti diakhiri oleh revolusi proletariat
(buruh). Dengan lain perkataan, boleh dijelaskan bahawa Marx mencoba mencari
kesamarataan, yaitu kesamarataan antara kaum borjuis (golongan ekonomi kelas
atas) dengan kaum buruh / pekerja (golongan ekonomi kelas rendah). Marx
menganggap selama ini golongan pekerja atau kaum buruh telah ditindas oleh kaum
elit, sehingga perlu diadakan sebuah evolusi secara drastis.
Pemikiran Marx tentang ide-ide
sosialis, perjuangan masyarakat kelas bawah, terutama disebabkan karena ia
lahir di tengah pertumbuhan industri yang berbasis kapitalis.
Perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan buruh dengan jam kerja yang sangat
panjang setiap hari , yang sifatnya paten dan dengan upah yang sangat minim.
Upah yang sangat minim yang diperoleh para buruh, bahkan hanya cukup membiayai
makan sehari. Marx melihat kelas sosial yang tercipta berdasarkan hubungan
kerja yang terbangun antara para pemilik modal dan buruh sangat bertentangan
dengan prinsip keadilan. Kelas sosial paling bawah yang terdiri atas kelompok
buruh dan budak, sering diistilahkan dengan kaum ploretar. Adanya kelas sosial
yang menciptakan hubungan yang tidak seimbang tersebut, membawanya pada
pemikiran ekstrem, penghapusan kelas sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar