Sabtu, 20 Desember 2014

Orasi



Orasi
Fasilitas Tak Terawat, Mahasiswa Mengeluh
Kuliah merupakan salah satu kegiatan wajib yang dilakukan mahasiswa di kampusnya masing-masing. Dalam keseharian menuntut ilmu di kampus tidak melulu dilakukan di dalam kelas. Banyak dosen yang memanfaatkan area luar kelas untuk digunakan sebagai tempat mengajar, seperti ga jelas , perpustakaan, bahkan hall. Adanya sarana kampus yang memadai, tentu akan menunjang keaktifan dan kenyamanan mahasiswa dan dosen dalam melakukan kegiatannya.
Tiap kampus berkewajiban memberikan pendidikan pada mahasiswanya. Pendidikan pun tidak hanya melulu soal akademis. Kritik merupakan bagian dari pendidikan itu sendiri yang wajib ditularkan pihak kampus demi perbaikan-perbaikan di masa depan. Untuk itu diperlukan pemimpin kampus, dalam hal ini Rektor dan pejabat rektorat yang benar-benar mampu mengimplementasikan pendidikan,khususnya kritik dan bukan sekadar wacana.
Kita perlu memahami bahwa perjalanan bangsa ini tidak dapat dilepaskan dari peran-peran strategis yang dimainkan oleh para pemuda dan mahasiswa melawan segala bentuk ketidakadilan yang nampak di depan mata. “Perubahan-peruba­han besar selalu diawali oleh kibaran bendera universitas”. Demikian kata Hariman Siregar dalam sebuah pidatonya. Hal ini menggambarkan betapa penting peran mahasiswa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menjadi mahasiswa tidak hanya selalu terpaku kepada buku teks di ruang-ruang belajar di kampus. Menjadi mahasiswa juga merupakan sebagai suatu proses pembelajaran untuk paham dan matang dalam berdemokrasi. Sehing­ga mahasiswa dianggap sebagai kaum muda yang netral dan tidak mau terjebak kepada berbagai bentuk kepentingan yang tidak merakyat. Mahasiswa dengan idealismenya berusaha memposisikan diri sebagai golongan oposisi.
Di ranah inilah peran-peran penting dan strategis mahasiswa dimainkan. Dalam kehidupan ber­bang­sa dan bernegara, mahasiswa dipan­dang memiliki setidaknya tiga fungsi:
Pertama, mahasiswa adalah kaum intelektual dan terpelajar. Di tengah arus modernisasi, mahasiswa diha­dapkan kepada tantangan yang sede­mikian hebat. Mahasiswa dituntut tidak saja berkutat untuk keluar dari problematikanya secara internal kampus. Peran penting mahasiswa di tengah-tengah masyarakat tidak boleh diabaikan, karena sejauh ini masyarakat tetap menganggap maha­siswa sebagai kaum intelektual yang diharapkan akan menjadi pelanjut estafet perjalanan bangsa dan negara ini kea rah yang lebih baik. Tantangan yang sedemikian besar di masa depan tentu harus mulai dipahami oleh mahasiswa sejak dini. Kampus adalah fondasi awal pembentukan idealisme dan pembelajaran demokra­si maha­siswa di tingkat yang paling dekat.
Kedua, agent of change (agen perubahan). Pasang surut gerakan perubahan yang diperankan oleh mahasiswa turut mewarnai perja­lanan suatu bangsa, termasuk Indo­nesia. Kita melihat bagaimana kiprah gerakan mahasiswa angkatan 66 ketika kaum muda dan mahasiswa mengangkat isu komunisme sebagai bahaya laten yang harus dilawan oleh bangsa dan negara. Gerakan mahasis­wa angkatan 74 yang mengkritisi agar negara memperantas korupsi dan diskriminasi terhadap kaum minori­tas, termasuk masyarakat miskin. Lima tahun kemudian pemerintah memberlakukan Normalisasi Kehi­dupan Kampus/Badan Koordinasi Mahasiswa (NKK/BKK). Konsep ini secara nyata berupaya membungkam hak-hak politik mahasiswa dalam menyuarakan aspirasinya, termasuk melalui demonstrasi dan mencoba mengarahkan mahasiswa hanya kepada aspek akademis. Pemerintah kala itu khawatir keterlibatan mahasiswa lebih jauh dalam aspek politik dan kebijakan publik akan membahayakan stabilitas politik dan keamanan dalam negeri.
Ketiga; Agent of control atau social control.(Agen kontrol atau kontrol sosial). Peran-peran kontrol ini dimaksudkan bahwa mahasiswa dengan intelektualitas yang diemban­nya berkewajiban untuk mengontrol kebijakan yang diimplementasikan oleh pemerintah. Karena tiga fungsi itulah mahasiswa disebut sebagai salah satu pilar demokrasi di Indonesia.
            Pelarangan mahasiswa untuk melakukan unjuk rasa atau demonstrasi hanya akan mengem­balikan kita ke era dimana terjadi kungkungan terhadap hak warga negara dalam mengemukakan penda­pat dan pikiran secara lisan dan tulisan. Menjadi tidak logis karena UUD 1945 dan UU saja mengatur dan menjamin hak untuk menge­luarkan pendapat secara lisan atau tulisan, termasuk dengan unjuk rasa atau demonstrasi.  Saya menilai kurang bijak kiranya jika poin ke-12 peraturan Rektor Unand sebagai­mana yang diberitakan tersebut jika benar-benar diterapkan. Kita tidak dapat membayangkan bagai­mana “sepi” nya kampus dari dinamika dan ruang-ruang untuk berdemokrasi. Betapa “sunyi” nya kampus karena sikap kritis yang “dibisukan” oleh kebijakan tersebut.
Langkah elegan yang perlu diambil oleh pemangku kebijakan di kampus apabila kekhawatiran bahwa unjuk rasa atau demonstrasi akan mengganggu aktivitas kampus saya kira bukan dengan “mem­bunuh” ruang-ruang berdemokrasi di lingkungan kampus, melainkan bagaimana mengelola agar kampus bisa menjadi tempat pembelajaran demokrasi yang efektif bagi mahasis­wa, salah satunya dengan memana­jemen agar unjuk rasa atau demons­trasi yang dilakukan berjalan lebih tertib, aman, damai, terarah, bertang­gung jawab, dan sesuai etika demokrasi.
Namun sayang, berdasarkan pantauan kami, di beberapa lokasi tersebut masih terdapat beberapa fasilitas yang tidak berfungsi dengan baik di Gedung Kuliah Bersama (GKB) 1 seperti LCD proyektor di beberapa ruang kelas, CCTV, lampu di beberapa titik, LCD TV di lantai 3,5 GKB 1, hingga colokan listrik yang biasa digunakan mahasiswa untuk charging laptop atau handphone mereka juga rusak. Terkadang kita bisa menjangkau hotspot di satu tempat, namun tidak lama jaringan hostpot itu hilang begitu saja alias tidak stabil. Belum lagi fasilitas kamar mandi yang banyak lumut, bak air kotor dan kunci pintunya rusak.
Saat diwawancarai mengenai hal ini, beberapa mahasiswa mengaku mengeluh dengan banyaknya fasilitas yang rusak dan tidak kunjung diperbaiki. Juga adanya beberapa tempat di kampus seperti aula dan dome yang penggunaannya dipatok harga ketika mahasiswa ingin menggunakannya. Salah satu mahasiswi jurusan Akuntansi, diai mengatakan bahwa tidak apa-apa ketika mahasiswa membayar untuk menggunakan fasilitas kampus. “Bolehlah bayar karena bangunan juga butuh perawatan, tapi jangan terlalu mahal, karena kita juga udah bayar SPP tiap semester. SPP kan untuk biaya pendidikan, sedangkan fasilitas tersebut ada untuk menunjang pendidikan kita juga, dan kalaupun kita mau pakai juga gak tiap hari,” ujarnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar