Orasi
Fasilitas
Tak Terawat, Mahasiswa Mengeluh
Kuliah merupakan salah satu kegiatan wajib yang
dilakukan mahasiswa di kampusnya masing-masing. Dalam keseharian menuntut ilmu
di kampus tidak melulu dilakukan di dalam kelas. Banyak dosen yang memanfaatkan
area luar kelas untuk digunakan sebagai tempat mengajar, seperti ga jelas ,
perpustakaan, bahkan hall. Adanya sarana kampus yang memadai, tentu
akan menunjang keaktifan dan kenyamanan mahasiswa dan dosen dalam melakukan
kegiatannya.
Tiap kampus berkewajiban memberikan pendidikan
pada mahasiswanya. Pendidikan pun tidak hanya melulu soal akademis. Kritik
merupakan bagian dari pendidikan itu sendiri yang wajib ditularkan pihak kampus
demi perbaikan-perbaikan di masa depan. Untuk itu diperlukan pemimpin kampus,
dalam hal ini Rektor dan pejabat rektorat yang benar-benar mampu
mengimplementasikan pendidikan,khususnya kritik dan bukan sekadar wacana.
Kita perlu memahami bahwa perjalanan bangsa ini
tidak dapat dilepaskan dari peran-peran strategis yang dimainkan oleh para
pemuda dan mahasiswa melawan segala bentuk ketidakadilan yang nampak di depan
mata. “Perubahan-perubahan besar selalu diawali oleh kibaran bendera
universitas”. Demikian kata Hariman Siregar dalam sebuah pidatonya. Hal ini
menggambarkan betapa penting peran mahasiswa dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Menjadi mahasiswa tidak hanya selalu terpaku kepada buku teks di
ruang-ruang belajar di kampus. Menjadi mahasiswa juga merupakan sebagai suatu
proses pembelajaran untuk paham dan matang dalam berdemokrasi. Sehingga
mahasiswa dianggap sebagai kaum muda yang netral dan tidak mau terjebak kepada
berbagai bentuk kepentingan yang tidak merakyat. Mahasiswa dengan idealismenya
berusaha memposisikan diri sebagai golongan oposisi.
Di ranah inilah peran-peran penting dan strategis
mahasiswa dimainkan. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mahasiswa dipandang
memiliki setidaknya tiga fungsi:
Pertama, mahasiswa adalah kaum intelektual dan terpelajar. Di
tengah arus modernisasi, mahasiswa dihadapkan kepada tantangan yang sedemikian
hebat. Mahasiswa dituntut tidak saja berkutat untuk keluar dari problematikanya
secara internal kampus. Peran penting mahasiswa di tengah-tengah masyarakat
tidak boleh diabaikan, karena sejauh ini masyarakat tetap menganggap mahasiswa
sebagai kaum intelektual yang diharapkan akan menjadi pelanjut estafet
perjalanan bangsa dan negara ini kea rah yang lebih baik. Tantangan yang
sedemikian besar di masa depan tentu harus mulai dipahami oleh mahasiswa sejak
dini. Kampus adalah fondasi awal pembentukan idealisme dan pembelajaran demokrasi
mahasiswa di tingkat yang paling dekat.Kedua, agent of change (agen perubahan). Pasang surut gerakan perubahan yang diperankan oleh mahasiswa turut mewarnai perjalanan suatu bangsa, termasuk Indonesia. Kita melihat bagaimana kiprah gerakan mahasiswa angkatan 66 ketika kaum muda dan mahasiswa mengangkat isu komunisme sebagai bahaya laten yang harus dilawan oleh bangsa dan negara. Gerakan mahasiswa angkatan 74 yang mengkritisi agar negara memperantas korupsi dan diskriminasi terhadap kaum minoritas, termasuk masyarakat miskin. Lima tahun kemudian pemerintah memberlakukan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Mahasiswa (NKK/BKK). Konsep ini secara nyata berupaya membungkam hak-hak politik mahasiswa dalam menyuarakan aspirasinya, termasuk melalui demonstrasi dan mencoba mengarahkan mahasiswa hanya kepada aspek akademis. Pemerintah kala itu khawatir keterlibatan mahasiswa lebih jauh dalam aspek politik dan kebijakan publik akan membahayakan stabilitas politik dan keamanan dalam negeri.
Ketiga; Agent of control atau social control.(Agen kontrol atau kontrol sosial). Peran-peran kontrol ini dimaksudkan bahwa mahasiswa dengan intelektualitas yang diembannya berkewajiban untuk mengontrol kebijakan yang diimplementasikan oleh pemerintah. Karena tiga fungsi itulah mahasiswa disebut sebagai salah satu pilar demokrasi di Indonesia.
Pelarangan mahasiswa untuk melakukan unjuk rasa atau demonstrasi hanya akan mengembalikan kita ke era dimana terjadi kungkungan terhadap hak warga negara dalam mengemukakan pendapat dan pikiran secara lisan dan tulisan. Menjadi tidak logis karena UUD 1945 dan UU saja mengatur dan menjamin hak untuk mengeluarkan pendapat secara lisan atau tulisan, termasuk dengan unjuk rasa atau demonstrasi. Saya menilai kurang bijak kiranya jika poin ke-12 peraturan Rektor Unand sebagaimana yang diberitakan tersebut jika benar-benar diterapkan. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana “sepi” nya kampus dari dinamika dan ruang-ruang untuk berdemokrasi. Betapa “sunyi” nya kampus karena sikap kritis yang “dibisukan” oleh kebijakan tersebut.
Langkah elegan yang perlu diambil oleh pemangku
kebijakan di kampus apabila kekhawatiran bahwa unjuk rasa atau demonstrasi akan
mengganggu aktivitas kampus saya kira bukan dengan “membunuh” ruang-ruang
berdemokrasi di lingkungan kampus, melainkan bagaimana mengelola agar kampus
bisa menjadi tempat pembelajaran demokrasi yang efektif bagi mahasiswa, salah
satunya dengan memanajemen agar unjuk rasa atau demonstrasi yang dilakukan
berjalan lebih tertib, aman, damai, terarah, bertanggung jawab, dan sesuai
etika demokrasi.
Namun sayang, berdasarkan pantauan kami, di
beberapa lokasi tersebut masih terdapat beberapa fasilitas yang tidak berfungsi
dengan baik di Gedung Kuliah Bersama (GKB) 1 seperti LCD proyektor di beberapa
ruang kelas, CCTV, lampu di beberapa titik, LCD TV di lantai 3,5 GKB 1, hingga
colokan listrik yang biasa digunakan mahasiswa untuk charging laptop atau
handphone mereka juga rusak. Terkadang kita bisa menjangkau hotspot di satu tempat,
namun tidak lama jaringan hostpot itu hilang begitu saja alias tidak stabil.
Belum lagi fasilitas kamar mandi yang banyak lumut, bak air kotor dan kunci
pintunya rusak.
Saat diwawancarai mengenai hal ini, beberapa
mahasiswa mengaku mengeluh dengan banyaknya fasilitas yang rusak dan tidak
kunjung diperbaiki. Juga adanya beberapa tempat di kampus seperti aula dan dome
yang penggunaannya dipatok harga ketika mahasiswa ingin menggunakannya. Salah
satu mahasiswi jurusan Akuntansi, diai mengatakan bahwa tidak apa-apa ketika
mahasiswa membayar untuk menggunakan fasilitas kampus. “Bolehlah bayar karena
bangunan juga butuh perawatan, tapi jangan terlalu mahal, karena kita juga udah
bayar SPP tiap semester. SPP kan untuk biaya pendidikan, sedangkan fasilitas
tersebut ada untuk menunjang pendidikan kita juga, dan kalaupun kita mau pakai
juga gak tiap hari,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar